Oleh: Erie Sudewo
My President. Saya bukan Pancasila. Namun sebagai rakyat, saya dukung anda. Harapan saya sederhana saja. Jangan sampai kelak terbukti, saya tersudut bahwa saya salah pilih. Sebelum kasep, maka lumrah saya himbau: “Ayo berbenahlah, Boss”.
Jangan Kecewakan Pendukung
Sebagai pendukung, jangan tanya loyalitas saya. Sampai saya tulis sekarang, akrobatik saya tak kunjung usai. Tangkis sana sini serangan padamu, Boss. Tak mengapa saya terus jadi bahan tertawaan. Dilecehkan dan dibully, itu konsekuensi lumrah loyalis.
Apa sih beda antara patuh dan loyalis? Beti. Ada yang bilang, patuh itu karena takut. Takut disemprot, takut tak naik pangkat, atau khawatir dimutasi. Ada pamrih. Sedang loyalis, barangkali maknanya lebih dari sekadar patuh. Meski tak dapat apa-apa, loyalis tetap loyal. Meski cuma bisa lihat di layar kaca, tetap saja loyalis bela. Padahal belum pernah kita sruput kopi bersama kan. Apalagi makan urak arik tempe ala Warteg kesukaan anda Boss.
Sebagai loyalis sejati, nyaris tiap hari saya berpikir dan bela anda. Loyalitas begini kerap mengganggu sebelah. Seorang shohib sempat bertanya: “Apa Jokowi pernah berpikir tentang anda, bertanya hidup anda, dan hendak memberi sesuatu untuk anda?” Jleeeb.... kena saya. Seolah saya ditampar kiri kanan atas bawah.
Boss saya memang musti pandai bersyukur. Sebab berapa banyak jumlah loyalis seperti saya ini. Khusus berkait saya, anda malah musti sujud syukur berkali-kali. Sebab boleh dibilang, saya loyalis tahan banting. Sudah tiga tahun sejak Kabinet Kerja berjalan, saya tak terjengkang gubrak karena ditertawai dan dilecehkan.
Di samping saya tak minta uang sepeserpun. Tak minta diundang bukber di Ramadhan ini. Juga tak minta didoakan, apalagi diumrohkan. Sementara loyalitas saya, seperti yel orang Jawa. Yang bunyinya: “Pring reketek gunung gamping jebol. Sopo sing manteb dadi loyalis Jokowi jempol”.
Keren kan Boss. Andai tak sujud syukur, Rhoma Irama bilang: “Terlaluuu...”.