REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Salamun *)
Dalam suatu kesempatan seorang sahabat saya berseloroh “kita harus terus berkarya dan berbuat jangan nunggu uang, uang jangan jadi masalah, tapi bagaimana masalah bisa jadi uang”. Yap... ungkapan itu ternyata benar adanya. Akan tetapi, tentu dilihat dari cara pandang yang positif, meski dalam kehidupan sehari-hari memang tidak sedikit kita jumpai yang mencari uang dari mencari-cari masalah baik dalam pandangan yang positif maupun negatif.
Kalau kebanyakan orang pusing menghadapi masalah, dan sering bergumam mengapa ya masalah ini datang bertubi-tubi silih berganti?, Maka, sebagian kalangan jika tidak ada masalah justru tidak ‘hidup’. Akademisi adalah satu di antaranya, jika tidak ada masalah, tidak akan ada yang diteliti. Dengan demikian, juga tidak ada yang bisa dijadikan karya (tulisan), makalah, jurnal, buku dan lain sebagainya.
Masalah juga menjadi satu di antara pertanyaan kunci yang ianya juga menjadi entri point dalam menyusun karya ilmiah, skripsi, thesis dan disertasi. Para penguji biasanya selalu menanyakan “apa yang jadi masalah dalam karya tulis saudara”. Pertanyaan sederhana yang harus diungkap dan dielaborasi secara mendalam. Bahkan besar kecilnya (kualitas) masalah kemudian juga berimplikasi kepada besar kecilnya point dan coin.
Untuk itu, maka merumuskan dan menjawab (menyelesaikan) masalah adalah menjadi suatu tradisi yang harus dimiliki oleh masyarakat akademik. Karenanya dalam membantu merumuskan suatu regulasi dibuatlah naskah akademik sebagaimana diamanahkan dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan dan Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Sinergi dan kolaborasi antara masyarakat akademik dan politik (politisi) kemudian menjadi suatu keniscayaan. Karena, biasanya politisi sudah sangat disibukkan dengan persoalan-persoalan komunikasi politik yang kadangkala melelahkan. Atau, setidak-tidaknya menyita waktu yang tidak cukup sedikit meski kadang untuk suatu urusan yang dianggap sederhana yang kemudian berdampak luas, terlebih lagi jika masalah atau persoalannya memang berat.
Belajar dari kasus Setya Novanto
Di tetapkannya Setya Novanto Ketua Umum Partai Golkar yang juga Ketua DPR-RI sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus e-KTP pada Senin, 17 Juli 2017, bak petir'' di siang bolong, meski memang sudah tampak mendung sejak pagi hari. Dilakukannya pencegahan ke luar negeri sejatinya setya Novanto telah tersandera.
Konflik, masalah dan berbagai persoalan krusial yang barangkali publik melihatnya sebagai ahir dari sebuah masa depan parpol dan politisi kadangkala tidak berlaku dalam dunia politik. Dalam Politik orang bisa mati berkali-kali bahkan ‘dibunuh’ oleh orang yang dibesarkannya ungkap Akbar Tandjung dalam sebuah wawancara media.
Partai Golkar yang sudah berpengalaman menghadapi masalah bahkan badai (gurun) sekalipun, membuat organisasi partai politik ini tetap bertahan. Pemilu 1999 diawal era reformasi merupakan pengalaman paling krusial yang dihadapi Partai Golkar, distigmakan sebagai bagian dari Orde Baru yang saat itu dianggap sebagai simbul rezim yang paling dibenci dan dimusuhi.
Bahkan, para kader Partai Golkar untuk memasang bendera saja dikejar-kejar oleh lawan politik. Namun demikian, Partai Golkar dengan gagasan Paradigma Baru yang diusung Akbar Tandjung berhasil meyakinkan masyarakat luas, sehingga Partai Golkar tetap mempertahankan eksistensinya sebagai pemenang pemilu dalam urutan kedua.
Pemilu 2004 merupakan pengalaman sejarah yang boleh ditulis dengan tinta emas oleh Partai Golkar dan Bangsa Indonesia atau setidaknya dijadikan kajian penting bagi yang menggeluti (ilmu) politik. Dalam posisi tersandung skandal Buloggate--yang pada ahirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung ditingkat kasasi--Akbar Tandjung yang menahkodai Partai Golkar saat itu sebagai Ketua Umum (Masa bhakti 1998-2003) dan juga sebagai Ketua DPR-RI dengan berbagai jurus yang boleh disebut tidak pernah dilakukan dikancah panggung politik di Indonesia.
Beliau menyadari kapasitas personalnya sedang ‘bermasalah’, maka untuk merekrut calon pemimpin puncak negeri ini digelarlah konvensi pemilihan calon presiden. Walhasil memberikan dampak positif bagi Partai Golkar sehingga meraih kepercayaan rakyat dan mendongkrak elektabilitas, sehingga tampil sebagai pemenang Pemilu Legislatif pada 2004. Meskipun kemudian capres hasil konvensi saat itu (Wiranto) harus kalah dalam pilpres.
Kini, kita menanti jurus-jurus ampuh terutama para politisi ‘profesional’ senior yang sudah berpengalaman menghadapi ‘serangan’ badai dan ‘turbulensi’ bahkan menyelamatkan Partai Golkar. Kita berharap seperti apapun Partai Golkar sebagai bagian sejarah Bangsa Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam membangun bangsa ini dapat mengambil langkah-langkah taktis dan strategis menyelamatkan diri dari rangkaian kemelut yang dihadapi.
Kasus Setya Novanto hanyalah bagian dari puncak 'gunung es' kasus korupsi yang dilakukan para birokrat dan politisi di negeri ini. Tidak kurang dari 361 Kepala Daerah yang terlibat Korupsi dan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketamakan, sepertinya, bukan satu-satunya faktor para politisi melakukan korupsi, disamping biaya politik yang mahal untuk merebut kekuasaan ada satu hal lagi yang patut kita kaji bersama ialah soal bagaimana membuat partai politik mandiri.
Dilarangnya partai politik membuat perusahaan justru memaksa partai politik terjebak dan menjebakkan diri dalam ‘usaha haram’. Tuntutan menghidupi partai yang membutuhkan dana besar membuat kader dan orang-orang yang berkepentingan dengan partai kemudian menganggap ‘setoran hantu’ atau mahar menjadi sesuatu yang lumrah dan wajar.
Untuk itu maka guna mewujudkan partai politik yang mandiri patut dipertimbangkan agar setiap partai dilegalkan membuat Badan Usaha Milik Partai (BUMP) atau bahkan berbentuk koperasi agar kedaulatan anggota dapat terjamin. Melarang partai politik membuat badan usaha sama halnya memaksa partai politik dan politisi untuk menempuh cara-cara ilegal (di antaranya korupsi) dalam menghidupi partai. Menggelontorkan dan memperbesar jumlah bantuan Partai Politik hanya akan membebani keuangan negara yang sejatinya uang rakyat.
Pola bantuan apapun itu mestinya kita belajar dari kisah Nabi Sulaiman As yang saat itu Beliau juga menjadi raja paling kaya di muka bumi, sehingga mau memberi makan ikan yang ada di lautan. Baru Allah SWT munculkan ikan-ikan yang paling kecil saja persediaan pakan sudah habis. Dengan demikian, membuat rakyat dan partai politik menjadi mandiri adalah menjadi agenda penting hari ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML.