Selasa 16 May 2017 19:41 WIB

Vonis Ahok dan Rezim HAM Internasional

Red: Fernan Rahadi
Fajri Matahati Muhammadin
Foto: dok. Pribadi
Fajri Matahati Muhammadin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin

Ramai pemberitaan ketika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengkritik vonis kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. PBB meminta Indonesia meninjau dan tentu mencabut pasal penistaan agama yang menjerat Ahok. Inipun bukan pertama kalinya Indonesia kena 'panggang' di PBB karena masalah HAM. Bagaimana menyikapinya?

Masalah ini sangat kompleks, khususnya dalam berusaha memahami rezim hukum HAM internasional. Berangkat dari konstruk berfikir yang sekuler dan Eropa-sentris, kriminalisasi penistaan agama adalah dianggap pelanggaran kebebasan berekspresi. Penistaan agama tidak eksplisit disebut dalam instrumen HAM Internasional antara lain Deklarasi Universal HAM, ICCPR, dan semisalnya, tapi tertulis dalam General Comments yaitu dokumen yang disusun oleh Komite HAM PBB.

Menarik untuk dicatat bahwa sebuah Konvensi HAM butuh diratifikasi dulu sebelum mengikat kepada sebuah negara, dan sudah mafhum bahwa ratifikasi dilakukan melalui prosedur di hukum nasional masing-masing negara agar dapat selaras dengan kepentingan negara tersebut. Mengapa ketika sebuah komite kecil mengeluarkan dokumen (yang tidak mengikat secara formal) bisa langsung dianggap penafsiran otoritatif yang satu kesatuan dengan konvensinya tadi dan mengikat bagi negara-negara?