REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Arba’iyah Satriani *)
Akhir-akhir ini berseliweran tulisan mengenai beasiswa ke luar negeri, baik dari sisi penerimanya, perilaku penerimanya, hingga sekembalinya sang penerima beasiswa tersebut dari luar negeri. Sejak beberapa tahun lalu, beasiswa memang menjadi kata yang demikian dikenal di negeri ini. Padahal sebelumnya, hanya kalangan tertentu saja yang membicarakannya. Namun, kondisi ini, berubah sejak lahirnya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang memberikan beasiswa bagi para lulusan baru (fresh graduate) sarjana S1 – tanpa syarat yang memusingkan kepala bahkan tak perlu pengalaman kerja. Anak negeri pun berbondong-bondong mengadu peruntungan untuk bisa studi dan hidup di negara luar dengan beasiswa ini.
Beasiswa yang disediakan LPDP tak terbatas jumlahnya. Beasiswa ini diberikan untuk jenjang S2 dan S3 baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Biaya beasiswa yang diberikan pun lengkap meliputi biaya hidup, tiket pesawat, uang buku, biaya seminar, asuransi, hingga tunjangan untuk keluarga. Tentu saja, ini merupakan tawaran yang menggiurkan bagi sebagian besar anak negeri. Menurut situs www.infonawacita.com, hingga awal 2017, LPDP telah menyalurkan beasiswa kepada 16.295 orang, yang terdiri 8.406 penerima beasiswa dalam negeri dan 7.889 penerima beasiswa luar negeri.
Saat berada di luar negeri, para penerima beasiswa ini berbagi kebahagiaan dengan teman dan kerabatnya via media sosial. Caranya, dengan menayangkan foto-foto saat bersantai di akhir pekan atau saat berkumpul dengan sesama penerima beasiswa atau saat jalan-jalan di pusat kota atau di tempat wisata lokal. Hal ini menimbulkan banyak komentar dari kalangan yang belum memahami situasi di luar negeri dan hidup sebagai mahasiswa di sana. Dikatakan bahwa mereka yang sekolah ke luar negeri itu hanya bersenang-senang saja. Tak pernah terlihat sedang belajar atau mengerjakan tugas. Yang di-posting selalu acara penuh keceriaan, wajah penuh senyum, pemandangan indah maupun makanan yang lezat. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Sistem pendidikan yang berbeda
Sebagian besar mahasiswa di luar negeri, tetap sibuk belajar dan mengerjakan tugas tetapi mereka tidak posting-kan itu di media sosial. Untuk apa? Sebagian yang lain bahkan tak hanya sibuk belajar tetapi juga bekerja paruh waktu. Mungkin saja pekerjaan paruh waktunya itu yang membuat ia tampak seperti sedang bersenang-senang, padahal ia sedang bekerja. Selain itu, hal yang juga perlu dipahami adalah adanya perbedaan sistem pendidikan di Indonesia dengan di negara lain. Karena itu, pola belajar dan beban pelajaran yang dialami pun berbeda. Kalau kita tidak memahami sistem yang berbeda, tentu akan sulit bagi kita untuk memahami mengapa mereka yang sedang studi di luar negeri kok bisa sering tampak sedang bersenang-senang.
Sistem yang berbeda itu adalah, ada jenjang S2 atau master yang disebut master by research alias master yang sepenuhnya riset. Tak ada kelas yang harus dihadiri selama kuliah. Mahasiswa hanya fokus di laboratorium atau di meja kerjanya untuk melakukan riset. Seminggu sekali atau dua minggu sekali, ia harus bertemu dengan supervisor atau pembimbingnya. Tak ada teman sekelas, tak ada perkuliahan, tak ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan, dan tentu saja tak ada jam belajar yang pasti. Ia harus mandiri mengatur jadwalnya sendiri. Jenjang S2 yang lain adalah master by coursework atau taught master. Ini seperti perkuliahan di dalam negeri. Ada kelas yang bisa dihadiri dan ada tugas-tugas maupun ujian akhir.
Namun, berbeda dengan di Indonesia yang ujiannya hampir selalu sit-in exam, di banyak kampus di luar negeri, ujian atau tugas kebanyakan adalah membuat makalah (paper). Tentu saja beban belajarnya menjadi berbeda. Selain itu, di banyak kampus di luar negeri, subjek perkuliahan tidak sebanyak di Indonesia umumnya. Dalam satu semester biasanya hanya ada empat atau lima mata kuliah yang harus diambil. Bandingkan dengan di banyak kampus di Indonesia yang jumlah SKS-nya mencapai puluhan kredit.
Bagaimana dengan mahasiswa S3 di kebanyakan negara maju? Mahasiswa S3 hampir sama dengan mereka yang melakukan studi master by research – tidak ada perkuliahan yang wajib dihadiri sejak awal kecuali memang diminta karena alasan tertentu terkait dengan risetnya. Para mahasiswa S3 ini justru kerap harus “jalan-jalan” karena mengambil data penelitian, mengikuti seminar atau konferensi terkait bidang ilmunya yang bisa jadi lokasinya bukan di kota tempat ia belajar, tetapi di negara yang lain lagi. Para mahasiswa S3 ini juga mempunyai ruangan sendiri di kampus atau di laboratorium dan bekerja secara mandiri.
Dengan memahami kondisi seperti ini, kita akan lebih mudah membayangkan bahwa kehidupan di sana tentu berbeda dengan di Tanah Air. Selain itu, wajar saja jika kemudian banyak mahasiswa asal Indonesia yang ingin berjalan-jalan di setiap waktu yang tersedia karena inilah kesempatannya. Jika mereka harus berangkat sendiri ke negeri tersebut dengan maksud untuk jalan-jalan semata, tentu biayanya sangat besar. Namun dengan pengaturan waktu yang baik dan cenderung ketat, mahasiswa Indonesia di luar negeri bisa berjalan-jalan di sela waktu kuliahnya.
Di sisi lain, sistem pendidikan yang sepertinya lebih mudah dibandingkan di Indonesia, membuat mahasiswa Indonesia di luar negeri, tetap bisa berkompetisi dengan mahasiswa dari negara lain atau mahasiswa asli negara tersebut. Apalagi, umumnya, mahasiswa Indonesia di luar negeri dikenal sebagai mahasiswa pintar.
Yang perlu dipahami juga, postingan acara jalan-jalan atau bersenang-senang itu sebagian juga dilakukan oleh banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri – para penerima beasiswa – dengan maksud mengatasi rasa rindu keluarga. Sebaliknya hal itu menjadi obat rindu bagi keluarga yang di Tanah Air. Karena itu, menganggap bahwa mahasiswa Indonesia yang dibiayai negara dengan beasiswa hanya bersenang-senang belaka, tentu kurang pada tempatnya.
Dimulai dari kritik
Sementara itu, terkait dengan banyaknya “gerutuan” atau kritik para lulusan luar negeri terhadap kondisi dan situasi di tanah air, sekembalinya mereka ke Indonesia, adalah hal yang berbeda. Bisa jadi, rasa frustrasi yang dialami sekembalinya dari luar negeri, telah menyebabkan mereka mudah sekali berkata tentang masyarakat Indonesia yang tak bisa mengantre, yang suka mengebut di jalan, dan sebagainya. Seperti data dikutip data di atas, jumlah lulusan luar negeri, khususnya S2, yang dibiayai oleh LPDP saat ini sangat banyak. Hampir semuanya membutuhkan lapangan pekerjaan karena sebagian dari mereka memang fresh graduate.
Sulitnya mencari pekerjaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, harapan para lulusan luar negeri untuk diapreasiasi secara tinggi padahal mereka belum memiliki pengalaman kerja. Sedangkan para institusi penyedia lapangan kerja, menilai dengan kriteria yang berbeda. Akibatnya, muncul rasa frustrasi karena keadaan yang tak seindah harapan. Tak heran jika sebagian kecil dari mereka menjadi penggerutu dan membanding-bandingkan situasi di dalam dan di luar negeri.
Sesungguhnya, gerutuan atau kritik tersebut, pada titik tertentu tidaklah buruk. Banyak keberhasilan dicapai karena adanya keluhan atau gerutuan. Jika para lulusan luar negeri yang dibiayai beasiswa negara ini mau berpikir lebih jauh untuk mencari solusi dari persoalan yang dikeluhkan itu, tentunya hal ini akan menjadi suatu yang produktif. Pengalaman mereka di luar negeri, melihat dan mengalami hal-hal baik dan dinilai nyaman itu, seharusnya menjadi pendorong bagi mereka untuk memberikan solusi persoalan yang sedemikian akut di berbagai bidang di negeri ini. Mereka tak perlu bermimpi terlalu besar hingga sulit diwujudkan. Tetapi jika mereka mau bergerak, selangkah demi selangkah, maka mereka sudah menjadi bagian dari solusi – bukan bagian dari permasalahan yang mereka keluhkan.
Indonesia adalah negara besar dengan sumber daya manusia yang luar biasa. Jika para alumni luar negeri ini tetap mandiri seperti saat mereka ditempa di luar negeri, tentunya negara ini akan menjadi jauh lebih baik. Sebaliknya, mereka yang belum berkesempatan ke luar negeri pun jangan hanya menilai dari luar tentang sesuatu yang mereka belum pahami sehingga energi yang dikeluarkan untuk mengomentari itu bisa lebih dioptimalkan untuk hal-hal yang lebih produktif.
*) Dosen Fikom Universitas Islam Bandung
Penulis buku “I Can Get a Scholarship, Why Can’t You?”