Oleh: Neno warisman
Ketua Gerakan Ibu Negeri (GIN) dan Pimpinan Gerakan OKE EDU.
Bismillah. Sebuah hari bernama Arafah. Bisa jadi tak pernah ada terlintas di benak mereka, para remaja yang Kamis (31/8) kemarin mendapat kegiatan Need Assesment di Kebon Bayam, dekat Ancol, Jakarta Utara.
Kebon Bayam tidak populer. Tapi kisah hidup 535 kepala keluarga yang mewakili sekitar 2000an orang yang ikut memenangkan Gubernur dan Wakil Gubernur baru terpilih Anies-Sandi pada pilkada lalu ini adalah potret kaum terpinggir dan terzalimi yang kian hari bertambah buruk kualitas ruang hidup mereka.
Tak kurang terhitung sejak zaman Pak SBY jadi presiden sampai hari ini Jokowi memimpin pemerintahannya, mulai dari Gubernur DKI Sutiyoso sampai Gubernur Basuki TP, nasib 2000an manusia di Kebon Bayam belum juga berubah: dilirik untuk disinggahi hanya saat pilkada atau pemilu saja. Kebon Bayam pasti juga bukan satu-satunya wilayah korban "tabrak lari" politik kekuasaan negeri ini. Tapi, mereka tetap tabah dan pantang menyerah. Itu yang saya kagumi.
Kaum terpinggir seperti warga kampung Kebon Bayam adalah kaum dhuafa yang ditinggalkan oleh pembangunan fisik yang gagah luar biasa di sekeliling mereka. Ada perumahan-perumahan mewah, hotel, dan semua ciri kota besar lainnya. Bahkan Ancol, reklamasi dan juga Alexis saja selalu mampu dijadikan pusat perhatian dan pembicaraan di koran-koran dan media mainstream.
Tapi Kebon Bayam dan 2000 manusianya yang benar-benar gigih berjuang, bertahan habis-habisan dari terkaman penggusuran demi penggusuran, dan bahkan sempat mengalami kampung mereka dibakar habis-habisan sampai tiga kali di masa pemerintahan yang ganti berganti. Nasib warga Kebon Bayam di sebuah gang kecil memanjang persis berdamping dengan tembok gagah taman BMW dan calon stadion terbesar di Asia Tenggara adalah juga nasib sebagian rakyat Indonesia. Sama nasibnya, sangat ironis.
Di kampung Kebon Bayam bukan hanya karena tidak ada lagi bayam yang ditanam. Tinggal nama. Tapi hidup bersisian dengan rel kereta 4 jalur yang hidup lalu lalang setiap waktu. Berdiam di petak-petak pengap dan sempit yang sebagian dibangun di atas selokan kali yang mengendap kotor. Tentu bukan kehidupan yang mereka impikan.
Ditambah dengan segudang cerita tentang pembakaran, penggusuran berkali-kali dan pemusnahan aset mereka. Yang terakhir baru terjadi sebulan silam. Bayangkanlah, dari arah 3 jurusan, kampung mereka hendak dimusnahkan. Mushollah mereka dibelah mobil beko. Aset pohon pisang dan kolam ikan yang mereka beli dengan susah payah, tetap tidak diberi tempo oleh petugas pol pp. Walau mereka minta waktu sedikit saja, satpol pp tetap dengan sikapnya. Lupa bahwa mereka adalah rakyat juga.
Aksi mereka hanya bisa dihalangi ketika para aktivis kemanusiaan datang membantu. Bang Japar, Bang Ambon, FPI dan teman teman aktivis yang peduli, ramai ramai melawan. Satpol PP pergi. Padahal, Pak Lurah sehari sebelumnya mengatakan,"tenang... tenang... tidak akan terjadi apa-apa."
Oke Edu yang saya pimpin punya cita cita. Kampung Kebon Bayam harus jadi Kampung Bayam Bahagia. Dalam kegiatan melakukan Need Assesment pada 31 Agustus pagi sampai siang hari, para narasumber ahli dari Yayasan Kita dan Buah Hati yang berkolaborasi dengan Oke Edu, mengajak sekitar 50 remaja kampung Kebon Bayam untuk menemukan apa arti kata 'Bahagia' buat mereka, lalu merumuskan keinginan kebahagiaan itu sendiri dan mencari solusi untuk ide ide mereka dapat wujud nyata.
So, Kamis (31/8) kemarin, energi pusaran kegembiraan telah dipantik di kampung Kebon Bayam. Trauma digusur dan dibakar harus berakhir. Pemerintahan baru Anies-Sandi adalah pemerintahan baru yang telah menyatakan keberpihakan pada rakyat kecil.
Ketika beberapa waktu lalu saya me-wa pak wagub dan menyampaikan kegelisahan warga kampung Kebon Bayam yang takut akan terjadi kezaliman lagi, pak Wagub Sandiaga Salahuddin Uno menjawab,"Bunda, sampaikan pada warga Bayam, mereka tidak digusur tapi akan ditata dan patut sebagai manusia dan warga yang dimuliakan pemerintahannya.''
Saya langsung mensyukuri pernyataan bapak Wakil Gubernur terpilih yang tak pernah meninggalkan shalat dhuhanya dan puasa daudnya ini. Bang Furqon, tokoh muda masyarakat Kampung Bayam, merasa tujuh puluh persen lega. Ada harapan lagi bagi mereka untuk percaya bahwa akan ada pemerintah yang adil dan mengurus kesejahteraan mereka dalam waktu dekat ini.
Kamis (31/8), tepat ketika di Padang Arafah menjelang khutbah Arafah dimulai, need assesment remaja kampung Kebon Bayam pun selesai. Saya menangis dan berdoa sepanjang jalan. Menatap langit sore Jakarta. Ini hadiah Idul Adha untuk para pemimpin bangsa dari Kampung kampung miskin Jakarta yang ingin bahagia.
Kampung Kebon Bayam harus lebih dulu, insya Allah bersama bergerak, kita mampu membuktikannya! Jakarta akan menjadi kota dengan kampung-kampung bahagia.
Pekojan Bahagia..
Warakas Bahagia..
Penjaringan Bahagia...
Rawa Bebek Bahagia..
Tambora Bahagia..
Kampung Melayu Bahagia...
Pesakih.. Pesing...
Semua...
Bahagia...