REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: DR Denny JA
Filsuf Nietzche suatu ketika berkata: Segala hal adalah obyek dari interpretasi. Setiap interpretasi bukanlah representasi dari kebenaran, tapi ekspresi sebuah kekuasaan.
Sejarah masa silam, apalagi jika ia menjadi bagian dari paham agama atau paham ideologi, akan selalu multi interpretasi karena setiap komunitas akan memahami sesuai dengan kepentingannya.
Kita mengapresiasi niat baik Presiden Jokowi untuk membuat film baru sejarah Gerakan 30 September/PKI untuk generasi milineal. Namun segera pula kita tahu kesulitan Jokowi, atau siapapun yang akan membantu membuatnya. Kesulitan bermuara pada pertanyaan: versi mana yang akan difilmkan?
Bahkan para akademisi internasional, mereka yang meneliti peristiwa G30S/PKI, ditambah kesaksian pelaku, berakhir setidaknya pada enam versi. Keenam versi itu berbeda soal dalang utama dibalik gerakan 30 September: 1) dalangnya PKI atau 2) awalnya konflik internal angkatan darat.
Atau 3) ternyata ada peran utama Soekarno sendiri, atau 4) Dalangnya yang paling untung secara politik: Soeharto, atau 5) Dalangnya tersembunyi di belakanh meja: CIA/kekuatan internasional, atau 6) itu lebih kompleks karena rencana satu dalang yang kemudian disabotase oleh dalang lainnya.
Upaya Jokowi dan pemerintah di era reformasi membuat film sejarah segera berubah menjadi pihak tertuduh. Jokowi segera digugat bukan meluruskan sejarah tapi berpolitik menggunakan kasus sejarah yang masih membara.
Sebaiknya, pemerintah Jokowi membiarkan masyarakat saja yang membuat film itu. Pemerintah berupaya yang lebih penting: mencari formula "elite settlement," islah atau rekonsiliasi berbagai pihak agar kisah G30S/ PKI tak lagi membara membelah kita.