Selasa 01 Aug 2017 01:03 WIB

Lukisan Jelek

Pakar Pemasaran Kafi Kurnia
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pakar Pemasaran Kafi Kurnia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kafi Kurnia *)

Angin musim panas menyambut letih saya – lebih dari 18 jam perjalanan saya tempuh dari Jakarta menuju San Francisco. Desirannya sejuk dan kering. Angin pulang dari teluk yang selalu ramah di senja hari. Saya menatap langit, dan senja masih terang benderang, biasanya musim panas di San Francisco langit baru gelap diatas jam 8 malam. Suara tawa yang khas tiba-tiba menghapus letih saya.

Seorang teman lama saya di San Francisco menjemput saya di bandar udara. Raut wajahnya selalu gembira, walau hidupnya sangat keras di Amerika. Dia baru saja bercerai hampir enam bulan yang lalu. Sebuah episode kehidupan dirinya yang selalu ia buat menjadi lawakan walaupun sangat pahit. Kami berpelukan melepas kangen. Terakhir kami bertemu hampir dua tahun yang lalu.

Usai memasukan koper di bagasi, kami meluncur kekota mencari makan. Saya meledek mobil tuanya, dan dia tertawa terbahak-bahak. Dia adalah salah satu orang yang saya kenal selalu optimis. Tidak peduli biar bagaiman hidup mencoba merobeknya berkeping-keping. Dia selalu tertawa dan selalu mencoba membalas meledek hidup. Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa hidupnya adalah selembar plastik yang tahan dirobek. Saya banyak belajar dari dirinya, terutama dalam berkelit melewati hari-hari yang susah dalam kehidupan ini.

Kami meluncur ke Little Italy, dan sambil tertawa, dia mengatakan bahwa kali ini dia menemukan sebuah café, yang pasti saya akan suka. Saya tersenyum, karena teman yang satu ini memang tahu betul hobby dan kesukaan saya. Tiba di café, pengunjung mulai sepi. Karena hari hampir jam 09.00 malam. Saya memesan sup dan pasta sederhana. Saya tidak ingin malam ini “jet-lag” saya bertempur dengan perut yang kekenyangan.

Lalu, kami-pun heboh bercerita tentang “kacrut”-nya ekonomi di Indonesia dan situasi politik yang “kalut” di Tanah Air. Di tengah santap malam, dia mengatakan sebuah kalimat yang saya tunggu-tunggu, “Elu bakal suka deh – café ini punya sejumlah lukisan jelek kesukaan elu”. Saya tertawa terbahak-bahak. Dan akhirnya permisi ke WC untuk membuktikan.

Saya punya hobby melihat lukisan jelek. Dan entah kenapa, berbagai restoran diseluruh penjuru dunia selalu punya kebiasaan memajang lukisan jelek di WC mereka atau di gang menuju WC mereka. Apakah lukisan jelek merupakan atribut terbaik untuk dipajang di sebuah WC restoran atau café untuk menunjukan sebuah nilai keaslian? Atau menunjukan sebuah dekor interior yang unik? Café ini mungkin telah berusia lebih dari 30 tahun, dan di gang menuju WC tergantung beberapa lukisan yang memang sangat jelek, demikian juga didalam WC pria.

Saya selalu menikmati lukisan jelek, yang mungkin tidak memiliki nilai komersil.

Pernah sekali ketika masih sekolah di SD ulangan saya jeblok. Saat itu ayah saya memberikan satu petuah. Pesan beliau, “….. belajarlah menghargai semuanya, baik yang jelek dan yang baik. Karena semuanya adalah anugerah.  Kalau kamu bisa menghargai yang jelek maka yang baik itu nilainya akan berlipat ganda. Tetapi kalau kau tidak bisa menghargai yang jelek maka yang baik tidak akan pernah bisa membuat kau puas !” Awalnya saya tidak mengerti sama sekali petuah itu. Saya merasakan ayah saya mencoba menghibur dan memotivasi diri saya.

Suatu hari, seorang teman dari Korea, mengajarkan saya cara minum teh yang baik dan benar. Awalnya, saya tidak memperhatikan sama sekali. Karena di Indonesia, setiap kali makan, kita sudah terbiasa minum es teh tawar. Dan kita tidak punya apresiasi banyak. Namun, setelah saya diajarkan yang baik dan benar, saya mulai mengerti petuah ayah saya, bahwa setelah sekian lama minum teh yang biasa-biasa saja, termasuk yang buruk dan tidak enak, maka ketika saya diajarkan minum teh yang baik dan benar, maka terasa bahwa yang baik dan benar nilainya menjadi berlipat-lipat ganda. Sejak itu sayapun terobesesi untuk berburu teh yang berkualitas tinggi.

Salah satu efek samping dari petuah ayah saya, maka akhirnya saya juga terobsesi untuk berburu “barang yang jelek” termasuk lukisan dan patung. Medan tempat saya berburu salah satunya tentu saja adalah WC di restoran dan café diseluruh penjuru dunia. Karena di sanalah sarang lukisan jelek bermukim. Dan di dalam kenikmatan saya menonton lukisan jelek, seringkali hadir sejumlah rasa penasaran serta pertanyaan yang membabi buta.

Pertama kebanyakan lukisan itu adalah “mereka yang tidak dikenal” alias anonim. Sesuatu yang sangat berbeda ketika kita menonton lukisan di gallery dimana kita mengenal pelukisnya. Mereka yang anonim bisa saja seorang anak, seorang dewasa atau seorang manula. Bisa saja mereka melukis karena iseng atau mereka yang benar-benar berusaha menjadi pelukis tetapi gagal.

Setelah saya melihat sekian banyak lukisan jelek di WC, akhirnya saya belajar mengenali hal-hal yang menarik. Misalnya, ada lukisan yang dibuat seadanya saja, karena memang iseng. Namun, ada sejumlah lukisan yang memperlihatkan usaha, dan perjuangan. Hal itu terlihat dalam tarikan kuas dan warna dengan kesungguhan yang murni dan sangat jujur apa adanya. Pelukis komersil kebanyakan telah kehilangan roh itu. Mereka melukis untuk menyenangkan penonton dan kolektornya. Komersialisasi seringkali memadati kanvas mereka, membuat saya susah bernafas lega. Lukisan jelek sangat terbalik selalu punya persepsi baru karena dilukis dengan mata yang lebih lugu.

Entah kapan awalnya, saya akhirnya mulai mengoleksi barang jelek dan barang yang rusak, dan mencoba menjalani amanat ayah saya. Saya punya sejumlah patung yang cacat, jelek dan rusak. Saya beli ketika berburu barang-barang antik diberbagai gallery. Kebanyakan harganya sangat murah dan tidak diminati orang.

Saya juga mengoleksi sejumlah lukisan palsu dan jelek. Salah satu lukisan yang sangat jelek, adalah lukisan yang saya beli di Djogdjakarta, sebuah lukisan tertanggal tahun 1998 dan merupakan lukisan tinta Cina di selembar karton. Konon pelukisnya adalah seorang penderita Schizophrenia yang kemudian meninggal tak lama sesudah ia melukis lukisan itu. Lukisan itu sangat jelek dan tidak berbentuk, namun bagi saya lukisan itu memiliki ketajaman yang indah dan sulit dilukiskan karena memiliki kerumitan emosi yang tidak mungkin terjelaskan.

 

Pernah sekali saya mengobrol dengan seorang pelukis tua di Djogdjakarta – beliau tanpa saya sangka mengatakan, ”Saya kangen melukis yang jelek !”. Tentu saja saya terbahak. Namun, dia menerawang dan menjelaskan, bahwa semua pelukis awalnya melukis dengan jelek.

Tidak ada pelukis yang secara ajaib langsung melukis dengan indah. Titik awal dimana semua pelukis belajar dan mencari jati dirinya adlah masa-masa yang paling berbahagia. Sebuah masa tanpa noda dan dosa. Satu kesucian proses berkarya. Kalaupun lukisan kita jelek, semua orang akan maklum, karena dia masih belajar. Tapi sekarang, ketika dia melukis sedikit saja kurang apik, semua kritikus seni akan bersorak mengeritiknya habis-habisan. Dia telah kehilangan era itu. “Saya kangen berbuat salah,” begitu kilahnya diakhir percakapan kami.

 

Kini saya sadar bahwa ayah saya mencoba mengajarkan kepada saya sebuah kebijakan tentang sebuah proses pembelajaran. Bahwa apapun yang kita lakukan, jangan takut apabila awalnya salah dan jelek. Karena setelah itu – kita akan semakin mahir untuk mampu melakukan yang baik dan benar.

Yang penting adalah tidak tinggal diam. Tetapi berani melakukan. Ini yang membedakan kita dengan yang lain. Ada orang tidak pernah punya keberanian untuk melakukan. Selama hidupnya dia hanya akan menjadi penonton. Sisanya justru bangkit dan melakukan. Mungkin awalnya salah dan jelek, tetapi kalau ia tetap berusaha dan bergiat, suatu hari dia akan menjadi maestro.

 

Di Union Square, saya dan teman saya berpisah. Langit telah gelap. Dan angin malam itu cukup dingin membekukan semua keletihan saya. Sebelum tidur, saya jadi teringat perkataan - Lang Leav, seorang penulis di New Zealand – yang menulis novel 'SAD GIRLS'. Dia menulis dengan indahnya – "The most beautiful things are damaged in some way." Kalimat itu membawa saya kealam mimpi malam itu.

Banyak orang mengejar kesempurnaan yang ilusif. Tanpa mengerti proses dan pembelajaran. Yang dikejar adalah titik terakhir yang sempurna. Padahal, kesempurnaan dan keindahan seringkali adalah akibat sebuah perjalanan panjang. Sayangnya perjalanan itu jarang dimengerti banyak orang.

*) Pakar Marketing dalam perjalanan menuju San Francisco

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement