REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bimo Sasongko, BSAE, MSEIE, MBA*
Sepanjang sejarah peringatan Hari Raya Idul Fitri menjadi perhelatan akbar bagi bangsa Indonesia. Pada Idul Fitri 1438 Hijriah kali ini diharapkan terjadi transformasi nilai dan spirit untuk kemajuan bangsa, utamanya meningkatkan produktivitas.
Bulan Ramadhan mestinya menjadi daya ungkit produktivitas nasional. Bukan menyebabkan konsumerisme, pemborosan, dan membuang waktu kerja.
Mudik Lebaran yang berubah bentuk menjadi tradisi yang universal seharusnya bernuansa tidak sekadar bermuatan artikulasi fisik, tetapi dapat ditransformasikan secara budaya menjadi mudik rohani yang memberikan spiritual dan berbuah etos kerja yang didorong semangat kompetisi global dalam berbagai bidang.
Mudik Lebaran dianalogikan sebagai ziarah budaya menuju kampung halaman rohani untuk menyerap energi guna bersaing secara lokal maupun global. Alangkah luar biasa perhelatan akbar yang bernama mudik yang telah menjadikan perpindahan ratusan juta massa dan ratusan triliun dana segar dari kota menuju perdesaan. Nuansa yang mendominasi wajah para pemudik tiada lain adalah keceriaan dan kegembiraan yang menyimpan dahaga dan ingin mereguk rasa kangen kepada kampung halaman rohaninya.
Dari sisi lini waktu, mudik adalah segmen pendek dari waktu kerja selama setahun. Namun waktu mudik yang relatip singkat itu harus berbuah hikmah yang berlimpah untuk memulihkan energi jiwa. Alangkah baiknya jika ritual mudik ditransformasikan menjadi nilai daya saing di medan kerja.
Para pemudik sebetulnya merupakan eksponen-eksponen kecil dari sebuah kolektivitas. Dari kolektivitas kampung, desa, kota, pulau, provinsi hingga menjadi sebuah kolektivitas kebangsaan. Semua bergerak menuju fitrah yang sama, yakni harkat kemanusiaan dan keadilan sosial. Dalam predikat sosial yang sangat beragam, dari kaum buruh, pedagang, aparatur negara, guru, hingga pejabat pemerintah, semuanya ingin dimuliakan secara tulus.
Bahwa kolektivitas kebangsaan mestinya bisa menghasilkan sinergi yang hebat jika terkait dengan daya saing dan produktivitas. Faktor non teknis untuk menggenjot produktivitas bangsa adalah mengartikulasikan tri-ukhuwah kebangsaan yang lahir dari nilai keislaman. Yakni mengembangkan sikap persaudaraan bukan hanya dengan sesama kaum Muslimin (ukhuwah Islamiyah), melainkan juga dengan sesama warga bangsa yang lain (ukhuwah wathoniyah) serta dengan warga dunia manapun tanpa diskriminatif (ukhuwah basyariyah). Tri-ukhuwah tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan seluruh elemen bangsa dalam menghadapi persaingan global yang makin sengit.
Idul Fitri dan pemudik lebaran dalam aspek kebudayaan bisa memperteguh kebhinekaan dan memperkuat kebudayaan nasional. Apalagi strategi kebudayaan menjadi kunci dalam program pembangunan pemerintahan dengan tajuk revolusi mental. Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Latin cultura atau colere yang berarti mengolah atau merekayasa. Kebudayaan tidak sekedar seni tradisi. Lebih dari itu, kebudayaan bisa menggenjot produktivitas dan memajukan korporasi dan ketatanegaraan. Serta membentuk sikap positif masyarakat yang selalu berusaha untuk maju atau sikap need of achievement.
Libur panjang telah menguras sumber daya keluarga. Dimensi liburan panjang juga menjadi cermin etos kerja bangsa. Dalam kamus etos kerja diartikan sebagai doktrin kerja yang diyakini oleh warga bangsa sebagai wujud nyata dalam perilaku kerja keras mereka. Dari aspek ideologi bangsa, etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti itu sulit terwujudnya kemakmuran.
Nilai dan spirit Idul Fitri harus bisa merubah mentalitas bangsa dan ranah psikososial, alam kehidupan para buruh dan birokrat di negeri ini setelah lebaran harus lebih mencintai pekerjaan atau tidak boleh mengeluh setiap hari. Banyak pihak yang setuju bahwa pekerja dan birokrat di Indonesia hinggi kini sebagian besar belum mencintai pekerjaanya setulus hati alias memiliki integritas yang masih rendah.
Spirit Idul Fitri relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang kekurangan jumlah wirausahawan. Bulan Ramadhan telah membuka banyak lapangan berusaha dan mendorong warga untuk mencetak bermacam produk dan jasa. Bulan Puasa menanamkan budaya berwirausaha di kalangan warga bangsa untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain.
Ramadhan selama ini telah mentrasformasikan pelaku UMKM semakin kreatif dan ulet. Hal tersebut sangat relevan, karena peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah ( UMKM ) terhadap ekonomi bangsa-bangsa di dunia sangat penting. Hal itu ditunjukan oleh Profesor Herman Simon dengan mengambil kajian ekonomi di beberapa negara. Ternyata UMKM merupakan jagoan tidak kentara yang mampu menjadi penyelamat ekonomi nasional. Prof. Hermann Simon adalah pemikir manajemen yang sangat berpengaruh setelah Peter Drucker. Dia pernah menjadi kepala European Marketing Academy.
Saatnya mentransformasikan nilai bulan Ramadhan dan spirit Idul Fitri yang tergambar dalam gelombang besar mudik lebaran menjadi faktor produktivitas. Produktivitas nasional tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi perlu perjuangan plus strategi dan tahapan. Tingkat produktivitas bangsa yang hingga kini masih rendah adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Untuk itulah jihad produktivitas sangat relevan untuk dijalankan. Kaum Muslimin dinegeri ini sebaiknya mulai mengkaji berbagai ajaran keagamaan yang bisa menimbukan qhiroh atau greget untuk memacu usaha dan produktivitas.
Jihad produktivitas juga bisa memperluas lapangan kerja. Hal itu sebagai solusi untuk mengatasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia yang sekitar 2,9 juta per tahun, sebagian besar atau sekitar 80 persen di antaranya adalah tenaga kerja yang kurang terlatih. Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN, tak ada kata lain yang lebih penting, selain memperbaiki secara totalitas produktivitas dan nilai tambah lokal.
Dalam kesempatan yang sangat mulia ini saya menghaturkan SELAMAT HARI RAYA IDULFITRI 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin.
* Pendiri Euro Management Indonesia