Oleh: Setiyardi, Jurnalis Senior
1989. Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) sedang booming buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh. Buku karya Michael H Hart ini banyak diperbincangkan di kampus. Hampir semua teman, dari pelbagai fakultas, memilikinya sebagai simbol kekinian. Saya pun membelinya di pasar Shopping Centre, Yogyakarta, dengan rabat 20 persen.
Dan tokoh yang tak pernah saya lupakan dari buku itu yakni Nicollo Machiavelli. Dia figur penuh kontroversi. Machiavelli [1469-1527] lahir di Florens, Italia. Filsuf muda ini banyak menuliskan pemikiran yang tak lazim. Tapi, karyanya yang paling fenomenal yakni Il Principe (Sang Pangeran).
Buku yang terbit di era Renaisans ini berkisah tentang bagaimana cara menggapai, dan mempertahankan, kekuasaan. Jika sebelumnya banyak pemikiran yang memadukan politik dan etika, Machiavelli justru memisahkannya secara tegas. Dia membuang etika ke comberan sejarah. Itu sebab para ahli politik berpendapat Machiavelli adalah guru yang mengajarkan politikus melakukan segala cara untuk menggapai tujuan.
Secara pragmatis, Machiavelli berpendapat, kekuasaan harus direbut dengan pelbagai cara. Tak peduli harus memakai trik yang paling kotor sekalipun. Dan jika kekuasaan sudah di genggaman, patut dipertahankan dengan kekuatan. Machiavelli berpendapat kekuasaan harus dijaga dengan metode 'medis'. Setiap perlawanan dianggap sebagai virus wajib dimatikan. Ketimbang luka menyebar, anggota tubuh yang terinfeksi mesti dipotong.
Bahkan, kalau perlu sang penguasa harus bisa mencitrakan diri dengan berperilaku sesuci anak domba hingga seganas seringai kelicikan rubah. Semboyannya seperti apa diajarkan oleh karya pemikir Yunani, Plautus, dalam buku berjudul Asinaria (195 SM: lupus est homo homini), yakni manusia itu kerap seperti serigala yang suka memakan sesamanya. Atau juga seperti yang dipesankan oleh Thomas Hobbes dalam karyanya berjudul De Cive (1651), yakni kerap kali sesama manusia adalah semacam Tuhan dan bahwa antar sesama manusia pula terdapat serigala yang kejam.
Bahkan untuk mendapatkan cinta seorang perempuan, misalnya, disarankan tak selalu boleh meraihnya dengan kelembutan. Sang Pangeran (penguasa) harus merampas secara fisik perempuan yang diinginkan, kemudian melakukan 'apa saja' yang diinginkan terhadapnya.
Ya, begitulah..?