REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Setidaknya apa yang dibutuhkan umat Islam sebagai subyek pewaris peradaban, lalu kembali mewarisinya dan melanjutkan karya besar peradaban dunia yang akan datang dengan melengkapi seluruh kualifikasi syarat-syarat kebangkitan peradaban. Baik pada skala pribadi Muslim, maupun sebagai entitas sosial.
Menang dan memimpin peradaban ini memang janji Allah SWT kepada mereka yang beriman dan beramal shaleh. Namun, bagaimana cara meraih kemenangan adalah wilayah kita sebagai manusia, sehingga itu semua bermuara pada bertemunya ruang usaha dengan takdir.
Dalam Alquran, kita disebutkan sebagai makhluk politik disebabkan sebuah alasan bahwa Allah SWT menghadirkan kita di atas punggung bumi ini sebagai wakil-Nya atau sebagai khalifah-Nya yang bertugas mengatur dan memakmurkan bumi ini. Kita terlahir dengan titipan misi langit nan agung yang harus kita semaikan di atas muka bumi agar tumbuh menjadi pohon kehidupan yang indah. Supaya siapapun manusia akan merasakan indahnya kehidupan ini dengan menjalankan kehendak-kehendak Allah.
Adakah makna tertinggi dari fungsi politik yang diwakilkan dengan kata khalifah? Itulah kata yang merangkum semua derivat kata politik dan fungsinya di atas muka bumi ini. Jadi, memisahkan Islam dari kegiatan politik hanyalah kesia-siaan, seperti sulitnya kita memisahkan rasa dingin dari saljunya dan memisahkan rasa panas dari mataharinya.
Islam secara tegas menyuruh ummatnya memiliki salah satu kualifikasi manusia peradaban sebagai manusia politik, yaitu politik yang berketuhanan atau dalam istilah lain: siyasah syar'iyah.
Allah adalah Maha sempurna, karenanya agama ini adalah kumpulan nilai kesempurnaan sebagai panduan dari langit untuk hidup di atas bumi. Namun disitulah letak masalahnya, kita bukan makhluk yang sempurna, kita bukanlah perangkat yang selalu stabil dengan tujuan dan agenda itu sendiri.
“Wakhuliqol insaanu dhoiifaa..", demikian bahasa Alauran tentang kita bahwa Allah telah menciptakan kita dalam keadaan penuh kelemahan. Tapi kita tidak kuatir dengan masalah itu, karena Allah sendirilah yang sudah membuat jalan keluanya dengan firman-Nya dalam surat At Taghaabun ayat 16," Fattaqullaha mastatho'tum..." , maka bertakwalah kalian sesuai dengan kesanggupan kalian.
Bagi pejuang politik Islam, ini menjadi penting karena kita akan mengkondisikan ummat agar apa yang diinginkan Allah. Itu pula yang menjadi keinginan manusia, hukum yang Allah SWT perintahkan juga menjadi hukum yang diterapkan manusia, namun di situlah ruang yang penting untuk kita pahami.
Karena, praktiknya dalam kehidupan ini tidak seideal itu. Saat agama ini berisikan daftar perintah dan larangan dari Allah SWT dan ketika turun ke bumi mengalami dua aspek "diskon" dalam aplikasinya. Pertama, adalah saat Islam berhadapan dengan realitas atau kenyataan lapangan. Kedua saat berhadapan dengan kelemahan manusia itu sendiri.
Saat berbenturan dengan kondisi realitas, sebagai syariat yang memiliki sifat kelenturan dan keluwesan, Islam menghadapinya dengan baik. Itulah sebabnya ulama kita membekali salah satu ilmu alat dengan fikih waqi' atau fikih realitas karena disitu berhadapan bagaimana Islam membumikan syariatnya agar bisa dijalankan.
Aspek diskon yang kedua adalah saat kumpulan nilai-nilai Islam yang ideal itu tak pernah mengenal reduksi. Masalahnya adalah kadar kita dalam menjalankannya yang selalu mengalami reduksi karena memang sifat asal kita. Itulah sebabnya kita diminta bertakwa sesuai kadar kesanggupan paling maksimal, sebab tiada yang bisa "sempurna" dalam ketakwaan.
Jadi, Islam yang kita amalkan sejak Rasulullah SAW wafat yang sepanjang sejarah penuh dengan fluktuasi peradabannya bukanlah yang sempurna. Namun, itulah netto kita dalam beragama ini setelah mengalami dua diskon dalam lapangan kenyataan dan dalam diri kita.
Karena itulah jika para pejuang hanya menulis agenda perjuangannya yang ideal-ideal saja dan bahkan sangat rigit dan teknis, maka dia bisa terjerumus pada gerakan yang akan menyalahkan semuanya, baginya semua tidak ada yang ideal dalam kacamatanya.
Saat bersamaan kita sangat paham bahwa adakah benar-benar gerakan Islam yang ideal dan bahkan sudah membumikan yang ideal itu? Sehingga tak satupun gambaran kesuksesan perjuangan Islam di pentas muka bumi ini untuk diapresiasi, karena yang ada dalam benak kita adalah kumpulan-kumpulan nilai idealisme yang rigit dan teknis sebelum mengalami "diskon".
Itulah yang dikatakan Ibnu Aqil, “Jikalau yang Anda maksudkan dengan syariat Islam itu harus sesuai dengan apa yang pernah di contohkan Rasulullah SAW adalah salah. Namun jika yang Anda maksudkan adalah tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan ajaran Rasulullah, maka itulah yang benar.”
*) Pegiat Sosial Politik