REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Saat Referendum Timor Timur lepas dari pangkuan pertiwi, apakah faktor suku, agama, ras, dan antargolong (SARA) penyebabnya? Saat provinsi Papua minta Otonomi khusus, apakah faktor SARA penyebabnya?
Apakah DI Aceh meminta hal khusus ihwal daerahnya dan direstui pusat, bahkan partai lokal hanya ada disana, apakah SARA penyebabnya?
Itu semua tentang keadilan. Jika kita bernegara sudah tak lagi menemukan keadilan atau negara, tak lagi bisa menegakkan hukum dan keadilan, maka marilah bersama mulai hitung mundur umur integrasi kita.
Wahai rezim, jangan kau perlakukan hukum ini pada banyak orang, tapi kau istimewakan yang lain.
Berapa banyak lagi kau biarkan orang yang meludahi kain persatuan negeri ini, kemudian dengan kata maaf semuanya seolah-olah tenang.
Jangan kau biarkan kata toleransi menjadi alat perayu kepada mereka yang sudah diinjak harga dirinya untuk diam.
Jangan kau jadikan kata sakti kebinekaan untuk melindungi sikap intoleransi mereka yang merusaknya.
Rakyatmu hanya minta kau adil menerjemahkan dan menegakkan siapa yang merusak itu!
Begitu mudah kau tangkap pembawa bendera merah putih bertuliskan kalimat Suci Syahadat yang karena mungkin ketidaktahuan yang bersangkutan, tapi begitu sulit kau cari seorang Iwan Bopeng di negeri ini.
Begitu mudah kau tersangkakan seorang yang statusnya dianggap pemicu keretakan NKRI, seperti Buni Yani, tapi begitu sulitnya kau selesaikan ketikan tuntutan sang penista.
Bahkan, saat ketikan tuntutan selesai: mudah sekali melempar ketidak adilan. Sampai kapan semua ini dimainkan? Sampai kapan bangsa diterjang peluru-peluru kebodohan?
Sekarang masyarakat dunia menanti vonis sang penista agama. Kekonyolan apalagi yang mau dipertontonkan? Siapa menuai pasti menanam. Cukup kita saksikan balasan terhadap yang bermain-main dengan ketidak adilan dan hukum alam.
*) Pegiat Sosial Politik