REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rahmat Hidayat Pulungan*
Islam dan Tiongkok merupakan dua peradaban tua yang mengalami asimiliasi budaya selama berabad-abad. Peradaban menurut Samuel, P Huntington (The Clash of Civilization, 1996) adalah sebagai entitas kultural yang mencakup faktor-faktor obyektif sekelompok masyarakat, seperti bahasa, sejarah, agama, tradisi, institusi maupun identitas dan simbol identifikasi diri yang bersifat subyektif.
Dalam buku yang sama, Huntington memprediksi menguatnya peradaban Islam dan peradaban Tiongkok bersama peradaban Hindu (India), Jepang, Budha, Afrika, dan Amerika Latin, akan saling berbenturan atau sebaliknya, akan menyatu menjadi pesaing utama dari dominasi peradaban Barat.
Dari berbagai peradaban tersebut, peradaban Islam dan Peradaban Tiongkok, dianggap bisa mewakili peradaban Timur, yang karena sifat asimilatifnya akan bersaing merebut dominasi peradaban Barat. Islam dan Tionghoa, meski berbeda akar kulturalnya, tetapi saling memengaruhi hampir separuh penduduk dunia dan tersebar di berbagai negara dan bangsa. Hal itu minimalnya terlihat dari populasi umat Islam dan komunitas etnis Tionghoa di berbagai negara.
Menariknya, berbeda dengan nilai-nilai peradaban Barat, seperti sekularisme dan kapitalisme yang mengalami pertentangan keras ketika diterapkan di negara-negara berkembang, nilia-nilai keislaman dan tradisi Tionghoa bisa hadir dan menyatu dengan budaya lokal di berbagai negara.
Martin Jacques (2009) memotret secara khusus perkembangan ekonomi Tiongkok beserta faktor-faktor pendukungnya. Sebagai negara sosialis, Tionghoa mengalami tekanan ekonomi serupa dengan negara-negara Amerika Latin.
Namun dalam tekanan tersebut, Tiongkok justru berhasil membangun sistem ekonomi yang mandiri dan mengimpor berbagai produk kuliner, pengobatan tradisional, dan manufakturnya ke seluruh dunia.
Penyebaran global masakan Tionghoa menurut Jacques, telah berlangsung selama beberapa dasawarsa, berkat migrasi orang-orang Tiongkok.
Tiongkok yang pada empat dasawarsa sebelumnya terkategori sebagai negara dunia ke tiga, kini telah menjadi negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia.
Dengan pertumbuhan ekonominya yang fenomenal, ditunjang dengan investisasi di bidang militer yang besar-besaran, negara tirai bambu ini juga diprediksi bakal menggeser dominasi Amerika Serikat sebagai negara hyperpower.
Dengan proteksi anggaran yang ketat, kini Tiongkok telah memanfaatkan globalisasi yang digulirkan Barat, untuk membangun kekuatan ekonomi di negaranya. Tiongkok menerapkan sistem ekonomi yang sangat kapitalis dan moderen namun tetap memproteksi kepentingan negara dan warganya.
Reformasi ekonomi pada 1978 telah menjadikan Tiongkok sebagai salah satu negara tujuan terbesar untuk FDI (foreign direct investment) dunia dan juga memiliki hubungan yang penting di dalam rantai persediaan dunia.
Dari sebuah negara yang begitu terpuruk ekonominya, berpindah menjadi peringkat ke-empat dunia tingkat pertumbuhan ekonomi paling cemerlang di dunia.
Bahkan beberapa ahli percaya bahwa Tionghoa merupakan tantangan yang serius bagi Amerika Serikat untuk menjadi negara pemimpin dunia. (Herd & Dougherty, 2005)
Sejak 1978 hingga 2008, GDP Tiongkok rata-rata meningkat 9,8 persen, lebih cepat 6,8 persen dari tingkat pertumbuhan ekonomi dunia dalam kurun waktu yang sama.
Dari 1980 hingga 2008, perekonomian Tiongkok tumbuh 14 kali lipat. Hal ini menjadikan Tiongkok sekarang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Perkembangan ekonomi Tiongkok yang signifikan menjadikan posisi Tiongkok di level internasional semakin diperhitungkan. Kebangkitan ekonomi Tiongkok bagaikan sebuah representasi kemajuan negara-negara yang dulu sering disebut sebagai negara dunia ketiga.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mengesankan, tidak memungkinkan negara-negara lain juga dapat melakukan hal serupa. Tiongkok, menjadi harapan kebangkitan banyak negara lainnya.
Kini, Tiongkok juga digadang-gadang akan menjadi pemimpin koalisi negara Asia dan menjadi cikal bakal munculnya isu integrasi Asia Timur.