REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Wartawan Senior Republika, Nasihin Masha
Timnas Indonesia pada Piala AFF 2017 di Myanmar lebih layak menjadi juara dibandingkan timnas Thailand yang menjadi juara. Ini bukan semata-mata karena tragedi kartu merah di saat peluit wasit tanda istirahat sudah ditiup untuk jeda istirahat Indonesia vs Thailand, tapi memang karena secara keseluruhan timnas Indonesia lebih baik dari tim-tim lain termasuk Vietnam yang mengalahkan Indonesia dengan skor telak 3-0. Tapi ini hanya intro saja, karena fokus tulisan ini adalah soal lain. Hal yang lebih menarik untuk diulas dan dianalisis.
Sepulang dari tur ke Eropa empat bulan lalu, Indra Sjafri menemukan formasi baru yang ia beri nama formasi Sang Garuda. Saat itu ia ada di Prancis, lalu di internet ia melihat lambang burung garuda. Dari situlah ia mengembangkan formasi yang biasa ia gunakan – 4-3-3 – menjadi 4-1-3-1-1. Tak heran jika kali ini kita bisa menyaksikan seringnya tim asuhan Indra Sjafri memberikan umpan-umpan panjang.
Memang di formasi timnas U-19 sebelumnya, Indra juga menerapkan pola umpan panjang. Ini karena ia mengistilahkan ciri permainannya sebagai Pe-Pe-Pa alias Pendek-Pendek-Panjang. Karena itu, di timnas Evan Dimas cs, kita menyaksikan permainan yang lekat dengan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki, lalu di saat akhir ada umpan yang agak jauh. Kini dengan formasi Sang Garuda, umpan-umpan pendek masih diterapkan, namun tak lagi harus terus menyusur hingga di sepertiga lapangan. Kali ini, dari bidang permainan sendiri bola bisa diumpan jauh ke depan. Mengapa?
Itu karena perubahan formasi. Keberadaan dua pemain yang dipasang berurutan di depan – bukan berjajar sebagai dua tombak kembar – membuat pemain gelandang atau pemain belakang bisa langsung melempar umpan jauh ke depan. Bisa ke dua pemain itu, bisa pula ke sayap. Bayangkanlah formasi 4-1-3-1-1 itu sebagai lambang garuda yang menjadi simbol negara Indonesia. Maka ada tiga ujung: kepala dan dua ujung sayap.
Namun, umpan ke sayap tak menuju ke sepertiga bidang permainan lawan, tapi bisa ke sisi pinggir garis tengah lalu sang pemain berlari mengontrol bola menyusuri pinggir lapangan. Ini mengingatkan pada gelar pasukan perang Mataram pada formasi garudabihwa: kekuatan tersebar, menyerang dan bertahan bersama-sama. Ada sayap, ada leher, dan ada paruh yang siap mematuk.
Dengan formasi 4-1-3-1-1 itu Indra Sjafri memiliki banyak variasi yang bisa dikembangkan saat menyerang maupun bertahan. Dengan gelaran garudabihwa atau garuda nglayang seperti gelar pasukan Mataram, para pemain lawan mengalami kebingungan. Serangan bergelombang, cepat, dan bisa dari mana saja membuat pemain lawan sulit melakukan antisipasi. Witan Sulaeman, Muhammad Iqbal, dan Feby Eka Putra atau M Lutfi Kamal menusuk dari sayap dan tengah. Lalu ada Egy Maulana Vikri yang bebas bergerak meliuk ke mana saja seperti leher, namun juga bisa menjadi second striker ataupun pemain lubang. Dan di depan ada Hanis Saghara Putra atau M Rafli Mursalim yang siap mematuk.
Dengan cara itulah mereka bisa melesakkan 26 gol di enam pertandingan atau rata-rata lebih dari empat gol tiap pertandingan. Myanmar takluk dengan 2-1 dan 7-1, Filipina punah dengan skor 9-0, dan Brunei Darussalam bertekuk lutut dengan 8-0. Egy pun dinobatkan sebagai top scorer pada turnamen Piala AFF ini karena mengemas delapan gol. Namun Indonesia kalah lawan Vietnam 0-3 akibat kiper cedera dan kiper pengganti belum sempat pemanasan sehingga kebobolan dua gol dalam empat menit. Kekalahan lainnya diderita lawan Thailand lewat adu penalti, setelah 45 menit babak kedua dilalui dengan 10 pemain.
Pola 4-1-3-1-1 itu mengacu pada formasi baku sepakbola modern, yaitu 4-4-2. Pola 4-4-2 ini sudah lama ditinggalkan karena terlalu umum. Namun demikian, sepakbola modern juga tak bisa lari jauh dari pola 4-4-2. Sehingga yang muncul adalah pembaruannya seperti 4-4-1-1 atau 4-1-2-1-2 atau 4-3-3 atau 4-3-2-1. Inti dari formasi sepakbola modern adalah menjaga keseimbangan di tiga lini: belakang, tengah, dan depan.
Hal itu berbeda dengan formasi klasik yang menekankan pada serangan dan mengabaikan pertahanan seperti pola 2-3-5 atau 2-3-2-3 atau 3-2-3-2. Selain basis 4-4-2, dalam sepakbola modern juga mengenal pola 5-3-2 dan beragam variasi lainnya. Namun dari semua variasi itu belum ada formasi Sang Garuda yang dikenalkan Indra Sjafri, yaitu 4-1-3-1-1. Formasi ini bisa lincah berubah ke banyak bentuk. Inilah yang membuat lawan menjadi kebingungan.
Formasi Sang Garuda memang membutuhkan full skill, stamina prima, dan fokus pemain. Indra Sjafri memang dikenal sebagai pelatih yang disiplin, keras, percaya diri, dan objektif. Eksperimennya pada timnas U-19 sebelumnya membangkitkan kegairahan persepakbolaan nasional. Selain permainan yang enak ditonton, stamina prima, juga menangan. Namun sayang, saat itu, ia dirusak oleh pengurus yang membisniskan sepakbola. Gagal mengatur permainan, tim Indra Sjafri dipaksa untuk ikut banyak turnamen untuk meraih dana dari hak siar televisi. Akibatnya, para pemaian sudah kelelahan dan lewat masa peak performance-nya di turnamen yang sesungguhnya.
Kini, Indra Sjafri datang dengan pemain baru dengan skill yang lebih baik, lebih tajam, fisik lebih prima, dan tentu dengan formasi permainan yang baru – Sang Garuda. Namun tim ini baru dibentuk enam bulan. Sangat terlihat titik lemahnya. Permainan belum rapi. Masih banyak kesalahan sendiri. Pertahanan juga masih mudah ditembus. Mental dan trik permainan belum matang. Tim ini masih harus sering ikut turnamen dan uji coba. Piala Asia sudah menunggu di depan mata pada 2018, apalagi Indonesia menjadi tuan rumah. Turnamen ini juga menjadi babak penyisihan untuk Piala Dunia U-20.
Konon, Panglima Soedirman menerapkan formasi garudabihwa saat menggempur pasukan Belanda di Ambarawa. Itulah kisah perang yang heroik yang dimenangkan pasukan Merah-Putih. Kini timnas U-19 bukan hanya membawa garuda di dada, tapi juga membawa garuda dalam formasi permainan.
Saatnya garuda ikut Piala Dunia.