REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Tak pelak lagi dari ratusan titik pilkada yang diselenggarakan secara serentak kemarin, mungkin satu-satunya titik yang menjadi 'magnet' perhatian publik adalah pilkada DKI Jakarta. Betapa tidak seluruh media cetak elektronik sampai medsos menjadi ajang pertarungan serang menyerang kandidat dan seolah-olah kita semua menjadi warga DKI Jakarta.
Pertarungan pilkada DKI bukanlah pertarungan sederhana antara seorang pasangan Ahok-Djarot vs Anies-Sandy saja, tapi ini pertarungan seluruh elemen kekuatan di negeri ini. Alat ukurnya sederhana: kita semua tiba-tiba menjadi "warga" DKI.
Pertarungan ini telah memaksa setiap orang untuk mengambil posisi, mulai dari rakyat jelata hingga para artis papan atas sekalipun. Itulah yang bisa menjelaskan pertarungan pilkada DKI ibarat sedang memilih seorang presiden di negeri ini.
Apa yang membuat semua orang berkepentingan dengan Pilkada Ibu Kota? Jawaban ini bukan analisa teori yah, setidaknya hanyalah menangkap perasaan apa yang dirasa oleh kita semua, setidaknya saya pribadi.
Ada satu faktor yang paling krusial yang menyebabkan Pilkada DKI menjadi dahsyat, bahwa keterlibatan secara perasaan emosional kolektif umat Islam akibat kasus sambutan Ahok di Kepulauan Seribu yang kita kenal Al Maidah: 51. Sehingga Pilkada DKI telah memaksa umat Islam bereaksi, dari situlah awal semua persoalan ini.
Kunjungan kerja tentang ikan tak ada hubungannya dengan kampanye, tapi Ahok menyinggung hal yang paling sakral dalam keyakinan umat Islam.
Semua berawal dari situ dan Ahok telah memaksa seluruh isi republik ini bereaksi, mulailah gelombang aksi bela Islam jilid 1 dan seterusnya. Jangan salahkan umat bereaksi karena dirimulah yang memulai, tak puas dirimu terus memancing amarah isi negeri ini dan malah kau jadikan bahan candaan kalimat al Maidah dan kafir sebagai password wi-fi di area publik Jakarta.
Ahok telah memaksa kita mengambil sikap, baik yang mendukungnya maupun yang melawannya. Lihatlah di halaman akun berbagai medsos terjadi perang yang luar biasa, mulai Sabang sampai Merauke semua terlibat dalam bagian ini.
Semua sumber daya dukungan partai pendukung tak tanggung-tanggung, PDIP sebagai penyokong utama pasangan Ahok Djarot mewajibkan seluruh Alegnya berkontribusi dalam rangka pemenangan, sebagaimana Gerinda, PKS dan Demokrat, tapi begitulah kenyataannya, pilkada DKI menyedot semua anasir kekuatan.
Dalam benak saya, pertarungan ini tidak akan berakhir sampai di Pilkada DKI saja. Kini umat Islam dengan seluruh elemennya terlibat dan mereka sudah mendefinisikan sendiri cara memenangkan pertarungan ini.
Jadi sadarlah Ahok bahwa engkaulah yang telah mengundang dan memaksa semua kami tiba-tiba menjadi "warga DKI semuanya".
Tensi perlawanan ini terus meninggi sejak November tahun lalu, seolah-olah semua isi negeri ini terbelah menjadi dua kutub politik saja, tapi itu faktanya. Apalagi dalam perjalanan ini seringkali umat "mencurigai" kekuatan negara ikut mensupport Ahok dan itu kelihatan jelas di depan mata dipertontonkan.
Sampai kasus terakhir dari pihak jaksa dengan alasan belum selesai mengetik atas tuntutan yang akan diberikan kepada sang terdakwa, setelah sebelumnya lewat Kapolda DKI meminta sidang ditunda.
Wajar saja semakin dekat hari pencoblosan semakin tinggi tensi perlawanan, dari warung kopi, pasar hingga gereja dan masjid sekalipun menjadi panggung pertarungan.
Beberapa pengamat mengatakan, bahwa sampai 2019, akan terjadi hard game atau permainan yang keras dalam politik, sebab DKI ini adalah miniatur Indonesia. Jabatan gubernur DKI juga bisa menjadi batu loncatan untuk menjadi presiden.
Jadi, mari manfaatkan sisa hari ini untuk mengajak seluruh teman, keluarga, dan kerabat yang punya hak pilih di DKI untuk mengambil bagian dalam saham menyelamatkan negeri ini.
Bagaimana mungkin ada terdakwa penista agama akan memimpin ibu kota negara ini, maka lawanlah dengan cara tidak memilihnya, Oke oce!
*) Pegiat Sosial Politik