Ahad 04 Jun 2017 06:15 WIB

Dekrit Presiden, Piagam Jakarta: Mimpi Sukarno Kubur Partai Politik?

Mantan presiden Soekarno
Foto: Blogspot
Mantan presiden Soekarno

Oleh: Lukman Hakiem*

Dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2017, Presiden Joko Widodo antara lain menyinggung proses penemuan dasar negara sejak pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, perumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sampai kesepakatan 18 Agustus 1945.

Dalam catatan saya,  ejak Orde Baru, inilah untuk pertama kalinya seorang Presiden menyebut Piagam Jakarta dalam nada positif sebagai suatu rangkaian proses penemuan dasar negara kita.

Tiga Gagasan Dasar Negara

Konstituante yang diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 10 November 1956, akhirnya dibubarkan,  juga,  oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden Republik Indonrsia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang,  pada 5 Juli 1959.

Konstituante yang dibentuk untuk menyusun konstitusi negara,  pada mulanya menampung tiga gagasan dasar negara: Pancasila,  Islam,  dan Sosial-Ekonomi.

Gagasan dasar negara Pancasila didukung oleh Partai Nasional Indonesia (PNI,  116 anggota), Partai Komunis Indonesia (PKI,  termasuk Fraksi Republik Proklamasi,  80), Partai Kristen Indonesia (Parkindo,  16), Partai Katolik (10), Partai Sosialis Indonesia (PSI,  10), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI,  8), ditambah dukungan partai-partai kecil sehingga berjumlah 273.

Gagagasan dasar negara Islam didukung oleh Partai Masyumi (112), Partai Nahdlatul Ulama (91), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII, 16), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti,  7), ditambah dukungan sejumlah partai kecil sehingga semuanya menjadi 230.

Gagasan dasar negara Sosial-Ekonomi didukung oleh Partai Buruh (5), dan Partai Murba (4). Karena hanya mendapat 9 dukungan,  Sosial-Ekonomi akhirnya tidak menjadi pusat pembicaraan.  Pusat pembicaraan adalah Pancasila dan Islam.

Nah, dari komposisi dukungan,  segera terlihat,  baik Pancasila maupun Islam sama-sama tidak mampu meraih dukungan mayoritas mutlak dua pertiga suara sebagai syarat untuk dapat disyahkan menjadi dasar negara.

Seperti dikatakan oleh BJ Boland, pada pemilihan umum 1955 tidak satu pun di antara aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia yang tampil sebagai pemenang. Sebab, yang muncul adalah suatu perimbangan kekuatan yang mengharuskan adanya kompromi dalam bidang politik,  baik di parlemen maupun di konstituante. Dan, para pemimpin politik juga melihat,  jalan kompromi adalah jalan yang niscaya.

Setahun kemudian,  langkah kompromi itu diputuskan oleh Konstituante dengan membentuk Panitia Perumus Dasar Negara.

Panitia yang dibentuk oleh rapat paripurna ke-59, 11 November 1957, terdiri dari 18 anggota yang mewakili semua kelompok dalam Konstituante.

Mereka adalah: Enin Sastraprawira,  H Hoesein Sastro Sudarmo,  KH Sjukri,  KH Masjkur, AS Dharta,  Achmad Astrawinata,  JCT. Simorangkir,  Amin La Engke,  Ben Mang Reng Say,  Sutan Takdir Alisjajbana,  Firmansjah,  Baheramsjah St.  Indra,  Kuasini Sabil, Oei Tjoe Tat,  Sjamsu Harja Udaja, Sajogja Hardjadinata,  dan Madomiharna.

Pada rapat paripurna Konstituante,  6 Desember 1957, Panitia melaporkan lima kesimpulan penting. Di antara laporan itu,  antara lain:

"Agar dibentuk suatu Panitia Ad Hoc,  Panitia Kompromi, terdiri dari tokoh-tokoh pembela dasar negara Islam dan Pancasila masing-masing 5 orang... Mempunyai tugas mencari suatu perumusan yang dapat menampung segala keinginan dari dua belah pihak, misalnya dalam bentuk Nasionalisme,  Religi,  dan Sosialisme,  sehingga usul dasar negara Sosial-Ekonomi tertampung juga."

Diharapkan adanya toleransi yang sebesar-besarnya terutama dari golongan Pancasila dan Islam untuk bersama-sama berusaha agar dalam menghadapi penyusunan dasar negara tidak menemui kegagalan."Jalan kompromi dapat ditempuh dengan mengumpulkan segala sila yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara."

Panitia juga melaporkan kepada rapat paripurna,  perumusan kompromi Dasar Negara Republik Indonesia,  sebagai berikut:

"Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian,  bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain agama yang berada di tanah air kita. Dasar-dasar negara selanjutnya ialah Persatuan Bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat Gotong Royong,  Perikemanusiaan,  Kebangsaan,  dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement