Oleh: Lukman Hakim*
Setelah melalui proses politik yang cukup panjang, pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit yang berisi tiga hal: Pertama, menetapkan pembubaran Konstituante. Kedua, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Melihat isi Dekrit Presiden, segera muncul pertanyaan mengapa Dekrit sama sekali tidak mencantumkan rencana pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) sebagai upaya demokratis membentuk pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945. Jika tanpa pemilu, lalu dengan cara apa pemerintahan baru yang akan bekerja berdasarkan konstitusi baru itu akan diproses pembentukannya?
Mengenai hal ini, Ahmad Syafii Maarif dalam disertasinya antara lain menulis: “Hal ini dapat berarti bahwa ia (Presiden Sukarno) tidak ingin mendapat legitimasi politik melalui pemilihan umum.”
Dengan kekurangannya yang segera terlihat itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (1910-1970): “kemudian didukung secara aklamasi oleh DPR dan dengan demikian menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara Republik Indonesia, yang harus ditegakkan bersama-sama dengan saling menghormati identitas masing-masing.”
Pada 28 Juli 1959, dalam nota kepada Presiden Sukarno, Masyumi menegaskan pendiriannya: “Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada UUD yang berlaku dan oleh karenanya merasa berhak pula untuk meminta, bilamana perlu untuk menuntut, kepada siapapun, juga sampai kepada Pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada UUD sebagai landasan bersama hidup bernegara.”
Dengan disepakati secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955, maka berlakulah sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 yang antara lain menegaskan bahwa, meskipun Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR, tetapi kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Dalam sistem UUD 1945, Presiden bukanlah seorang diktator.
Namun, beberapa saat setelah berlakunya kembali UUD 1945, justru yang terjadi adalah pelanggaran terhadap UUD 1945 itu sendiri. Pada akhir 1959, Pemerintah mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Semua fraksi di DPR ternyata menolak RAPBN itu.
Dalam kasus seperti di atas, menurut UUD 1945, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. Akan tetapi, yang dilakukan oleh Presiden Sukarno tidak sebagaimana yang dengan tegas diatur oleh UUD 1945.
Menghadapi penolakan oleh DPR, Presiden Sukarno justru membubarkan DPR. Bung Karno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 3/1960 tentang Pembubaran DPR. Pembubaran DPR itu diikuti oleh rencana pembentukan DPR Gotong Royong yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden, dan tidak boleh ada stem-steman (pemungutan suara) –jika ada perbedaan pendapat, serahkan masalahnya kepada Presiden, nanti Presiden yang akan memutuskan. Belakangan pimpinan MPRS dan DPRGR malah dimasukkan ke dalam kabinet sebagai menteri ex-officio.
Menanggapi pembentukan DPRGR yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden Sukarno, Prawoto Mangkusasmito berkata: “Maafkanlah kalau yang demikian itu mengingatkan kita kepada kata-kata bersejarah Lodewijk XIV, L ‘etat C ‘est moi (Negara adalah Aku).”