REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yogie Maharesi*
Kamis, 20 Juli 2017, merupakan waktu pergantian anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tujuh orang yang telah lolos pada tahap demi tahap seleksi melalui panitia seleksi, presiden, dan DPR akan mengemban amanah memimpin OJK untuk lima tahun mendatang. Sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi penyelenggaraan seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan yang menjadi urat nadi perekonomian nasional, pergantian jajaran pucuk pimpinan OJK mengandung harapan besar untuk terus meningkatnya kinerja dan kredibilitas OJK dan industri keuangan.
Sejarah mencatat OJK lahir setelah berada dalam "kandungan" selama sebelas tahun, sejak 1999. Proses kelahiran OJK diwarnai dengan riuh perbedaan pendapat, tarik ulur, dan perdebatan panjang. Pro dan kontra terjadi sepanjang sebelas tahun itu.
Dinamika dan Tantangan
Sebagai suatu ikhtiar reformasi sektor keuangan, ketetapan dibentuknya OJK melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak otomatis menghilangkan keraguan sebagian kalangan terhadap efektifitas kerja OJK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. OJK dianggap sebagai superbody karena memiliki kewenangan yang terlalu luas meliputi pengaturan dan pengawasan perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank.
Pada kelanjutannya, masuk pula Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hingga financial technology (fintech) dalam ranah pengaturan dan pengawasan OJK. Sebab itu pula di usia OJK yang sangat belia, pada tahun 2015 atau baru dua tahun sejak OJK efektif beroperasi, terdapat unsur masyarakat yang mengajukan Pengujian Undang-Undang (PUU/judicial review) terhadap UU OJK kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski judicial review UU OJK menyasar pada pembuat UU yaitu pemerintah dan DPR, namun secara kelembagaan tentu saja pada faktanya pasti berdampak langsung pada keberadaan dan kelangsungan OJK kala itu. Tidak tanggung-tanggung, pasal-pasal yang diuji adalah pasal-pasal "jantung".
Isu utamanya menyangkut pengaturan, wewenang, independensi, koordinasi OJK dengan BI, serta sumber pendanaan dan pungutan. Oleh pihak pemohon judicial review, OJK dianggap tidak memiliki landasan konstitusional karena pembentukannya hanya berdasarkan pada UU BI, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Persidangan demi persidangan berlangsung melibatkan pemerintah, DPR, OJK, BI, para pakar, asosiasi, dan praktisi masing-masing sebagai termohon, pihak terkait, maupun saksi ahli. Setelah melalui perdebatan intelektual yang panjang dan bermartabat dalam serangkaian persidangan, pada akhirnya putusan MK justru mempertegas mandat konstitusional dari negara kepada OJK sebagai lembaga yang berwenang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan.
Mandat bagi OJK sudah jelas, namun implementasinya menantang dan bukan perkara mudah. Sebagai lembaga negara baru, OJK menjalani periode pertama selama lima tahun terakhir ini dengan segala keterbatasan. Dinamika konsolidasi organisasi, harmonisasi peraturan, pembentukan budaya kerja, hingga penyediaan fasilitas pendukung operasional, ditangani seiring dengan pelaksanaan pengaturan dan pengawasan serta perlindungan konsumen jasa keuangan yang harus tetap prima. Stabilitas sektor keuangan juga tak boleh abai dijaga. OJK dituntut survive menjalankan mandat yang telah diamanahkan.
Pada saat yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK periode 2012-2017 Muliaman D Hadad mengungkapkan tujuh prioritas dan sekaligus tantangan bagi OJK dan industri keuangan untuk direspons secara simultan dan berkelanjutan. Prioritas dan tantangan yang dimaksud yaitu pengembangan kelembagaan industri keuangan yang berdaya saing, pengembangan produk dan layanan jasa keuangan, perluasan akses pasar keuangan, pengembangan kompetensi dan integritas SDM pelaku jasa keuangan, kejelasan arah dan proses bisnis, harmonisasi regulasi antar sektor, dan pengawasan industri keuangan terintegrasi.
Dengan begitu, industri keuangan diharapkan kian berkontribusi dalam memperkuat perekonomian. Industri keuangan juga menjadi pendorong tumbuhnya kegiatan usaha, perluasan kesempatan kerja dan pengurangan angka kemiskinan.
Keberpihakan
Arah kebijakan strategis OJK sudah pasti harus mendukung dan selaras dengan program dan target ekonomi nasional yang pemerintah tetapkan untuk dicapai. Pada pertemuan Financial Executive Gathering awal tahun 2017 dengan pelaku industri keuangan yang dihelat oleh OJK, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya daya saing industri keuangan Indonesia di tengah kompetisi ekonomi global, dimana industri keuangan nasional dituntut untuk semakin efisien. Jokowi mengingatkan agar industri keuangan tidak hanya bergairah melayani kebutuhan pengusaha dan konglomerat, melainkan juga proaktif dan memiliki andil lebih besar dalam mengembangkan UMKM hingga ke pelosok tanah air.
Selain itu, industri keuangan bersama Pemerintah Daerah diharapkan mampu mendorong kegiatan ekonomi produktif yang dananya berputar di daerah dalam rangka menopang pembangunan lokal. Serangkaian pandangan itu menyiratkan harapan akan keberpihakan sektor keuangan pada penguatan UMKM.
Selanjutnya dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Jokowi optimis untuk menaikkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1 persen menjadi 5,2 persen di akhir tahun 2017. Sebelumnya pada kuartal I 2017, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen dengan sumbangan terbesar dari sektor jasa 0,68 persen yang mana kontribusi utama berasal dari sektor jasa keuangan 0,23 persen. Disusul kemudian oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan 0,9 persen, dan sektor konstruksi 0,61 persen. Sektor industri jasa, pertanian dan konstruksi menjadi tumpuan pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen.
Jokowi nampaknya menaruh perhatian besar pada sektor jasa keuangan. Betapa tidak, di akhir tahun 2016 lalu, nilai kapitalisasi aset industri keuangan Indonesia mencapai Rp16,000 triliun, atau setara dengan hampir delapan kali dari nilai APBN 2017 sebesar Rp2,080 triliun. Besarnya kapitalisasi aset industri keuangan yang meliputi perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank, menjadikan sektor ini sangat penting untuk dijaga stabilitasnya guna memberi kontribusi optimal bagi perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kaitan itu, perlu diingat bahwa pengaturan dan pengawasan yang OJK lakukan bermuara pada penciptaan stabilitas sektor keuangan yang nilai asetnya luar biasa besar tersebut. Stabilitas sektor keuangan berdampak pada kemampuan pertumbuhan dan kondisi makro ekonomi.
Maka dalam konteks industri keuangan, integritas dan kredibilitas OJK menjadi fundamental dan merupakan modal penting dalam membangun kepercayaan pasar agar stabilitas sektor keuangan dapat efektif terjaga. Untuk itu pula, koordinasi antara OJK, Kementerian Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan kunci dalam mencegah terjadinya krisis keuangan.
Dengan demikian cukup jelas kiranya tergambar bagaimana pemerintah menempatkan industri keuangan dalam konteks pengembangan perekonomian nasional. Industri keuangan dituntut memainkan peran dan berkontribusi lebih signifikan agar program-program prioritas pembangunan yang pemerintah tetapkan dapat tercapai, utamanya yang berdampak luas terhadap perbaikan ekonomi masyarakat lapisan bawah seperti petani, nelayan dan pelaku usaha mikro produktif lainnya.
OJK diharapkan berinovasi membuat terobosan agar menghasilkan multiplier effect nyata bagi penguatan ekonomi dengan mengembangkan visi, kebijakan dan regulasi yang merakyat. Infrastruktur keuangan terus diperluas hingga ke pelosok, paralel dengan tetap memastikan stabilitas sektor keuangan nasional terjaga.
Kini harapan tersebut tersandang di pundak jajaran Dewan komisioner OJK yang diketuai Wimboh Santoso, sekaligus untuk melanjutkan fondasi yang telah dibangun oleh pimpinan OJK periode pertama. Publik juga menunggu langkah-langkah strategis dan terobosan baru Dewan Komisioner OJK untuk kian meningkatkan sumbangsih OJK dan industri keuangan bagi kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. Momentum tren ekonomi 2017 yang membaik hendaknya tidak terlewat dan dapat cepat dimanfaatkan untuk mengakselerasi kinerja industri keuangan ke arah yang lebih menjanjikan.
*Staf Departemen Komunikasi dan Internasional
Otoritas Jasa Keuangan
(Tulisan ini pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan OJK)