REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali*
Setelah melalui proses panjang, sengit, heboh, dan terkadang menggigit dan menyakitkan, akhirnya pemilihan gubernur DKI telah berlalu. Ada sebagian pengamat yang menyebutkan pilkada Jakarta kali dengan "the most brutal campaign". Akhirnya, pasangan Anies Sandi yang diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera memenangkan pertarungan itu.
Tidak diragukan lagi jika DKI sesungguhnya cerminan dari gerak langkah dan peta perpolitikan Indonesia saat ini dan minimal beberapa tahun ke depan. Selain karena posisinya sebagai ibukota sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Juga karena pilkada ini melibatkan sentimen nasional, tentu karena faktor-faktor terkait antara lain kasus Al-Maidah 51.
Saya pribadi sangat bangga dengan pilkada DKI itu. Selain senang dengan hasilnya, karena saya masih lebih mendukung calon yang santun dan berkarakter, juga karena saya kenal gubernur terpilih Anies Baswedan dengan kredibilitas dan kapabilitasnya.
Tapi yang paling membanggakan adalah bahwa dengan segala hiruk pikuk dan berita yang kerkeliaran sana sini, pilkada DKI berjalan dengan lancar, aman, dan sukses. Bagi saya, ini sekaligus menggambarkan tingkat kedewasaan dan kesadaran politik dan demokrasi warga yang mengedepankan spirit kebebasan secara bertanggung jawab.
Lebih jauh lagi tentunya 80 persen lebih pemilih adalah Muslim. Sehingga dengan sendirinya menyampaikan pesan jelas kepada dunia bahwa proses demokrasi dan Islam bukan dua hal yang harus dipertentangkan. Dan karenanya Indonesia harus bangga dengan posisi yang khas ini. Dunia merindukan partisipasi umat Islam dalam memperkuat basis demokrasi pada setiap levelnya. Dan Indonesia punya kredibilitas dan mampu membuktikan itu.
Ketidak jujuran internasional
Tidak disangkal bahwa proses panjang yang dilalui oleh pilkada Jakarta ini cukup seru, bahkan sekali lagi dalam ekspresi sebagian "sangat brutal". Sejatinya itu bukan masalah. Di mana saja, di dunia ini, proses pertarungan politik seringkali menghadapi realita yang demikian. Bahkan, di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun. Kampanye pemilihan Hillary melawan Donald Trump bahkan lebih seru dan brutal.
Sesungguhnya yang menjadi masalah adalah ketika penghakiman itu dilakukan secara tidak jujur. Setelah kemenangan pasangan Anies Sandi, media barat mulai melakukan "analisa" dengan metode usang; connecting factors. Seolah dengan adanya orang-orang atau kelompok tertentu yang selama ini ditenggarai sebagai "radikal" lalu kemenangan Anies Sandi juga dimaknai sebagai kemenangan radikalisme di Indonesia.
Sekarang terjadi kampanye terstruktur (sistimatik) untuk membangum persepsi bahwa kemenangan Anies Sandi menjadi ancaman bagi minoritas, baik secara agama (non Muslim) maupun ras (khususnya mereka yang berketurunan Cina). Allan Nairn salah satu sebagai misal. Allan adalah seorang penulis yang sejarahnya memang anti Indonesia, sejak kasus Timor Timur dan Orde Baru. Setelah kemenangan Anies Sandi, Allan menuduh kemenangan ini didukung oleh FPI, dan jahatnya pula FPI dikaitkan dengan ISIS.
Ketika kata itu tampil di permukaan, kira-kira persepsi apa yang kemudian terbangun di dunia internasional? Sungguh jahat iktikad mereka yang sering berkoar pentingnya berdemokrasi. Tapi, di saat apa yang dianggap kepentingannya tidak berhasil, dilakukanlah fitnah keji seperti itu.
Saya memang sadar bahwa tuduhan-tuduhan seperti ini "highly expected" (sangat memungkinkan). Ketika calon mereka masih di atas angin, menempati posisi teratas pada putaran pertama, rasanya biasa saja. Bahkan, beberapa pihak tidak terlalu peduli. Boleh jadi karena sangat percaya diri bahwa calon unggulan mereka yang akan memenangkan pilkada DKI. Maka, ketika calon mereka gagal memenangkan pertarungan itu, cara yang paling efektif untuk menghalangi paslon terpilih, atau minimal melakukan "distraksi" (gangguan) sehingga paslon pemenang kehilangan konsentrasi dan tidak mendapat dukungan dalam menjalankan amanahnya.
Terus terang saja, saya agak curiga jika propaganda calon Muslim itu selalu dianggap tidak mampu, korup, dan seterusnya sudah menjadi agenda yang sistimatis. Serangan ke Anies-Sandi, saya curigai serangan kepada umat Islam itu sendiri. Mengobok-obok kemenangan Anies Sandi sesungguhnya adalah menarget umat. Bahwa umat Islam itu jika menang, maka kemenangannya bukan karena proses demokrasi. Tapi, kemenangan yang dibangun di atas kebencian dan intoleransi. Dan pada akhirnya persepsi yang terbangun adalah bahwa calon Muslim itu pasti tidak mampu dan selalu cenderung korup.
Maka, tantangan gubernur Anies dan wakilnya ke depan adalah menjaga diri dari kemungkinan dua lobang. Lobang pertama adalah tuduhan "intoleransi". Dan karenanya akan ada tekanan yang luar biasa dari pihak luar yang digandeng oleh kelompok dalam negeri yang punya kepentingan.
Dan lobang kedua adalah permainan halus yang akan dilancarkan oleh sebagian yang punya kepentingan dalam negeri. Ingat, pak Harto pernah terjatuh dalam perangkap mereka ini. Khawatirnya, Anies-Sandi akan tergelincir ke dalam lobang yang sama.
Dukungan banyak ulama akan dijadikan amunisi palsu jika Anies memang menggandeng kelompok radikal. Kelompok yang antiagama lain, antiras dan etnik lain, dan seterusnya. Dan karenanya, apapun nantinya, yang akan dilakukan oleh Anies-Sandi akan dilabeli sebagai bentuk intoleransi. Kemungkinan usaha-usaha Anies-Sandi nanti mengangkat derajat kaum mustadh'afin akan dianggap keberpihakan ke kelompok radikal.
Dalam dunia, kita yang semakin membingunkan, hal ini bukan baru dan mengejutkan. Kemenangan Presiden Morsi di Mesir, walaupun melalui jalur demokrasi pasca-pemerintahan diktator Husni Mubarak mengalami hal yang sama. Mungkin Anies-Sandi tidak sampai separah itu. Tapi, targetnya adalah membangun persepsi jika kemenangan seorang Muslim dalam sebuah proses demokrasi itu adalah ancaman kepada demokrasi.
Akhirnya, saya memang selalu heran, bahkan terusik dengan sikap sebagian dalam menyikapi proses-proses kehidupan komunal, termasuk proses demokrasi di Indonesia. Padahal, saya selalu bangga dan menyampaikan kebanggan ini kepada banyak orang di Amerika.
Baru-baru ini, saya mendapat kesempatan khutbah Jumat di gedung Capitol Hill (gedung Kongress AS). Sebelum khutbah itu saya bertemu dengan seorang tokoh Muslim Amerika yang telah lama saya kenal. Beliau adalah Dr. Saeed Seyyed, direktur nasional Interfaith untuk ISNA. Beliau juga adalah mantan Sekjen dan salah seorang pendiri organisasi terbesar di Amerika itu.
Dalam pertemuan itu, saya dikejutkan oleh pertanyaan beliau yang kira-kira bunyinya: "what was the main cause of recent riots in Jakarta? Why Indonesians if they don't like a non Muslim to be their governor, to go through a democratic process or election?"
Artinya persepsi yang sampai ke beliau, dan ingat dia seorang pemimpin Muslim AS, adalah bahwa kemarahan umat di Jakarta (dan Indonesia) karena didasari oleh kebencian kepada non Muslim dan etniknya. Sehingga, dalam pandangan Amerika, hal ini, jelas tidak bisa diterima karena memang itulah tafsiran demokrasi universal.
Tapi yang paling mengejutkan saya adalah kata "riots" (kekacauan atau anarkis). Saya bertanya anarkis yang mana? Beliau mengatakan yang bulan Desember lalu.
Saya kemudian menjelaskan bahwa yang terjadi bukan anarkis. Tidak sama sekali. Justeru yang terjadi adalah sebuah kebebasan ekspresi sebagai simbolisasi soliditas kehidupan berdemokrasi. Bukankah kita mengakui bahwa dalam dunia demokrasi Anda bebas setuju dan tidak setuju? Dan Anda bebas mengekspresikan itu selama tidak melanggar aturan dan ketertiban umum.
Yang terjadi di Jakarta adalah ekspresi kebebasan berdemokrasi. Dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan menakjubkan. Bayangkan, jika Anda dipersepsikan marah, atau minimal protes kepada suatu hal. Dan Anda berada pada posisi mayoritas, berjuta-juta manusia. Tapi, Anda lakukan itu dengan penuh damai, tertib, dan tidak satupun pohon yang dirusak. Apalagi properti atau orang non Muslim yang disentuh. Bukankah itu sebuah kebanggan? Bayangkan kalau kasus Ahok itu, terlepas dari salah atau tidak dalam pendangan hukum, tapi sudah menjadi persepsi umum kalau dia menghina agama orang lain. Dan itu terjadi di Pakistan, atau di salah satu negara di Timur Tengah. Kira-kira apa yang akan terjadi?
Maka, aksi 212 itu bukankah suatu hal yang perlu dicatat sebagai sejarah yang membanggakan dalam perjalanan sejarah bangsa dan umat Indonesia?
Mendengar itu beliau baru sadar dan paham tentang hal yang sesungguhnya terjadi.
Yang ingin saya sampaikan adalah betapa persepsi bisa dibolak balik oleh media yang begitu kuat dalam dunia global saat ini. Dan semua juga tahu, jika media itu berada dalam genggaman para pemodal. Dalam bahasa sehari-hari di Jakarta, media itu dikontrol oleh para bandar. Dan lebih specifik lagi media itu digenggam oleh para taipan.
Pada akhirnya, saya mengharapkan agar semua warga Jakarta sadar jika pilkada telah dilangsungkan dan hasilnya sudah ada. Proses telah selesai dan karenanya semua harus siap menerima hasil itu, apakah sesuai harapannya ataupun tidak sesuai. Larut dalam lamunan kecurigaan, kekecewaan bahkan kemarahan sudah pasti hanya akan memperdalam luka yang telah ditimbulkan oleh hiruk pikuk kampanye yang diistilahkan sebagian dengan "brutal campaign" itu.
Saya memang sudah cukup lama terusik, bahkan resah dengan prilaku sebagian orang Indonesia, di saat berbicara tentang kasus-kasus yang anggaplah benar sebagai kasus intoleransia. Tapi sekali lagi, kasus adalah kasus. Di mana saja kasus itu selalu ada, bahkan di negara yang merasa Mbah-nya demokrasi sekalipun. Yang menjadi masalah ketika kasus itu dihakimi sebagai wajah Indonesia secara keseluruhan. Bagi sebagian diaspora di luar negeri, pembusukan Indonesia ini, biasanya dipakai alasan untuk mendapat status lewat "political asylum". Anehnya ketika ditolak, mereka kembali ke Indonesia menetap seolah tanpa malu dan beban apapun.
Oleh karenanya saya mengajak semua pihak untuk "legowo" menerima hasil pilkada itu. Ahok yang telah menjadi harapan banyak orang, bahkan sebagian di luar negeri seperti Franklin Graham, penginjil berpengaruh di Amerika, dengan tenang telah menerima kekalahannya dengan hati yang legah. Bahkan, ditegaskan kalau kekuasaan itu Tuhan yang memberi. Lalu kenapa penggemarnya masih saja banyak yang ngeyel? Bahkan berusaha mencari seribu alasan jika kemenangannya itu seolah tidak demokratis dan berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan beragama?
Saya tentunya juga tekankan kembali bahwa kalau ternyata kemenangan Anies-Sandi itu menjadi alasan intoleransi, apalagi dijadikan alasan menzalimi kelompok minoritas, maka saya akan menjadi orang pertama yang akan mengingatkan itu. Sekali lagi, kemenangan Anies-Sandi adalah kemenangan Jakarta dan Indonesia, serta kemenangan demokrasi. Dan karenanya jangan sampai kembali ternodai oleh friksi sistemik. Pemegang amanah harus sadar bahwa dia dipilih untuk memimpin semua pemilih. Baik yang memilihnya maupun yang memilih lawannya.
Saya juga ingatkan pendukung Anies-Sandi, khususnya umat Islam, bahwa perbedaan pilihan agama, apalagi pilihan politik tidak boleh menjadi alasan kebencian dan perpecahan. Kemenangan Anies-Sandi yang dimaknai oleh sebagian sebagai kemenangan umat Islam, justeru menjadi pengingat amanah keadilan. Bahwa jangan hanya bisa menuntut keadilan. Tapi tidak kalah pentingnya adalah bebuat adil karena itu ketakwaan. Semoga!
* Presiden Nusantara Foundation