Ahad 20 Aug 2017 01:00 WIB

Full Day School dan Polemik Pendidikan Tanah Air

Warga NU melakukan unjuk rasa menolak penerapan program Lima Hari Sekolah (Ilistrasi)
Foto: Antara/Idhad Zakaria
Warga NU melakukan unjuk rasa menolak penerapan program Lima Hari Sekolah (Ilistrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Soegeng Riyanto Punk *)

Pro dan kotra bermunculan setelah kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan tentang penerapan delapan jam belajar di sekolah yang sering kita kenal dengan istilah full day school mulai menghangat di media juga medsos. Terlebih, setelah mendapat tanggapan negatif dari salah satu ormas terbesar di Tanah Air. Anggapan yang muncul adalah kebijakan tersebut akan mematikan madrasah diniyah (madin) hingga ketakutan orang tua siswa yang menganggap penerapan kebijakan tersebut akan menguras stamina anak, dan menyebabkan anak menjadi lelah ketika pulang sekolah, belum lagi proses belajar yang membutuhkan konsentrasi, tentu akan membuat siswa mengalami kelelahan, baik secara fisik maupun psikis.

Namun, tidak sedikit yang memberi tanggapan optimistis terhadap kebijakan tersebut. Dengan penerapan delapan jam belajar di sekolah anak akan mendapat ruang lebih untuk menggali dan mengembangkan bakatnya, salah satunya dengan program ekstrakurikuler setelah kegiatan belajar mengajar di kelas.

Terlepas dari pro dan kontra full day school di masyarakat, pemerintah sesungguhnya memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak untuk memajukan pendidikan di Tanah Air. Dari sarana dan prasarana yang masih belum merata hingga kualitas tenaga pendidik yang belum sesuai dari harapan. Jika penerapan full day school hanya dilakukan di kota-kota besar tentu malah menambah kesenjangan dan berlawan dengan tujuan Presiden Jokowi yang menginginkan pemeretaan, baik dari pembangunan fisik maupun pembangunan sumber daya manusia.

Dari segi tenaga pendidik, pemerintah belum cukup tuntas meningkatkan sumber daya manusianya. Terbukti, masih banyak tenaga pendidik yang belum memiliki linieritas yang telah ditentukan. Kalaupun banyak guru yang menempuh pendidikan kembali, itu masih jauh dari etos pendidikan itu sendiri dan hanya bersifat formalitas belaka.

Pemerintah berkali-kali mencoba hadir untuk memberikan solusi dalam menjawab kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya melalui pelatihan-pelatihan guru. Namun, belum cukup karena tahapan setelah pelatihan yaitu pendampingan, pengawasan, dan evalusi masih dirasa sangat minim, hingga hanya memimbulkan kebingunggan dalam pelaksanaanya.

Tujuan penerapan full day school tentu memiliki keselasaran terhadap sembilan agenda prioritas pemerintah Jokowi-JK yang lebih sering kita dengar dengan istilah “Nawa Cita.” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Efendi mengagas full day school tentu dengan berbagai macam pertimbangan. Salah satunya yang paling sering kita dengar adalah membangun karakter siswa secara perlahan.

Namun, yang cukup disayangkan adalah ketidakterlibatan lingkungan masyarakat dalam konsep full day. Hal ini juga merupakan salah satu kegelisahan bersama, kekhawatiran peserta didik (anak) akan tercabut dan terkooptasi dari lingkungannya menjadi isu yang sangat kencang di masyarakat. Jika dicermati lebih dalam full day school menjadi sebuah langkah memutar dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Adanya kebijakan memprioritaskan anak yang lebih dekat dengan sekolah dalam proses PPBD harusnya dijadikan peluang untuk melibatkan masyarakat sebagai salah satu komponen penting untuk memajukan pendidikan Tanah Air. Semakin dekat jarak sekolah dengan tempat tinggal anak tentu memudahkan pantauan guru dan orang tua.

Peran serta tokoh masyarakat dan strukutur pemerintah paling bawah dalam hal ini RT, RW dan Kelurahan harusnya dapat mengambil peran-peran sentral. Dan dalam hal ini pemerintah memiliki peluang untuk melakukan kebijakan-kebijikan yang menekankan tokoh masyarakat dan struktur pemerintah paling bawah melakukan pengkondisian lingkungan yang ramah anak.

Konsep lingkungan ramah anak menjadi tawaran yang patut dipertimbangkan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus dapat mengaktifkan struktur masyarakat lapis bawah untuk bekerja bersama masyarakat meciptakan lingkungan yang dapat mendidik dan membangun karakter.

Karena sejatinya, karakter terbentuk dari komunikasi yang dilakukan secara intens. Dan komunikasi anak paling banyak dilakukan di lingkungan masyarakat. Maka, sangat bijaksana apabila pemerintah memberikan peran dan ruang untuk masyarakat berpartisipasi dalam memajukan pendidikan di Tanah Air. Hingga tugas memajuan pendidikan tidak terisolasi di lingkungan sekolah semata. Karena masyarakat memiliki tanggung jawab membimbing generasi bangsa.

*) Purna Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan Kemenpora RI. Praktisi pendidikan

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement