REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heryadi Silvianto *)
Pasca-peristiwa penembakan terhadap dua polisi Israel pada 10 Juli 2017 di kawasan Mesjid Al Aqsha Palestina oleh tiga pria Arab Israel, sontak membuat Pemerintah Israel kalap. Meskipun telah menembak mati seluruh pelaku, Pemerintah zionis itu terus melakukan serangkaian tindakan kekerasan dan pelarangan terhadap warga palestina untuk beribadah di Masjid Al Aqsha. Reaksi awal dengan melarang warga Muslim Palestina salat Jumat di Masjid Al Aqsha (14/7), dilanjutkan dengan aksi penembakan terhadap imam besar Masjid Al Aqsha Sheikh Ikrima Shabri pada selasa malam (18/7) waktu setempat dan melukai hampir 50 jamaah yang ikut shalat bersamanya.
Tak cukup sampai di situ, tanggal 20 Juli 2017, Israel memasang Metal Detector dan CCTV di seluruh kawasan Masjid Al Aqsha hingga saat ini, sontak saja menuai protes keras dari warga Palestina. Tentu saja tindakan israel ini seakan menabur konflik di tanah lapang. Kebijakan tersebut semakin menimbulkan protes keras dikalangan umat muslim dan warga palestina lainnya.
Pada akhirnya Israel mencabut detektor logam di Masjid Al Aqsha pada selasa (25/7) dan menggantinya dengan alat pemindai pintar (smart checking). Kini yang tebaru berdasarkan pemberitaan media Wafa dilaporkan pasukan Israel telah menangkap 23 warga Palestina, termasuk empat anak di bawah umur dalam serangan di Al-Quds (Yerusalem) dan Tepi Barat pada kamis (3/8).
Krisis di Palestina Mesjid Al Aqsa dari awal Juli hingga saat ini kita sadari bukanlah yang pertama, mungkin juga bukan yang terakhir. Sepanjang kesewenangan dan okupasi Israel masih terjadi, maka sepanjang itulah potensi konflik mengemuka. Tercatat mulai dari Intifada di Gaza, peristiwa Shabra Shatila, hingga yang terbaru di Al Quds. Reaksi kecaman datang dari masyarakat internasional terhadap penutupan Al Quds, pun demikian dengan masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Namun untuk kesekian kali, Israel bergeming dan bebal. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak bisa diharapkan, 'lunglai' jika menghadapi "negara bagian" ke 51 dari Amerika Serikat ini.
Mencermati krisis
Konflik kali ini sesungguhnya menyangkut akar permasalahan yang teramat dalam, meski jumlah korban meninggal sedikit dibandingkan konflik Palestina - Israel yang lain. Saat ini, pusaran titik epicentrum krisis terjadi di jantungnya Palestina, Masjid Al Aqsha. Tentu saja ini bukan lagi persoalan pembatasan, namun lebih dari itu ideologi dan teritori.
Ada dua faktor besar yang memungkinkan krisis ini semakin tajam, pertama Masjid Al Aqsha adalah tempat suci (holy place) bagi agama samawi. Terlebih khusus Islam. Di Mesjid itulah perintah shalat ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dan kiblat pertama ditegakan. Sehingga, penutupan mesjid Al Aqsha karena alasan keamanan merupakan tindakan berlebihan dan tidak menghargai Hak Azasi Manusia (HAM), khususnya masyarakat Palestina dalam menjalankan keyakinannya. Terlebih Al Aqsha merupakan tempat suci yang menjadi salah satu destinasi utama ziarah dan ibadah bagi umat Islam seluruh dunia.
Persoalan kedua, bahwa ini adalah tempat bersejarah (historical place). Tanah Yerusalem merupakan peradaban tua yang menyimpan banyak catatan sejarah, tidak dapat dipungkiri didalamnya ada warisan besar yang menyangkut sebagian urusan manusia di dunia ini. Atas dua alasan itulah pada akhirnya umat Islam di Dunia dan Indonesia khususnya memiliki alasan yang kuat melakukan protes terhadap tindakan Israel di Masjid Al Aqsha.
Kontribusi Indonesia dan internasional
Jika menilik konflik Palestina, Indonesia seringkali dihadapkan pada situasi yang-cenderung-dilematis bagi sebagian kecil masyarakat di Indonesia. Timbul pertanyaan, buat apa mengurusi negeri orang, hingga akhirnya berpotensi terjebak pada pusaran konflik berkepanjangan. Jika mau dicermati, sesungguhnya sikap tersebut seakan menegasikan sikap resmi Indonesia selama ini terkait perjuangan kemerdekaan Palestina.
Setidaknya ada beberapa alasan kuat yang bisa mendasari sikap tersebut. Pertama, bahwa tindakan membela perjuangan Bangsa Palestina sesungguhnya sedang melaksanakan amanat UUD 1945 untuk turut serta menciptakan perdamaian dan menentang segala bentuk penjajahan di dunia. Karena hingga saat ini, hanya Palestina negara yang secara de facto dan de jure terjajah di muka bumi ini.
Kedua, pada tahun 2015 bertepatan dengan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta telah ditelurkan Piagam Deklarasi Palestina dengan tercapai langkah konsensus dari seluruh negara peserta untuk mendukung kemerdekaan serta kedaulatan negara Palestina. Deklarasi Palestina berisi komitmen para pemimpin Asia dan Afrika untuk merebut kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri seperti yang terangkum dalam Komunike Final Bandung.
Selain mendukung kemerdekaan, Deklarasi Palestina juga menyinggung sejumlah konflik yang timbul lantaran pendudukan Israel, seperti soal permukiman Yahudi, ribuan rakyat Palestina yang terusir dari tempat tinggal mereka sendiri, hingga sengketa wilayah perbatasan. Tidak cukup sampai di situ, Presiden Jokowi juga menegaskan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa (LB) ke-5 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta pada tahun 2016. Dirinya mendorong persatuan negara-negara anggota OKI dalam mendukung kemerdekaan Palestina dan menyelesaikan isu Al-Quds Al Sharif.
Ketiga, perlu diketahui bersama bahwa Pemerintah Indonesia bersama negara-negara lain juga telah meratifikasi resolusi terbaru yang dikeluarkan pada bulan Juli 2017 oleh Komite Warisan Budaya Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan PBB atau UNESCO. Organisasi tersebut mengeluarkan resolusi yang menegaskan kembali tidak adanya kedaulatan Israel atas Kota Al-Quds (Yerusalem) yang diduduki selama ini.
Ini merupakan keputusan penegasan dari UNESCO yang telah mengadopsi dua resolusi terkait wilayah Al-Quds Timur yang dianeksasi oleh Israel pada 13 Oktober 2016. Organisasi tersebut mengesahkan upaya gabungan Palestina-Arab yang menolak setiap kaitan atau hubungan antara pemukim Yahudi Israel dan tempat-tempat suci serta lokasi di Kota Al-Quds. Upaya itu membuat Israel menghentikan kerja sama dengan UNESCO. Resolusi ini harus dikawal bersama oleh segenap komponen masyarakat internasional yang ingin bersungguh-sungguh menghadirkan Palestina yang berdaulat atas tanahnya sendiri.
Pada akhirnya relevansi Indonesia untuk memperjuangkan Kemerdekaan Palestina jauh lebih besar dibandingkan dengan pertanyaan mendasar, perlukah kita membantu mereka. Karena sejatinya napas filosofis, ideologis dan diplomatik Indonesia hingga saat ini sudah dalam “on the right track”. Tentu saja jika ada ide untuk menarik dukungan terhadap Palestina seperti menarik oksigen dari tubuh manusia merdeka. Terlebih jelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 72 yang notabene salah satunya merupakan hasil pengakuan dari negara Palestina.
*) Peneliti di Institute for Social Law and Humanity Studies (ISLAH).