Senin 07 Aug 2017 04:33 WIB

Meneropong Krisis Al Quds dari Indonesia

Red: Agus Yulianto
Heryadi Silvianto
Foto: Dokpri
Heryadi Silvianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heryadi Silvianto  *)

Pasca-peristiwa penembakan terhadap dua polisi Israel pada 10 Juli 2017 di kawasan Mesjid Al Aqsha Palestina oleh tiga pria Arab Israel, sontak membuat Pemerintah Israel kalap. Meskipun telah menembak mati seluruh pelaku, Pemerintah zionis itu terus melakukan serangkaian tindakan kekerasan dan pelarangan terhadap warga palestina untuk beribadah di Masjid Al Aqsha. Reaksi awal dengan melarang warga Muslim Palestina salat Jumat di Masjid Al Aqsha (14/7), dilanjutkan dengan aksi penembakan terhadap imam besar Masjid Al Aqsha Sheikh Ikrima Shabri pada selasa malam (18/7) waktu setempat dan melukai hampir 50 jamaah yang ikut shalat bersamanya.

Tak cukup sampai di situ, tanggal 20 Juli 2017, Israel memasang Metal Detector dan CCTV di seluruh kawasan Masjid Al Aqsha hingga saat ini, sontak saja menuai protes keras dari warga Palestina. Tentu saja tindakan israel ini seakan menabur konflik di tanah lapang. Kebijakan tersebut semakin menimbulkan protes keras dikalangan umat muslim dan warga palestina lainnya.

Pada akhirnya Israel mencabut detektor logam di Masjid Al Aqsha pada selasa (25/7) dan menggantinya dengan alat pemindai pintar (smart checking). Kini yang tebaru berdasarkan pemberitaan media Wafa dilaporkan pasukan Israel telah menangkap 23 warga Palestina, termasuk empat anak di bawah umur dalam serangan di Al-Quds (Yerusalem) dan Tepi Barat pada kamis (3/8).