REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahayu Amatullah *)
Setiap momentum hari Kartini mendekat, akhir-akhir ini, mengemuka pertanyaan-pertanyaan ke ruang publik tentang legitimasi penokohan Kartini dan penetapan hari Kartini. Singkatnya, ada yang menganggap bahwa sosok RA Kartini tidak cukup representatif sebagai ‘wajah’ perempuan Indonesia dan kiprahnya dalam sejarah kebangsaan. Melalui goresan sederhana ini, penulis berharap, dapat menyodorkan alternatif perspektif yang lebih guyub dan ‘merengkuh bumi’ tanah air tercinta.
Revolusi posisi perempuan
Nyaris di setiap lembaran masa kiprah perempuan mendapat ruang khusus pencatatannya. Sejak manusia pertama bahkan—Adam as—Ibunda Hawa menera sejarah dengan kesetiaan keimanannya. Bagaimana beliau menghadapi ujian demi ujian sebagai hamba Allah SWT dalam mendampingi tugas kenabian suami tercinta. Melahirkan putra-putri dan mendidik mereka menjadi mukminin yang mengesakan Sang Maha Kuasa.
Sejarah sebagai sebuah kontinum juga merekam bahwa berabad kemudian di kawasan jazirah Arab perempuan-perempuan muslimah mengemuka dalam peran kemasyarakatan secara revolusioner, merombak habis tatanan tradisi jahiliyyah yang memosisikan perempuan sebagai bukan manusia yang memiliki harkat martabat setara dengan lelaki. Kejamnya perlakuan terhadap perempuan masa jahiliyyah bahkan sampai ada praktik sebuah suku setempat yang menganggap kelahiran anak perempuan sebagai aib dan mengubur mereka hidup-hidup untuk menutupi aib tersebut.
Di masa Muhammad SAW memimpin masyarakat—sekitar abad ke-7 Masehi, perempuan diposisikan jelas dan tegas setara harkat dan martabatnya dengan laki-laki. Konsep peran juga didudukkan secara spesifik sesuai potensi intrinsik yang dimilikinya. Menjadi hal yang lazim di masyarakat bagaimana perempuan meningkatkan kapasitas dan wawasan melalui majelis ilmu dan pelatihan yang diselenggarakan secara rutin.
Di forum-forum publik bahkan tak ada tabu bagi perempuan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat. Kehidupan masyarakat berjalan dinamis dan harmonis dalam tatanan yang penuh keadilan, sehingga secara signifikan masyarakat yang dipimpin oleh Muhammad Rasulullah SAW ini tampil menjadi suluh dunia baru.
Keunggulan kiprah perempuan nusantara
Ketika dakwah Islam mencapai kepulauan Nusantara di abad 8 Masehi—sementara ahli menyatakan bahwa daerah Barus Sumatera Utara menjadi titik awal mendaratnya para dai perempuan juga mendapat pemosisian dan kesempatan peran sebagaimana ajaran Islam memuliakan perempuan. Maka, tak heran jika tak lama kemudian muncullah para tokoh perempuan yang mengemuka di masyarakat Nusantara ini-khususnya di daerah Aceh-bahkan sampai dipercaya memimpin negara. Yang paling awal, misalnya, tampilnya Ratu Nihrasyiyah Rawangsa Khadiyu yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai tahun 1406 – 1428.
Di daerah pulau Jawa juga tampil Nyai Ageng Pinatih-seorang muslimah asal Tiongkok-yang menjadi Syahbandar Gresik masa kerajaan Majapahit sekitar tahun 1424. Kemudian tampil pula Ratu Retno Kencono (Ratu Kalinyamat) yang dipercaya memimpin Jepara di bawah Kesultanan Demak, sejak tahun 1521. Saat menikah dengan pangeran Hadhiri beliau menyerahkan tampuk kepemimpinan pada sang suami, namun kembali dipercaya rakyat memimpin Jepara saat pangeran Hadhiri wafat. Maka majulah Jepara menjadi pelabuhan yang mendunia dengan masyarakat yang hidup sejahtera di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat hingga beliau wafat tahun 1579.
Dalam masa pemerintahannya Ratu Kalinyamat dengan gagah berani melindungi integritas Nusantara dari invasi Portugis, dengan mengerahkan armada perang besar berkekuatan 300 buah kapal perang. Delapan puluh buah di antara kapal perang tersebut berbobot 400 ton dengan masing-masing memiliki 15 ribu awak pasukan. Berkoalisi dengan Kerajaan Aceh Darussalam Ratu Kalinyamat tahun 1574 menggempur Portugis di selat Malaka.
Sedemikian gemilang kiprah para perempuan Muslimah di Nusantara ini memang memiliki paradoks dengan apa yang dialami oleh perempuan-perempuan di benua Eropa. Sebagai contoh, selepas revolusi Perancis yang didorong oleh semangat Renaisans, Konstitusi Perancis tahun 1792 masih melarang perempuan berkiprah di ranah publik. Bahkan, hukum perdata Kaisar Napoleon tahun 1804—yang sempat diberlakukan di sebagian besar Eropa—menetapkan bahwa harta dan penghasilan perempuan berada dalam kontrol mutlak suami. Ini tentu memberi bukti gamblang kepada kita betapa perempuan-perempuan di Nusantara berkiprah jauh lebih dahulu dan jauh lebih maju dari para perempuan Barat.
Kartini sebagai pahlawan kita
Masih di penggal abad 16 hingga 19, kiprah perempuan di Nusantara sesungguhnya tak pernah terhenti. Bahkan, di ranah literasi hadir para Carik Estri (perempuan dokumentator)-tahun 1741-1795-yang mendokumentasikan perjuangan RM Said sejak bergerilya di hutan selama 13 tahun hingga masa beliau memerintah Mangkunegaran. Hadirnya para Carik Estri yang membuahkan karya tulis otentik ini membuktikan betapa majunya intelektualitas perempuan Nusantara di abad 18 tersebut. Sungguh pencapaian unik dan spektakuler.
Saat RA Kartini lahir dan menjalani kehidupan beliau-tahun 1879-1904-keadaan Nusantara telah berubah. Masyarakat terstratifikasi secara sosial menjadi kelas-kelas yang berbeda derajat. Kelas bangsa Eropa sebagai kelas tertinggi, diikuti kelas Timur Asing dan Ningrat, serta paling bawah adalah kelas Bumiputera.
Beliau mendapati anak-anak bumi putera-laki-laki dan perempuan-dilarang sekolah, dan anak-anak puteri bangsawan hanya sebagian kecil yang diperbolehkan bersekolah bersama anak Tuan-tuan Eropa. Demikianlah kondisi sebagai bangsa terjajah. Di negeri sendiri harus tertunduk-tunduk tak punya harga diri apalagi kebebasan berekspresi dan mengoptimalisasi potensi.
Kala itu bahkan Kartini tidak mengetahui secara memadai mengenai berbagai kemajuan dan prestasi yang telah dicapai oleh para perempuan Nusantara di masa sebelumnya, bahkan tentang prestasi Ratu Kalinyamat sekalipun sebagai leluhur beliau di tanah kelahirannya sendiri. Kartini memahami masyarakatnya sebagaimana keadaan saat itu. Informasi-informasi kegemilangan Nusantara masa sebelumnya tentu saja ditutupi atau didistorsi oleh para penjajah.
Namun sebagai ‘anak kandung penoreh sejarah’, Kartini tampil melawan ketidakadilan. Nuraninya nan jernih terus mencari kebenaran dan memompakan energi perjuangan. Maka, demikianlah RA Kartini menjalani hari-harinya sepenuh determinasi. Ketulusannya dan kejujurannya dalam berjuang kiranya adalah teladan yang patut kita anut. Dengan terang-benderang kita dapat membacanya dalam surat-surat beliau pada para teman penanya.
Dalam perjalanan perjuangan nan jernih itu, kehendak Sang Maha Esa juga kiranya ketika RA Kartini mendapat pencerahan hakiki yang selama ini beliau cari. Ialah pemahaman tentang hakikat kehidupan, arti keberadaan dan titik akhir tujuan sebagai manusia. Itulah yang beliau dapatkan dalam kajian tentang surat Al-Fatihah saat mengikuti pengajian di rumah kerabat beliau. Kajian tersebut disampaikan dalam Bahasa Jawa—bahasa sehari-hari masyarakat setempat—oleh Kyai Soleh Darat, di mana hal seperti ini jarang sekali terjadi karena dilarang oleh penjajah Belanda.
Dalam kehidupan yang tercerahkan tersebut, seiring dengan menggeloranya semangat kebangsaaan yang subur bersemi di awal abad 20, Kartini memosisikan diri sebagai bagian dari barisan pejuang Indonesia merdeka. Beliau merelakan beasiswanya untuk Agus Salim—pemuda cerdas dari ranah Minang—atas nama semangat memajukan Indonesia, walaupun pemuda tersebut akhirnya tak bersedia menerima bantuan penjajah. Kartini menunjukkan dengan kata dan perbuatan keberpihakan beliau pada kesatuan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Semangat senantiasa menjadi pembelajar
Banyak hikmah dengan ditetapkannya Hari Kartini sebagai hari besar nasional. Terutama kesadaran yang terus-menerus dihidupkan tentang mahalnya kemerdekaan dan bersyukurnya kita menjadi manusia yang dapat menjadi tuan di negeri sendiri. Termasuk kaum perempuan. Juga kembali kita diingatkann tentang capaian-capaian spektakuler para perempuan Nusantara bahkan jauh sejak sebelum RA. Kartini lahir.
Peringatan hari Kartini sungguh menancapkan kesadaran bahwa pemahaman akan nilai, kesungguhan menuntut ilmu, kecintaan pada bangsa dan tanah air, serta solidaritas sosial dengan terjun langsung memberdayakan masyarakat adalah sebuah proses vital yang tak boleh berhenti dijalani oleh setiap perempuan anak negeri. Dengan semua hal tersebut kita—perempuan-perempuan Indonesia—akan terus menjadi pembelajar dari berbagai pelajaran yang tersurat maupun tersirat, agar kita tak tersesat secara hakikat dan dapat terus menebar manfaat bagi sesama. Terimakasih Ibunda kami, terima kasih Ibu Kartini…
Depok, 16 April 2017
*) Penulis buku: “Kartini dan Muslimah dalam Rahim Sejarah”