Selasa 13 Jun 2017 01:00 WIB

Khalifah dan Kriminalisasi Ulama

Puluhan massa dari Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Islam menggelar aksi,di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (22/5). Aksi tersebut menuntut pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi terhadap ulama, aktivis Islam dan Gerakan Dakwah Islam.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Puluhan massa dari Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Islam menggelar aksi,di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (22/5). Aksi tersebut menuntut pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi terhadap ulama, aktivis Islam dan Gerakan Dakwah Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana *)

Kebijakan tabbani Khalifah al-Ma’mun (Muharram 198 Hijriah - Rajab 218 Hijriah) dalam soal status Alquran telah ditetapkan. Penguasa yang mengayomi mazhab Mu’tazilah ini memilih sikap: Alquran tak lain Kalamullah yang serupa kita, makhluk. Bukan qadim, sebagaimana diyakini banyak ulama.

Sejatinya, Khalifah al-Ma’mun merupakan pencinta pengetahuan, menyukai kebebasan berpendapat dalam disiplin akademis. Entah mengapa, dalam isu khalq Alquran ini Khalifah tak memberi ruang berbeda. Semua mesti diseragamkan. Di kemilauan masa yang mengunggulkan pengetahuan, kepemimpinan al-Ma’mun pula menghadirkan kebijakan yang mencoreng kebesarannya.

Kebijakan dan keyakinan khalq Alquran al-Ma’mun sebenarnya ditentang banyak ulama di Baghdad. Namun, dera yang berat membuat banyak ulama tidak butuh waktu lama memilih. Dalam terpaksa dan berpura-pura, mayoritas ulama memilih mengikuti kaul al-Ma’mun. Menyatakan bahwa kalamullah adalah makhluk meski isi hati menjerit keras.

Dari sekira 3.500 ulama Baghdad masa itu, hanya tinggal empat orang yang masih bertahan dengan keyakinan lama sesuai manhaj para sahabat Rasulullah— bahwa al-Quran itu qadim, bukan makhluk. Empat ulama itu Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Ubaidillah al-Qawariri, dan Sujaddah bin Abdullah. Empat ulama itu harus menerima konsekuensi akibat sikap berbeda dengan penguasa.

Tapi penjara beserta hukuman penyertanya suatu waktu membuat dua nama tadi berubah. Bukan karena meyakini kebenaran keyakinan al-Ma’mun. Siksa di penjara membuat Ubaidillah al-Qawariri dan Sujaddah bin Abdullah memilih berkompromi. Tapi bukan serta-merta tunduk sebagaimana ribuan ulama di luar penjara. Besarnya siksaan algojo al-Ma’mun di satu sisi, dan keengganan untuk mengubah suara hati di sisi berbeda, menjadikan taktik bermain kata-kata ditempuh. Semata untuk selamatkan nyawa.

Demikianlah masa itu berlalu, sebagaimana dikutip dari Ahlus-Sunnah wal Jamaah: Their Belief, Attributes, and Qualities karya Omar Bakri Muhammad (2005). Satu masa kala paham akal segalanya berkuasa jumawa, dan hanya menyisakan empat orang pemuka Islam di Baghdad memilih lajur beda. Berseberangan pikiran dan sikap dengan kekuasaan berikut jejaringnya.

Bagi mayoritas ulama tersebut, adakah cerita kebengisan Khalifah terhadap empat kolega mereka yang masih bertahan? Tidak, tidak ada penyebutan Khalifah al-Ma’mun menggelar kriminalisasi apalagi persekusi. Jelas, mereka memilih diam; mungkin tidak setuju, tidak berani, tapi sebagian lagi malah 'menikmati' kekerasan pendirian dan sikap Ahmad bin Hanbal dan kawan-kawannya. 

Bagi kalangan yang mendiam, atau bahkan menyokong tindakan Khalifah, jelas tak ada cerita kriminalisasi oleh penguasa. Yang mereka lihat adalah penegakan hukum semestinya sesuai wewenang dan tanggung jawab penguasa. Tidak lebih dari itu. Maka, tindakan bengis kepada Ahmad bin Hanbal dan kawan-kawan dipandang bukan kriminalisasi, melainkan perbuatan normal saja yang tak perlu dicemaskan. Mengherankan bila ada suara-suara yang menuntut bela ulama semisal Ahmad bin Hanbal ini.

Begitulah zaman di masa mihnah Imam Ahmad Ibn Hanbal berlaku. Al-Ma'mun bertindak pongah demi tegaknya paham kemakhlukan Quran. Dan nyaris semua ulama 'menolak' adanya kriminalisasi, sebab mereka sudah memilih aman ketimbang dikriminalisasi penguasa. Celakanya, sebagian ulama itu memilih bersuara menghabisi kalangan alit yang menuntut adanya keadilan; agar keadilan ditegakkan penguasa. Suara untuk mengiba pada penguasa agar ulama yang berseberangan tidak dikriminalisasi malah dihardik sebagai kedustaan belaka.

Dan sunnatullah pergantian kekuasaan pun berlaku. Selepas tirani penguasa Abbasiyah penyokong khalq Alquran, para ulama Baghdad yang mayoritas itu dicela.

“Mereka diabaikan dan diturunkan derajatnya oleh kaum ahli hadis. Tindakan mereka dianggap sebagai aib. Seseorang yang enggan menanggung risiko dan penderitaan dalam membela kebenaran tidak pantas disebut alim (ulama),” tulis Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh dalam al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islam.

Sejatinya, niat al-Ma’mun untuk menyeragamkan bisa ditoleh sebagai upaya 'kebajikan', yakni ada umat tidak terus-menerus berpecah akibat sibuk berdebat. Sayang, “kebajikan” menyatukan hal yang masih polemik di kalangan ulama itu disegerakan dengan tindakan persekusi bagi yang enggan menuruti kaul pilihannya. Repotnya, banyak ulama memilih aman hingga hanya tersisa segelintir ulama menegakkan kepala agar kebenaran yang diyakini tidak terkikis kekuasaan.

  

Di lain pihak, kekuasaan yang menjinakkan ulama galibnya akan diikuti tindakan proaktif sesama ulama lainnya untuk meredam umat. Agar semua dikehendaki seragam dengan kekuasaan. Demikianlah, kita bisa mafhum masa Imam Ahmad bin Hanbal berulang di tengah kita. Ya, tatkala misalnya ada oknum ulama pemangku ribuan ulama kota dan desa lantang berkata, "Tak perlu ada bela ulama, karena tak ada kriminalisasi ulama!”

Bagi sang alim ini, kriminalisasi jelas tiada. Sayang, beliau tak membuka aspirasi banyak rakyat awam seimannya yang merasakan berkebalikan. Dus, pahamlah kita apa yang terjadi: siapa serupa Imam Ahmad, siapa yang hanya turuti 3.500 jalan ulama Baghdad dalam tempo sama.

*Kurator Pustaka Lawas Perpustakaan Samben Yogyakarta

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement