REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wina Armada Sukardi *)
Aneh dan menarik, ketika Tim Kelompok Kerja (Pokja) Pusat Pengembangan (Pusbang) Film Kemendikbud menyelenggarakan semiloka untuk masukan Pedoman dan Petunjuk Teknis Apresiasi Film Indonesia (AFI). Kalau itu, tiba-tiba Dewi Umaya, Wakil Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), serta merta dengan nyinyir mengatakan, Pusbang Film telah melanggar etika, karena tidak mengajak dan melibatkan BPI!
Tentu pernyataan itu menimbulkan sejumlah tanya. Memangnya BPI itu badan hukum apa yang dapat memaksa lembaga negara seperti Pusbang Film Kemendikbud harus selalu mengajak dan melibatkan BPI? Kan BPI cuma lembaga swasta mandiri. Kenapa pula harus berani-beraninya memaksa lembaga negara dan menempati BPI sebagai organisasi perfilman yang lebih tinggi dari organisasi perfilman lainnya? Usut punya usut, ini lantaran salah kaprah pemahaman sebagian orang terhadap UU No 30 Tahun 2009 tentang Perfilman, khususnya terhadap tugas BPI.
Begitulah akibatnya, hampir setiap acara perfilman yang diselenggarakan oleh negara, jika tidak melibatkan BPI, pastilah ada pihak-pihak yang mengatasnamakan BPI, mengajukan protes. Contohnya ya Dewi Umaya itu tadi. Ujaran mereka prinsipnya sama, kenapa kok BPI tidak dilibatkan? Seakan semua kegiatan perfilman haruslah dengan koordinasi atau persetujuan BPI. Dalam hal ini seakan BPI menempatkan diri sebagai "penguasa" untuk berbagai kegiatan tersebut, sehingga mereka harus dilibatkan.
Apakah benar posisi BPI sedemikian tinggi sehingga semuanya harus di bawah koordinasi BPI? Bukankah BPI cuma badan hukum swasta mandiri? Bagaimana pengaturannya secara hukum, terutama menurut UU No 30 Tahun 2009 tentang Perfilman?
Pasal 67 UU Perfilman menegaskan, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan perfilman. Peran masyarakat itu dapat dilakukan secara perorangan atau kelompok. Kemudian dalam pasal 68 UU Perfilman disebut, untuk meningkatkan sebagian peran masyarakat itu dibentuk BPI.
Pasal 69 menyebut ada 8 tugas BPI:
a. Menyelenggarakan festival film di dalam negeri;
b. Mengikuti festival film di luar negeri;
c. Menyelenggarakan pekan film di luar negeri;
d. Mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing;
e. Memberikan masukan untuk kemajuan perfilman;
f. Melakukan penelitian dan pengembangan perfilman;
g. Memberikan penghargaan; dan
h. Memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.
Nah, dari sini persoalan muncul. Adanya tugas-tugas inilah kemudian dianggap BPI bahwa BPI memiliki otoritas penuh terhadap seluruh delapan kegiatan tersebut, termasuk yang telah dan akan dibuat pihak lain non BPI. Dengan kata, BPI menafsirkan semua kedelapan bidang tersebut harus melalui koordinasi dan persetujuan BPI, tak peduli apakah kegiatan yang ada sudah ada dan dikelola pihak lain.
Contohnya soal FFI atau AFI. Menurut versi BPI, karena ada tugas itu, penyelenggaraan FFI dan AFI harus selalu melibatkan BPI. Bahkan ketika Pokja dari Pusat Pusbang Film sedang membahas rancangan Pedoman dan Petunjuk Teknis AFI, Wakil Ketua BPI, Dewi Umaya, dengan gagah perkasa mengatakan, Pusbang Film telah melanggar etika.
Pemahaman BPI itu bukan hanya hanya salah tafsir saja, tapi menunjukan sikap anti demokrasi. Bagaiama mungkin sebuah lembaga swasta seperti BPI boleh mencaplok kegiatan yang bukan dilahirkan dan bukan miliknya!
Pemberian tugas dalam pasal 69 kepada BPI bermakna BPI diberikan tugas-tugas untuk mampu menghasilkan dan mengerjakan kreasi atau ciptaan BPI sendiri, bukan mencaplok hasil karya atau produk lain. Itu karena BPI sama sekali tidak diberikan hak-hak dan keistimewaan apapun untuk menjalankan tugasnya, selain kedudukanya sebagai swasta mandiri.
Contohnya, soal penyelenggaran festival di dalam negeri atau di Indonesia, adanya tugas dalam pasal 69 tidaklah berarti BPI diberi hak mengatur festival-festival yang bukan dihasilkan oleh atau karya BPI sendiri. Sebaliknya tugas itu bermakna BPI harus membuat atau menghasilkan festival film karya sendiri! Penyelengarakan festival film karya BPI sendiri. Made in BPI sendiri.
Begitu juga tugas menyelenggarakan pekan film Indonesia di luar negeri tidak berarti BPI diberi hak, semua pekan film Indonesia di luar negari harus boleh "dicaplok" BPI dan dengan demikian tunduk kepada BPI! Seharusnya, BPI berkarya atau berkreasi memuat pekan film Indonesia sendiri di luar negeri! Begitu juga semua tugas-tugas yang diamanatkan kepada BPI haruslah dibuat hasil karya BPI sendiri dan diselenggarakan oleh BPI sendiri, bukan "merampokan" yang sudah milik pihak lain!
BPI kan cuma lembaga swasta tanpa keistimewan apapun, selain dibebani dengan tugas-tugas berat!
Mungkin sebagian pengurus BPI lupa membaca penjleasan pasal 69 UU Perfilman yang dengan tegas dan terang menderang mengatur, 'BPI bukanlah satu-satunya' penyelenggara festival di Indonesia dan BPI juga bukan satu- satunya' lembaya penyelenggaran pekan film Indonesia di luar negeri. Ini menepis pendapat yang menilai BPI adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas atau kewenangan menyelenggarakan festival film di Indonesia dan karena itu semua kegiatan festival film harus berkoordinasi dengan BPI! Lebih salah lagi pendapat yang mengatakan, semua penyelebggara festival film di dalam negeri wajib tunduk kepada BPI.
Adapun yang benar, BPI dituntut agar BPI mampu menghasilkan karya sendiri secara mandiri, sesuai dengan sifatnya sebagai swasta mandiri, membuat dan menyelenggarakan festival film di Indonesia atau pekan film di luar negeri. Bukan malah "mencaplok" dan "mengakui" festival-festival yang telah ada sebagai milik BPI. Itu namanya "perampokan!".
Lagipula menurut hukum Indonesia, badan swasta seperti BPI tidak boleh mengambil milik pihak lain, juga tidak boleh mengintervensi badan hukum lainnya! Belum lagi dikaitkan dengan UU antimonopoli, yang melarang swasta melakukan monopoli!
Perlu disadari tidak ada satupun dari sekitar 90-an festival film di Indonesia yang kelahirannya dibidani oleh BPI. Tak ada konstribusi apapun dari BPI terhadap lahirnya semua festival film di Indonesia. Lalu bagaimana mungkin BPI sebagai lembaga swasta mengaku sebagai pemilik sah festival-festival itu? Contohnya lagi-lagi FFI. Dari sejarah, FFI dibidani oleh Persatuan Produser Film Indonesia. Dalam perjalanannya kemudian, banyak pihak memberikan konstribusi kepada FFI. PWI, misalnya, bersedia "mengorbankan" pemilihan the best aktor and aktris ke dalam FFI agar FFI lebih besar dan seterusnya.
Jadi, banyak pihak berperan dan berkonstribusi dalam penyenggaraan FFI. Lantas sekarang BPI sebuah lembaga swasta yang tak punya sumbangsih apapun terhadap FFI, mau mengakui dan "mencaplok" FFI menjadi festival miliknya dan menguasai FFI tanpa dasar hukum yang kuat apapun?! Jelas, ini salah kaprah. Mana mau pihak yang sudah memikiki sumbangsih "dipaksa tanpa hak" oleh BPI!!
Demikian juga AFI. Sudah jelas AFI dilahirkan sebagai anak kandung Kemendikbud, sehingga Kemendikbud berhak menyelenggarakan dan mengelola AFI. Kini ada Pusbang Film sebagai organ Kemendikbud, wajar saja Pusbang Film menyelenggrakan dan mengelola AFI atas nama Kemendikbud. Tak ada yang salah sama sekali Pusbang Film. Termasuk tidak ada yang keliru dari Pusbang Film menyelengarakan semiloka persiapan pembuatan Pedoman dan Perunjuk Teknis AFI.
Dalam hal ini Pusbang Film mau mengajak atau tidak mengajak BPI, sama sekali tidak melanggar hukum, tidak melanggar etika dan juga tidak melangggar kepatutan. Bahwa jika kemudian Pusbang Film mau mengandeng siapapun, itu juga masih dari bagian tupoksi Pusbang Film, termasuk menggandeng Tim manapun. Tentu juga boleh menggandeng BPI. Tapi sesuai UU Perfilman sendiri, Pusbang Film yang dananya berasal dari ABPN tidak boleh memberikan batuan dan tidak boleh memnfasilitasi BPI, kecuali bersifat hibah! Bantuan dari Pusbang Film Kemendikbud dan pihak manapun yang berasal dari ABPN/APBD kepada BPI, yang tidak bersifat hibah dapat dikatagorilan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi!
Sejarah membuktikan, BPI sama sekali tidak pernah ikut membidani AFI. Memberikan sumbang saran terhadap emberional kelahiran AFI pun tidak. Tiba-tiba kini BPI sebagai lembaga swasta merasa semua kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan AFI harus melibatkan BPI dan jika tidak dianggap melanggar "etika." Jelas, ini juga salah salah kaprah.
Apalagi dikaitkan dengan pasal 67 UU Perfilman yang menegaskan penyelenggaraan perfilman dapat bersifat berorangan dan kelompok. Artinya orang per orangan dan kelompok masyarakat boleh menyelenggarakan kegiatan pertilaman, bukan semata-mata BPI.
Jangan lupa BPI juga mempunyai tugas-tugas lain. Misalnya dari mulai melakukan penelitian dan pengembangan sampai memfasilitasi pembuatan film tertentu yang bermutu. Itu artinya BPI sebagai lembaga swasta mandiri ditugaskan mencari dana, dan setelah itu membuat penelitian serta memfasilitasi pembuatan film-film tertentu yang bermutu. Semua tugas-tugas itu tidak pernah disinggung dan dikerjakan oleh pengurus BPI sepanjang BPI berdiri. BPI tidak pernah menghasilkan karya apapun sebagaimana ditugas oleh UU Perfilman, khususnya pasal 69.
Memang kalau melihat tugas-tugas yang diberikan kepada BPI, hampir semua tugas itu gagal diemban oleh BPI. Tugas menyelenggarakan festival film di dalam negeri, tak ada satupun yang sudah berhasil dilahirkan dari karya BPI. Sebagai kamuflasenya, maka BPI ingin "mencaplok" dan menguasai festiva-festival film di Indonesia yang bukan miliknya dan bukan tugasnya. Lebih lanjutnya dalam rangka "mencaplok" festival-festival milik pihak lain, BPI tanpa malu menuding pihak lain, termasuk Pusbang Film Kemendikbud, yang menyelenggarakan Tupoksi masing-masing pihak, sebagai pihak yang "tidak beretika!" Ini bagaikan menampar muka BPI sendiri.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan:
1. BPI sudah salah kaprah memahami tugas yang diberikan oleh UU N0 30 Tahun 2009 tentang Perfilman, khususnya pasal 69, yaitu dengan menempat diri BPI sebagai pemilik semua festival film di Indonesia dan karena itu semua pihak harus melibatkan, berkordinasi dan tunduk kepada BPI. Padahal Penjelasan Pasal 69 sudah jelas menyebut BPI bukan satu-satu lembaga penyelenggaran festival film di Indonesia dan pekan film Indonesia di luar negeri. Tuas menyelenggarakan festival film di dalam negeri dan tujuh tugas lainnya yang harus dilahirkan, dibuat dan diselenggarakan dari hasil karya BPI sendiri, sama sekali tidak pernah dilaksanakan oleh BPI.
2. BPI telah gagal menjalanlan hampir semua tugasnya, antara lain tidak ada karya BPI menyelenggarakan festival film di Indonesia, pekan film Indonesia di luar negeri, melakukan penelitian tentang perfilman dan memfasilitasi pembuatan film tertentu yang bermutu. Sekali lagi tidak ada satu pun karya oleh BPI yang seharusnya dikerjakan BPI sebagai amanah tugas UU Perfilman kepada BPI.
3. Sebagai kamuflase kegagalan tugas itu, BPI merasa berhak terlibat dan mengkoordinasi festival-festival film di dalam negeri Indonesia yang bukan mikiknya, dan yang kelahirannya pun tanpa peran BPI sama sekali. Contohnya mengklaim FFI dan AFI yang harus selalu berada di bawah koordinas dan pengawasan BPI.
4. Untuk menguasai dan mencaplok festival-festival yang bukan miliknya, BPI menerapkan strategi menuduh pihak lain yang menyelenggarakan festival tanpa melibatkan BPI melanggar etika. Lebih dashyat lagi BPI menerapkan strategi mengadu domba sesama aparatur negara (misal Pusbang Film dengan Sekjen dll.)
5. Sesuai UU Perfilman, BPI cumalah lembaga swasta mandiri yang tidak diberikan keistimewaan hak-hak tertentu, sebaliknya dibebankan tugas-tugas tertentu. Sebagai lembaga swasta mandiri, BPI tidak boleh diberi keistimewaan apapun dibandingkan swasta lain. Batuan ke BPI dari APBN/APBD sesuai UU Perfilman sendiri hanya boleh bersifat hibah. Penyimpangan dari pemakaian APBN/APBD yang tidak bersifah hibah, dapat dikatagorikan tindak pidana korupsi.
6. BPI tidak memiliki hak untuk mengintervensi tupoksi lembaga-lembaga negara, termasuk Pusbang Film Kemendikbud. Begitu juga BPI tidak diberikan hak-hak apapun untuk melakukan intervensi terhadap swasta lainnya.
*) Pakar hukum media dan kritikus film.