Jumat 15 Sep 2017 01:00 WIB

Literasi Politik Tingkatkan IQ Politik Masyarakat Miskin

Warga menerima surat suara untuk memberikan suaranya saat pemungutan suara pemilu (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga menerima surat suara untuk memberikan suaranya saat pemungutan suara pemilu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Mega Saputra *)

Pergulatan politik sebagai konsuekensi demokrasi selalu dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Perbincangan politik ramai riuh bukan hanya di meja-meja seminar dan panggung-panggung intelektual, namun juga merambah hingga warung kopi dan rumah-rumah pingiran rel kerata api. Demokrasi telah membukka ruang keterlibatan (engagement space) bagi seluruh lapisan masyarakat yang lebih luas dengan membongkar sekat-sekat primordial seperti agama, etnis, kelas, gender, ras, untuk terlibat aktif dalam menentukan pilihan juga mempengaruhi kebijakan yang ada.

Tidak terkecuali, mereka masyarakat miskin pedesaan maupun kota yang menurut data Badan Pusat Statistik mencapai angka 27,77 Juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Sebagai entitas yang termarjinalkan, masyarakat miskin kerap menjadi mangsa dari gerak-gerik politik yang syarat akan taktik  licik dan ilusi janji-janji revolusioner. Maka, peningkatan IQ politik masyarakat miskin adalah hal pening untuk diperhatikan.

Dalam urusan politik, masyarakat miskin bergerak bukan atas dasar kesadaran kritis. Masyarakat miskin masih belum memiliki Kesadaran politik (political unconscuiusness) yang memadai. Mereka masih saja menjadikan perhelatan politik seperti pemilihan umum sebagai komoditi. Masyarakat miskin termobilisasi dengan banyaknya uang yang mereka terima. Sehingga demokrasi dijadikan sarana bagi masyarakat miskin mendapatkan penghasilan hidup baru.

Aktivitas politik masyarakat miskin bukan saja sekedar hasrat matrelisitisnya, tapi juga banyak yang didorong oleh spirit sekterian dan primordial. Peluang masuknya politik uang dan politik primordial menjadi subur berkembang dikalangan masyarakat miskin, karena masyakrakat miskin jelas membutuhkan uang dan dengan tingat pendidikan yang rendah mereka mengimani dengan sentimen sabda-sabda primordial yang kerapkali menampilkan wajah politik yang penuh dengan isu SARA.

Untuk meningkatkan IQ politik masyarakat miskin dibutuhkan kerja-kerja literasi bukan indoktrinasi. Masyarakat miskin harus mampu membaca peluang dan tantangan dari perkembangan politik kekinian. Kerja-kerja  literasi politik adalah antitesa dari cara-cara penguasa atau para lakon lakon politik yang acapkali memperdayakan masayrakat miskin dengan janji-janji surgawi dan perbaikan hidup di saat ia atau partainya kelak menjadi jawara dalam percaturan politik. 

Literasi politik tidak hanya dimaknai secara sempit dalam ruang lingkup kajian teks tetapi juga dalam konteks sosial politik dalam mewujudkan warga Negara yang terdidik (educated citizen). Literasi politik bukan sekadar pengetahun politik, melainkan kerja-kerja yang mengedapankan edukasi politik dalam melahirkan warga negara yang memiliki kesadaran kritis serta mendorong masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam berbagai dinamika politik secara efektif.

Literasi politik harus disadari sebagai konsep yang bersifat evolutif dan membutuhkan waktu. Masyarakat miskin tentu memerlukan pendampingan bagi penguatan kapasitas intelektual mereka dalam politik berikut juga dengan edukasi etika politik.

Pendampingan ini mejadi tugas kita bersama, bukan hanya para pekerja sosial yang bernaung di bawah payung kementrian sosial, tapi juga seluruh lapisan masyaraakat yang peduli akan kemajuan demokrasi. Dialektika bersama masyarakat miskin tentang dasar keyakinan mereka menentukan pilihannya harus terus tumbuh karena ini menjadi kebutuhan fundamental bagi kemajuan IQ politik masyarakt miskin.

SARA yang menjadi senjata para pegiat politik primordial kerapkali lalu-lalng di beranda media sosial. Tidak sedikit masyarakat miskin bahkan masyarakat umum lainnya termakan berita palsu “hoax”. Kecerdasan membaca dan memfilter isu yang beredar di berbagai media massa juga harus terus digelorakan dengan diskusi dan dialog.

Pemerintah sejatinya juga harus memberikan perhatian khusus bagi pemajuan literasi politik masyarakat miskin. Mendidik mereka hingga mereka sadar bahawa mereka adalah subjek politik bukan sekedar mangsa kuantitatif dari jumlah suara dalam pertarungan politik.

Sosialisai empat pilar bukan hanya menjadi hidangan masyarakat kampus tapi juga harus dapat mengisi ruang-ruang publik dimana masyarakat miskin tinggal. Melalui Badan Kesatuan Bangsa, dan Politik  beserta lembaga pemerintah pendukung lainnya, pemerintah tidak boleh hanya sekedar menghabiskan anggaran melainkan  merumuskan dan menjalankan program pendidikan politik yang berkualitas, berkelanjutan dan dapat dievaluasi.

Upaya menjadikan literasi politik sebagai budaya baru juga dapat disalurkan melalui keberadaan  Civil Society Organization. Keberadaannya merupakan rumah dari aspirasi masyarakat. Dengan begitu, masyarakat miskin akan terdidik untuk berargumen dan membela hak-haknya yang selama ini tersandera hanya dalam ruang-ruang doa. Keberadaan civil society paling tidak berperan sebagai penghubung, pendidik,  pembela (advokat), katalisator, dan sebagai mobilisator.

Akhirnya, kerja-kerja meningkatkan IQ politik masyarakat miskin melalui sspirit literasi politik harus diemban dan menjadi tanggung jawab kita bersama. Meningkatnya IQ politik masyarakat miskin akan memberikan ikhtiar baru bagi perbaikan kualitas dan kedawasaan demokrasi kita.

 

 

*) Pendamping Program Keluarga Harapan Kemensos RI

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement