Sudah enam bulan ini saya ikuti berita di medsos. Hasilnya, diam-diam saya syok. Yang saya yakini benar, eh ternyata juga hoax. Melacak hoaks tidaknya, itu kegagalan saya.
“Mas, kalo mau viral, mbok ya chek recheck dulu” kata teman-teman yang paham kegaptekan saya. Naaah kan! Saya cuma bisa cengar cengir. Malu juga. Hari sudah sore begini, masih gagap teknologi.
Tapi tak usah bahas soal gaptek. Maksud saya ini soal pribadi. Cuma yakin juga. Banyak lah yang seperti saya. Sekarang kita balik ke soal pro dan kontra itu.
Seperti kebiasaan di medsos, begitu ada kebijakan, berita pejabat atau tokoh, pro dan kontra langsung tersulut. Meski itu hal baik, lho. Setidaknya menurut saya. Nah iniii. Bicara saya justru itu soalnya.
Saya jadi ingat ketika Riwok Ndadari ingatkan soal ini. “Apa yakin sampeyan ini orang baik?” Tanyanya.
Blessss... Saya tak bisa jawab. Pertanyaan Riwok, tegaskan kemarufan. Sebelum pilih A atau B, soalnya kembali pada dirsen (diri sendiri). Bijak memang. Namun untuk sampai ke sini, duuuh gak mudah. Usia saya jelang Magrib. Cuma tetap saja saya kesulitan taklukan hasad, gengsi, dan ego.
Menilai diri pekerjaan sulit. Dokter tak pernah bisa mengoperasi diri sendiri. Sehebat apapun tukang cukur, juga tak bisa cukur rambutnya sendiri.
Baik menurut kambing, beda dengan singa. Pameo lama kita yang makin lama makin tak terdengar, bilang: “Lain lubuk lain ikannya”. Baik menurut partai A, bisa sulut hasad partai B.
Baik menurut rakyat, bisa jadi beda dengan pengelola negeri. Rakyat punya kepentingan untuk maslahat. Pengelola negeri pun punya kepentingan untuk manfaat. Maslahat bicara rakyat banyak. Manfaat bicara skala terbatas.
Pahlawan di negeri penjajah, dianggap kuat karakternya. Semakin kuat karakternya, makin dielu-elu negeri penjajah. Sebaliknya bagi yang terjajah, makin mereka elu-elu makin jadi horor menakutkan.