REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : DR Hj Reni Marlinawati *)
Dunia pendidikan Indonesia kembali berduka. Dalam kurun waktu tidak sampai setengah tahun atau hanya lima bulan, peristiwa kekerasan menimpa dua peserta didik hingga meninggal dunia. Mohammad Adam, (Mei 2017) peserta didik taruna Akademi Kepolisian, Semarang, Jawa Tengah meninggal dunia akibat dipukul seniornya. Peristiwa seperti ini bukan yang pertama, sebelumnya (Januari 2017), seorang siswa taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda, Jakarta Utara, Amirullah Adityas Putra, 19 tahun, meninggal dunia juga akibat dipukuli seniornya.
Kedua peristiwa di atas, bagi dunia pendidikan bukan hanya menyedihkan, namun juga mengenaskan. Peserta didik meninggal dipukuli seniornya, hingga meninggal, hanya karena salah paham. Ironisnya peristiwa di atas terjadi di sekolah yang menerapkan disiplin tinggi.
Pada dasarnya, pendidikan, khususnya di Indonesia, sangat menentang tindakan kekerasan. Sebab kekerasan bukan solusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan, terkadang kekerasan itu sendiri merupakan sumber masalah. Meski demikian, kekerasan bisa terjadi dimana saja, di rumah, di lingkungan kerja, bahkan di sekolah sekalipun. Menurut Pierre Bourdieu, seorang sosiolog, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan.
Kekerasan dalam pendidikan
Kekerasan dapat terjadi di mana saja, baik dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga, maupun sekolah, namun kekerasan yang sering terjadi di sekolah disebut bullying. Namun pada umumnya orang lebih mengenalnya dengan istilah-istilah seperti “penggencetan”, “pemalakan”, “pengucilan”, “intimidasi”, dan lain-lain. Sekolah sebagai persemaian perilaku berbudi telah dinodai oleh berbagai perilaku kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa.
Di Indonesia kasus kekerasan (bullying) seperti di atas sudah menjadi fenomena yang memprihatinkan. Kekerasan terjadi di semua tingkatan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi. Menurut data yang ada di KPAI, mulai tahun 2011 hingga Agustus 2014, tercatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25 persen dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Kekerasan di sekolah ini, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar.
Lembaga internasional Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melakukan penelitian dan merilis hasilnya pada awal Maret 2015, menunjukkan terdapat 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70 persen. Data lain lagi menyebutkan bahwa jumlah anak sebagai pelaku bullying di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 njadi 79 kasus di 2015.(www.republika.co.id)
Bullying sendiri berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya berupa stress yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya. Bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku verbal dan fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu seseorang yang lebih lemah.( John W. Santrock, 2007;213).
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri. Dapat dikatakan pula bullying adalah tindakan yang dilakukan seseorang secara sengaja membuat orang lain takut atau terancam sehingga menyebabkan korban merasa takut, terancam, atau setidak-tidaknya tidak bahagia.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku menyimpang yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang lebih kuat terhadap orang yang lemah dengan tujuan untuk mengancam, menakuti, atau membuat korbannya tidak bahagia.
Faktor penyebab peserta didik melakukan bullying salah satunya diantaranya karena faktor lingkungan keluarga yang berantakan dan lingkungan sekolah (teman sejawat) yang menonjolkan superioritas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi keluarga yang berantakan, terjadinya perceraian orang tua, orang tua yang tidak stabil perasaan dan pikirannya, orang tua yang saling mencaci maki, menghina, bertengkar dihadapan anak-anaknya, bermusuhan dan tidak pernah akur, memicu terjadinya depresi dan stress bagi anak. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga yang berantakan cenderung akan meniru kebiasaan buruk tersebut dalam kesehariannya. (Irvan Usman, 2013;15)
Selain itu, lingkungan sekolah (teman sejawat) yang menonjolkan senioritas juga menjadi penyebab terjadinya bullying. Senioritas tidak hanya terjadi di sekolah selama siswa baru mengikuti pelajaran. Rasa senioritas bahkan terjadi di luar sekolah. Senioritas menjadi sangat populer di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini terjadi baik di sekolah negeri dan swasta, PTN dan PTS kerap terjadi senioritas dengan alasan untuk „menggembleng‟ junior agar tahan mental dan fisik selama berada di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. (Ponny, 2008:22).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor keluarga memiliki andil yang besar sebagai penyebab timbulnya perilaku bullying di kalangan peserta didik. Karena itu, pendidikan keluarga menjadi hal yang sangat penting dalam membina dan mendidik anak untuk dapat hidup bermartabat.
Selain itu, kondisi lingkungan di sekolah terutama teman sejawat yang memiliki perasaan sebagai senior. Perasaan senioritas sebagai lebih super dibanding adik kelas harus dihilangkan. Senioritas harus dimaknai sebagai rasa tanggungjawab dan pengayoman yang lebih besar kepada adik tingkatannya.
Jika kedua penyebab di atas dapat diselesaikan, maka kasus bullying yang sampai meminta korban jiwa, tidak akan pernah terjadi lagi. Para tunas bangsa harus dapat hidup dan terus berkembang untuk memajukan bangsa ini. Jangan biarkan mereka layu sebelum berkembang. Semoga kasus di atas adalah kasus bullying terakhir dan tak pernah terjadi lagi.
*) Anggota DPR RI, Ketua Fraksi PPP