REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heryadi Silvianto *)
Tiba-tiba video blogger (vlog) buatan Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Jokowi berjudul #Bapak Minta Proyek dilaporkan ke Kepolisian oleh Muhammad Hidayat pada tanggal 2 Juli 2017 atas dalih menyebarkan ujaran kebencian, walau sejatinya video itu telah diunggah lama sejak Mei 2017. Epik lain, disaat yang bersamaan tersebar video penamparan seorang istri mantan pejabat kepolisian terhadap petugas aviation security (Avsec) di Bandara Sam Ratulangi Manado viral di media sosial. Setali tiga uang, akhirnya dua isu tersebut menjadi salah satu obrolan publik dan bahasan utama di media.
Keduanya dilaporkan ke pihak berwenang, namun yang terkini laporan terkait Kaesang dihentikan oleh Polisi karena tidak memenuhi unsur pidana. Sedangkan Laporan terkait Joice Warouw hingga tulisan ini dibuat tetap belum dicabut oleh pelapor meski dirinya sudah menyampaikan maaf lewat media.
Peristiwa komunikasi
Kedua isu tersebut secara umum sesungguhnya masuk dalam kategori peristiwa komunikasi, yakni aktivitas yang menciptakan pesan. Dalam memotret peristiwa itu setidaknya dapat dibedah secara khas dalam empat dimensi; kronologis waktu, proses, aktor dan dampak.
Dalam sisi waktu video Kaesang diunggah pada mei 2017, sedangkan laporan terkait pencemaran baru dibuat di bulan Juli. Sehingga, secara faktual ada jarak antara produk dengan laporan delay. Ada semacam late exposure, fast response. Beda lagi dengan kasus Istri Brigjen (Purn) Johan Sumampouw yang terjadi pada tanggal 6 Juli 2017, kurang dari 24 jam kemudian kejadian 'pilu' itu sudah tersebar ke seluruh jagat maya, tembus hingga ke media-media nasional. Bisa dikatakan fast exposure, fast response.
Adapun terkait proses, video yang dibuat oleh Kaesang melewati tahapan yang berjenjang dan dalam keadaan sadar. Hal ini terbukti dari adanya pembubuhan 'video di dalam video' dan penyempurnaan efek disana-sini. Kaesang sadar bahwa video tersebut dibuat untuk dikonsumsi khalayak luas, karenanya hasil karyanya itu sebagai tindakan sosial. Sedangkan yang terjadi dengan Istri Jenderal lebih kepada tindakan personal di ruang publik. Dilalahnya, apa yang dilakukan ibu itu terekam smartphone. Hingga pada akhirnya menstimulus publik untuk menyebarluaskan. Joice tidak sadar ada kamera saat melakukan itu, sehingga seluruh tindakannya didasarkan pada pertimbangan emosional semata.
Aktor dalam video #Bapakmintaproyek adalah Kaesang sendiri, tanpa ada orang lain. Terlepas dari keberadaan dirinya selama ini sebagai selebritas vlog, dalam kasus ini status sebagai anak Presiden Jokowi seakan menjadi oksigen nilai berita (news value) prominence yang luar biasa tuk mendorong publisitas.
Di sisi lainnya, secara jujur, konflik yang menimpa istri perwira kepolisian seperti Joice sering kita temui saat di Bandara. Semisal orang marah karena delay pesawat, pelayanan yang buruk hingga kesalahan personal penumpang itu sendiri. Atas kondisi tersebut, beragam ekspresi muncul; marah, kesal, hingga diam saja.
Mungkin apa yang dilakukan Joice tidaklah seekstrem kejadian lain, semisal masuk ke patron bandara bawa senjata tajam secara bergerombol atau perilaku penumpang membobol pintu pesawat karena kepanasan. Tapi, sungguh yang menjadi efek pendorong konflik ini menjadi eventual karena dirinya istri seorang perwira kepolisian. Dus, campur aduk beragam pandangan di publik.
Dampak dari Vlog #Bapakmintaproyek secara sederhana bisa kita lihat di video itu sendiri. Setidaknya terdifrensiasi kepada tiga karakteristik viewers. Ada yang pro, netral, dan juga kontra dengan ekspresinya masing-masing. Bagi yang pro atau seringkali disebut sebagai lovers, tanggapan terhadap video tersebut dengan espresi dukungan komentar yang mendukung, membagikan dengan sukarela (share) dan ‘membantu’ meng-counter pihak yang kontra diberbagai multilaman media. Adapun yang kontra mengekspresikan ketidaksetujuan dengan menyampaikan komentar yang tidak sedap (nyinyir) dan hingga pada tindakan ekstrem: melaporkan seperti seorang Muhammad Setiawan. Sementara yang netral pada asumsi umum klasik; ‘bereaksi dengan tidak berekspresi’ alias silent viewers.
Berbeda dengan video yang terkait Joice Karouw, dirinya menghadapi dua segmentasi viewer yang agak tegas; memahami dan tidak mendukung. Secara kasat mata lebih dominan yang tidak mendukung, karena sikap Joice di Bandara tersebut merepresentasikan arogansi dan elitis. Adapun yang memahami lebih karena memiliki kedekatan ‘karakteristik’ dengan Joice, satu corps atau pertimbangan psikologis.
Menemukan persinggungan
Menurut catatan kepolisian Muhammad Hidayat pelapor video Kaesang sepanjang Januari sampai Juni 2017 tercatat telah membuat 60 laporan. Sebuah capaian yang tidak biasa bagi seorang warga biasa dengan latar belakang non justicia. Namun, langkah itu setidaknya mengirimkan pesan tentang rasa percaya Muhammad Hidayat terhadap institusi hukum dalam menampung berbagai kegelisahannya. Sesungguhnya merupakan sikap sadar hukum yang perlu diapresiasi secara proporsional. Meski seringkali motif (mens rea) langkah-langkah hukum yang ditempuhnya tidak selamanya untuk penegakan hukum, tapi sekedar ancaman.
Dalam Vlog tersebut Kaesang hendak menyampaikan kegelisahan dirinya terhadap situasi yang berkembang akhir-akhir ini berdasarkan nilai-nilai yang diyakini. Dirinya mendorong hidup dalam perbedaan, karenanya harus bisa menghormati perbedaan dan janganlah menjadi generasi intoleran. Sehingga dirinya mendefinisikan secara sederhana segala sikap yang bertentangan dengan nilai-nilainya itu sebagai ‘ndeso’. Ndeso sebagai simbol terhadap intoleran, tidak bisa menghormati perbedaan dan tidak bisa hidup dalam perbedaan. Dilalahnya semua contoh yang diambil Kaesang pada perbedaan pilihan politik dan ekspresi beragama, tentulah efektif memantik konflik.
Adapun terkait Joice, penulis berkeyakinan bahwa itu bukanlah kali pertama berpergian menggunakan pesawat terbang. Baik di luar negeri, terlebih di dalam negeri. Sehingga, harus menemui rangkaian prosesi resmi di Bandara dan melawati metal detector. Sangat mungkin dirinya juga paham tentang beragam regulasi ‘detail’ yang harus dilakukan oleh seorang penumpang.
Namun dalam kesempatan itu, Joice dilihat publik seakan memilih langkah mundur dalam menghadapi konflik yang terjadi dengan menggunakan sikap sebagai kalangan istimewa atau punya pengaruh. Tidak mau ditegur dan enggan diingatkan. Semoga saja bukan karena itu. Tapi secara jujur memang prilaku ‘beking’ dan ‘primitive’ seperti itu masih banyak menjamur dinegeri tercinta ini.
Belajar dari dua kasus tersebut, sebuah isu berkelindan hingga pada akhirnya berdampak terhadap publik selain karena adanya proses media, juga merujuk definisi Hainsworth dan Meng (1988) sebagai sebuah konsekuensi dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pihak tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya negosiasi atau penyesuaian diri, bahkan pengaduan secara hukum. Setidaknya dari kasus tersebut, dalam konsumsi publik maka setiap aktor harus mampu menyesuaikan diri dengan konteks yang ada dan memperhitungkan dampak yang akan terjadi akibat perilakunya tersebut.
*) Dosen Komunikasi UMN