REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*
Awalnya, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi masih terngiang dengan peristiwa pembantaian Muslimin di Yerusalem pada 1099. Maka, saat 88 tahun kemudian, ketika ia berhasil memukul mundur tentara Eropa dari kota suci itu, hasrat membalaskan dendam atas kekejian lawannya hadir serta-merta. Dan di sisi inilah Shalahuddin mampu mengendalikan hasrat membalaskan dendam. Tidak ada narasi pembantaian umat Nasrani, selain beberapa orang elit tentara yang dikenali melampaui kemanusiaan ketika melawan perlawanan muslimin.
Bagi umat Islam, umumnya kebaikan hati Shalahuddin itu membekas dalam dan dikenali sebagai kebenaran. Betapapun ada kemungkinan sebelumnya bahwa ia hendak membalaskan dendam atas penghinaan atas saudara seimannya. Shalahuddin memang tidak steril dari kemungkinan hasrat manusiawi, selaku pelaku di lapangan yang menyaksikan kekejian dan kekotoran siasat lawannya. Di sisi inilah celah sebagian kalangan pengkaji kejadian Perang Salib menempatkan Shalahuddin untuk dilabeli tak elok.
Carole Hillenbrand dalam The Crusade; Islamis Perspectives (1999) menyitir Ibn al-Atsir ihwal dendam Shalahuddin yang enggan dituliskan kalangan sejarawan Muslim. “Nilai propaganda penaklukan Yerusalem oleh Saladin yang tanpa pertumpahan darah jauh lebih berarti dibandingkan dengan dorongan, yang segera teratasi, untuk melakukan pembalasan.” Para sejarawan Muslim, seperti Ibn al-Atsir, menurut guru besar Studi Islam dan Bahasa Arab di University of Edinburgh ini merasa perlu menampilkan perilaku Shalahuddin demikian bukan sekadar untuk memperlihatkan keunggulan pribadinya tetapi juga keunggulan perilaku Muslimin.
Perspektif Hillenbrand yang menempatkan framing para sejarawan Muslimin masih bisa dipersoalkan. Seakan kepahlawanan dalam konsepsi Islam harus steril dari kesalahan dan kekeliruan. Tanpa pembingkaian fakta sejarah pun, Muslimin tidak minder dengan keyakinan diri terkait keunggulan konsepsi iman Islam.
Bila Hillenbrand mengambil kritik secara akademik, beberapa rekan sebangsanya malah beranjak lebih jauh. Bukan para sejarawan Muslim yang dikritik lebih dulu, tapi langsung kepada sosok sentral Shalahuddin. Tanpa tedeng aling-aling, beberapa pihak di Barat yang membicarakan Perang Salib masih percaya bahwa pahlawan Islam ini berbuat aib dengan perempuan bangsawan Nasrani. Pendapat yang tanpa riset dan bukti otentik ini lebih menyerupai kampanye hitam merusak reputasi Shalahuddin. Syukurnya, pernyataan memburukan perilaku demikian tidak begitu menyeruak dalam ranah akademik.
Kepribadian dan perangai Shalahuddin begitu memikat sehingga menginspirasi banyak orang sepanjang zaman. Watak kemanusiaan dan welas asih kepada lawan adalah pelajaran telak kepada sesiapa yang meragukan Islam sebagai agama cinta damai. Sayangnya, fakta inilah yang ingin “dihancurkan” oleh para pendengki Islam, dengan metode merusak nama baik dan perilaku pahlawan Islam. Seakan bila sang pahlawan bertindak demikian, begitulah ciri Islam.
Jalan memutar menghancurkan kebesaran Islam lewat perilaku tokoh-tokohnya berkali-kali ditempuh. Sayangnya, para tokoh itu masih mempertahankan kehormatan. Dus, diputarlah akal untuk menghancurkan yang lebih akut lewat politik ketakutan. Siasat yang lazim dipakai salah satunya merusak dengan fitnah hadirnya perempuan dalam kehidupan sang tokoh Muslim. Sosok perempuan yang dalam ajaran Islam masuk kategori “terlarang” dalam konteks hubungannya. Inilah yang dirangkai dari narasi pendengki.
Senjata akhir mereka yang terdesak dan kesulitan mencari kelemahan lawan adalah mengumpankan perempuan. Perempuan dijadikan objek antara menjerat lawan. Situasi yang sangat sulit memaksa kalangan tertentu memakai siasat yang dalam pepatah China disebut “mei ren ji”; menggunakan perempuan untuk memikat lelaki. Memikat lelaki agar lengah dan dihabisi.
Siasat ini sering dipakai oleh kalangan tertentu yang memegang kekuasaan. Dari Antasari, Abraham Samad, Luthfi Hasan, dan kini diujikan lagi pada Habib Rizieq Shihab dalam kasus percakapan tak senonoh. Kalangan pemakai siasat ini sebenarnya hanya perlu perusakan reputasi, sama seperti para pendengki kepahlawanan Shalahuddin. Dengan reputasi rusak (asumsinya, reputasi ini jantung “membunuh” musuh), hancurlah lawan. Khalayak tidak lagi memercayai sang tokoh penting, dan jatuh mentallah para pendukungnya.
Terlampau berpaku pada satu siasat sebenarnya satu kelemahan mendasar. Dan ini yang tak (mau) disadari kalangan tersebut. Siasat ini melupakan “man tian guo hai”, mengecohi langit menyeberangi lautan. Perulangan menjerat lawan dengan cara sama akan diabaikan khalayak. Sebab mereka jadi paham adanya “pola” sehingga akhirnya curiga bahkan sinis pada pelaku siasat mengumpankan perempuan. Tampaknya ini sebabnya di Barat pun siasat menjatuhkan nama baik Shalahuddin tidak begitu laku. Hati boleh membenci Shalahuddin, tetapi memercayai rumor kebusukan terkait isu perempuan sama saja memperbodoh nalar kritis mereka. Mereka yang masih yakin dengan kekuasaan di tangan tapi konsisten merusak pihak lain dengan siasat menjebak lewat isu perempuan mestilah sadar akan kecerdasan khalayak. Bukan terus-menerus membodohkan diri dengan siasat yang keji tapi malah memperlihatkan kepanikan dan tiadanya kemampuan profesi bekerja sesuai aturan.
Di lain pihak, kebusukan hati sebagian orang untuk melabel buruk tanpa dasar pada para tokoh anutan semestinya pula tak diperbuat Muslimin. Jangan sampai kebencian kita pada kalangan lain diperturuti dengan begitu mudahnya kita termakan pada hasutan tak jelas ihwal umpan perempuan. Kita tak suka tokoh umat diperburuk nama baiknya dengan isu umpan perempuan. Begitu pula kalangan lain tak mau ketika ada rumor tak jelas menerpa tokoh teladannya diserang lewat soal perempuan. Kejadian yang menerpa sebagian saudara seiman kita, hendaknya tidak membuat kita alpa ketika mendapati kalangan lain saling serang dengan isu umpan perempuan.n
*Kurator pustaka lawas di Perpustakaan Samben, Yogyakarta