oleh Fitri H*
KPUD baru saja selesai menghitung Real Count Pilkada DKI 2017. Anies-Sandi menang di angka 57, 95 persen. Ahok-Djarot di angka 42.05 persen.
Maka, kini Saatnya kita mengevaluasi kinerja aneka lembaga survei berdasarkan hasil real count itu. Publik jelas dan harus juga punya hak mengevaluasi bahkan menghukum lembaga survei agar mereka lebih berhati-hati dengan metodelogi.
Ini penting agar publik tidak hanya dijadikan obyek oleh lembaga survei. Publik juga harus menjadi subyek, membangun tradisi mengkritik lembaga survei agar berhati-hati dengan publikasinya.
Saya gunakan kategori kartu merah untuk lembaga survei yang salah fatal. Kartu kuning untuk lembaga survei yang tak mempublikasi hasil surveinya padahal di putaran pertama mereka aktif. Kartu biru untuk lembaga survei yang berhasil menggambarkan realitas di hari pilkada.
Kartu merah diberikan kepada SMRC (Saiful Mujani Research Center), Indikator, dan juaranya Political Charta.
Kartu merah itu untuk dua kegagalan. Pertama kegagalan menggambarkan trend. Ketiga lembaga survei itu menggambarkan trend Ahok yang menaik, dan Anies yang menurun. Kenyataannya, Anies justru menanjak tinggi melambung ke angka 57,95 persen.
Kedua, kegagalan menggambarkan selisih kemenangan. Ketiga lembaga itu meyakinkan publik bahwa selisih Anies vs Ahok sangat tipis, bahkan di bawah margin or error. Kenyatannya, selisih Anies dan Ahok sangat besar di atas 15 persen, berkali -kali di atas margin of error.
Dua kegagalan ini fatal. Dan tiga lembaga di atas layak dicatat publik mendapatkan kartu merah untuk urusan pilkada.
Mengapa Political Charta dianggap juara kartu merah? Lebih fatal lagi, Political Charta menjadi satu satunya lembaga yang menggambarkan Ahok sudah menyalip Anies. Kenyataannya 180 derajat, dukungan Anies justru semakin meninggalkan Ahok.
Kartu kuning diberikan kepada lembaga survei yang absen di putaran kedua. Padahal di putaran pertama mereka sangat aktif.
Mengapa absen? Alasan yang sebenarnya tidak kita ketahui. Tapi absen di babak final (putaran kedua), padahal aktif di babak semi final (putaran pertama), itu mengundang kecurigaan.
Lembaga tersebut sangat mungkin memilih tidak mempublikasikan hasilnya karena hasilnya bertentangan dengan bohir atau kepentingan lembaga itu. Jelas itu absen karena pemihakan.
Atau bahkan tak mendapatkan order melakukan survei padahal di putaran pertama aktif konferensi pers soal surveinya. Inipun sebuah point negatif kok gagal mendapat order di babak final padahal mendapatkan order di putaran pertama? Maka, kartu kuning layak diberikan kepada lembaga itu. Yaitu CSIS, Litbang Kompas, Polltracking, dan juaranya Populi Center.
Mengapa Populi Center menjadi juara kartu kuning? Lembaga ini sangat aktif soal pilkada DKI bahkan sebelum para calon gubernur diumumkan. Di putaran kedua, Populi Center sama sekali tak ada konferensi persnya. Mengapa?
Kartu biru diberikan kepada lembaga survei yang berani melakukan konferensi pers dan jelas jejaknya, dan hasilnya bisa menggambarkan hasil resmi pilkada DKI. Lembaga yang tidak melakukan konferensi pers resmi tidak dihitung untuk kategori ini. Yang mendapatkan kartu biru lembaga survei Median, SDI, dan juaranya LSI Denny JA.
Mengapa LSI Denny JA menjadi juara kartu biru? Ini karena bila dibandingkan dengan dua lembaga survei lain, LSI Denny JA satu satunya yang berani mengklaim kemenangan Anies-Sandi dengan dua hal.
Pertama, hanya LSI Denny JA yang konferensi pers dan mempublikasi Anies-Sandi di atas 50 persen. Kedua, LSI Denny JA menggambarkan selisih Anies vs Ahok di atas margin of error, yang bahkan tak bisa disusul walaupun suara swing voters yang tersisa semuanya ke Ahok.
Selesai sudah Pilkada DKI Jakarta. Sekali lagi publik melihat dengan mata kepala sendiri kinerja lembaga survei.
Untuk kali ini, kita berikan selamat kepada LSI Denny JA yang menjadi juara kartu biru. Sekaligus juga warning untuk pemerima kartu merah: SMRC, Indikator, terutama Political Charta.
*Fitri H, peneliti alumnus FISIP UI