Jumat 08 Sep 2017 01:00 WIB

Makna dan Tantangan Perpres Penguatan Pendidikan Karakter

Suwendi
Foto: dok. Pribadi
Suwendi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suwendi *)

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Perpres PPK) pada 6 September 2017 di Istana Negara, Jakarta. Penandatanganan Perpres PPK ini disaksikan secara langsung oleh beberapa menteri terkait serta pimpinan sejumlah organisasi keagamaan dan pendidikan, yang sebelumnya telah mendapatkan persetujuan dan dukungan penuh dari peserta yang hadir. Perpres PPK kemudian dimasukkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 195.

Kehadiran Perpres PPK merupakan ikhtiar kolektif antara pemerintah dan masyarakat dalam  memantapkan jati diri bangsa Indonesia kini dan masa mendatang. Melalui Perpres PPK ini, seluruh elemen bangsa menekadkan diri untuk menjadikan bangsa yang berbudaya yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti.

Diharapkan, dengan adanya Perpres ini seluruh titik tumpu pendidikan, yakni satuan pendidikan, masyarakat dan keluarga dapat memberikan penguatan karakter, terutama nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.

Proses pendidikan karakter sesungguhnya mempersyaratkan banyak hal. Setidaknya, ada tiga kunci pokok yang harus terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan karakter.

Pertama, pendidikan karakter harus diorientasikan untuk menumbuhkembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh dan terpadu. Pendidikan harus diorientasikan untuk mengharmoniskan antara olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh KH Tolchah Hasan, pendidikan karakter harus memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi intuisi, emosi, dan kognisi peserta didik secara terpadu.

Kedua, pendidikan karakter hanya dapat berlangsung dengan baik jika ada keteladanan dalam penerapan pendidikan karakter pada masing-masing lingkungan pendidikan. Perpres ini mendorong lembaga pendidikan, mulai dari pimpinan, guru, hingga tenaga kependidikan pada masing-masing satuan pendidikan harus mencerminkan karakter yang baik.

Demikian juga, tokoh-tokoh masyarakat sebagai bagian dari tumpu penddikan, seperti agamawan, politisi, birokrat, pengusaha, dan semua komponen masyarakat lainnya berikhtiar sekuat tenaga untuk berkomitmen dan memberikan teladan yang baik. Tak terkecuali dari itu semua, adalah lingkungan keluarga yang memberikan porsi tidak sedikit dalam proses pembentukan pendidikan karakter bagi anak-anak di keluarganya.

Ketiga, pendidikan karakter harus berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter tidak dibatasi pada ruang dan waktu tertentu. Tidak hanya di lembaga pendidikan semata atau pada 5 atau 6 hari saja, proses pendidikan karakter itu terjadi. Dimanapun dan kapanpun, proses pendidikan karakter itu harus dilakukan dan menjadi kebiasaan.

Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan karakter, Perpres PPK ini sesunguhnya hadir sebagai wujud penyelesaian atas sebagian dari sejumlah problem-problem pendidikan yang terjadi. Perpres PPK mengembalikan siapa dan peran apa yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak. Penyelenggaraan pendidikan melalui jalur formal, nonformal, dan informal ditempatkan pada porsi yang semestinya.

Ketiganya memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing, serta tidak menjadi subordinasi. Jika selama ini kita menempatkan institusi pendidikan formal, terutama pada jenis pendidikan umum, sebagai alat ukur dalam keberhasilan pembentukan karakter sehingga afirmasi anggaran pendidikan pun demikian besar untuk layanan pendidikan formal, maka sudah saatnya kita harus adil dan memberikan ruang yang seimbang bagi layanan pendidikan nonformal, seperti pendidikan keagamaan pada masing-masing agama. Dalam kontes pendidikan keagamaan Islam, terdapat madrasah diniyah takmiliyah, pondok pesantren, dan pendidikan Alquran.

Pendidikan karakter tidak hanya didominasi oleh pendidikan yang berorientasi pada aspek kognitif dan kecerdasan intelektual an scih, namun juga kecerdasan kognisi, emosi, dan spritual pun perlu mendapat perhatian dari negara. Bahkan, pendidikan karakter akan jauh lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan emosional dan spiritual. Dengan tanpa menafikan peran-peran pendidikan formal, kecerdasan emosi dan spiritual jauh telah diperankan oleh layanan pendidikan nonformal itu, utamanya berbasis keagamaan. Untuk itu, pendidikan pada jalur nonformal berbasis keagamaan sudah saatnya untuk direvitalisasi dan diafirmasi oleh negara.

Jika melihat afirmasi kehadiran anggaran pendidikan untuk layanan pendidikan nonformal berbasis keagamaan itu jauh dari “sekedar cukup”. Di tahun 2017, alokasi anggaran fungsi pendidikan itu sebesar Rp 416,1 triliun atau sekitar 20 persen dari APBN Rp 2.080,5  triliun. Dari Rp 416,1 triliun itu untuk layanan pendidikan umum pada jalur formal seperti SD, SMP, SMA, dan SMK secara total sebesar Rp 308,2 triliun atau sekitar 74.1 persen dari seluruh alokasi pendidikan.

Jumlah itu dilakukan melalui transfer ke Pemerintah Daerah sebesar Rp 268,4 triliun atau 64,5 persen dari anggaran pendidikan dan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 39,8 triliun atau 9,6 persen  dari anggaran pendidikan. Sisa alokasi anggaran lainnya, yakni Rp 107,9 triliun dibagi-bagi untuk sejumlah kementerian/lembaga yang menyelenggarakan layanan pendidikan, seperti Kementerian Riset-Dikti (Rp 38,7 triliun atau 9,3 persen dari anggaran pendidikan), Kementerian Agama (Rp 50,4 triliun atau 12,1 persen dari anggaran pendidikan), dan Kementerian/Lembaga lainnya (Rp 12,8 triliun atau 3,1 persen dari anggaran pendidikan) dan BA/BUN (Rp 3,4 triliun atau 0,8 persen dari anggaran pendidikan).

 

Alokasi anggaran Kementerian Agama diperuntukkan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, bahkan hingga ke satker terkecil yang secara total lebih dari 4.484 satker. Alokasi yang diterima Kementerian Agama digunakan untuk pendidikan umum berciri khas agama pada jalur formal (RA/MI/MTs/MA), Pendidikan Tinggi Keagamaan (UIN/IAIN/STAIN/S), Pendidikan Agama di Sekolah dan Perguruan Tinggi Umum, Pendidikan Keagamaan Islam (Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah, Pendidikan Alquran, Program Wajar Dikdas), bahkan untuk semua lembaga pendidikan keagamaan Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Alokasi itu digunakan termasuk untuk semua komponen yang melekat, seperti Tunjangan Profesi Guru, BOS, Pembangunan Sarana/Prasarana, dan lain-lain. Jika dibandingkan, jumlah Rp 50,4 triliun untuk Kementerian Agama pusat dan daerah yang digunakan untuk membiayai semuanya itu jauh lebih kecil dibanding dengan 1 (satu) unit alokasi anggaran Tunjangan Profesi Guru pada Sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) yang sebesar Rp 55,6 triliun. Walhasil, alokasi anggaran untuk pendidikan nonformal berbasis keagamaan sangat minim.

Melihat alokasi anggaran sebagai afirmasi pemerintah untuk layanan pendidikan berbasis keagamaan sudah semestinya untuk ditinjau ulang agar terjadi keseimbangan dan keadilan anggaran antara Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan urusan pendidikan. Lebih-lebih dalam konteks Perpres PPK, menurut hemat penulis, perlu dukungan anggaran bagi penguatan layanan pendidikan berbasis keagamaan yang cukup, tak terkecuali bagi pendidikan nonformal berbasis keagamaan.

Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan terkait afirmasi anggaran ini. Pertama, melakukan pembenahan ulang terkait pembagian keuangan antar Kementerian/Lembaga. Pembenahan ini dimulai dari merevisi Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai basis pembagian “kue pembangunan” . Kedua adalah Pemerintah Daerah harus mengalokasi anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan nonformal berbasis keagamaan itu, guna pelaksanaan dan kesuksesan PPK. Terkait ini, Kementerian Dalam Negeri memberikan payung hukum yang memadai serta mencabut semua regulasi yang beraroma larangan bagi Pemerintah Daerah dalam memberikan bantuan pada layanan pendidikan keagamaan.

Kedua, kehadiran Perpres PPK ini secara substantif menganulir sejumlah kebijakan 5HS (lima hari sekolah) sebagaimana termaktub dalam Permendikbud 23/2017. Pasal 17 pada Perpres PPK menyebutkan “Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan pendidikan karakter yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini dinyatakan tidak beriaku”. Pada aspek subtantif, Pemerintah, melalui Permendikbud 23/2017, “menginstruksikan” agar seluruh sekolah menyelenggarakan 5HS secara bertahap yang dimulai tahun ajaran 2017/2018; sementara pasal 9 Perpres PPK menyatakan bahwa PPK pada jalur formal dapat diselenggarakan melalui 6 (enam) atau 5 (lima) hari. Namun, penentuan 6HS atau 5HS itu sepenuhnya diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan bersama-sama dengan komite sekolah/madrasah, bukan oleh Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah.

Bahkan, dalam pasal 9 ayat (3) disebutkan secara khusus bahwa dalam menetapkan 5HS, satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah harus mempertimbangkan empat hal, yakni kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; ketersediaan sarana dan prasarana; kearifan lokal; dan pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar komite sekolah/madrasah.

Untuk itu, pemerintah dalam hal ini sejumlah Kementerian/Lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana Perpres PPK, di antaraya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, sebaiknya tidak mengeluarkan regulasi-imperatif atas pemilihan keputusan 5HS atau 6HS itu oleh lembaga pendidikan formal, termasuk sekolah/madrasah yang berstatus negeri sekalipun. Sesuai pasal 6 ayat (3) pada Perpres PPK, kita harus konsisten dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Artinya, biarkan keputusan itu mengalir atas pilihan masing-masing satuan pendidikan, bukan didesain atau didorong oleh Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah.

Menurut penulis, yang mendesak untuk segera dilakukan adalah bagaimana kita segera membenahi kekurangan yang terjadi di dunia pendidikan, seperti norma yang dipersyaratkan dalam  penyelenggaraan 5HS itu, yakni problem kualitas dan kuantitas guru dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan yang mencukupi standar, meneguhkan kearifan lokal yang telah hidup di lingkungan masyarakat sekitar lembaga pendidikan, dan melibatkan perhatian para tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar komite sekolah/madrasah sebagai bagian peran serta masyarakat dalam membangun dunia pendidikan.

*) Doktor Pendidikan Islam. Salah Satu Tim Perumus Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan Ma’had Aly.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement