REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harsono, Auditor Itjen Kemendikbud
Publik, beberapa bulan lalu, dikejutkan dengan kabar penangkapan kelompok pelaku kejahatan siber bernama Saracen oleh pihak kepolisian. Kelompok ini diduga bekerja dengan memproduksi hoaks atau berita bohong yang dibayar oknum tertentu untuk menebar kebencian berdasarkan permintaan klien mereka.
Reaksi terhadap kabar ini datang langsung dari Presiden RI dengan meminta Polri mengusut tuntas kelompok Saracen, bahkan membongkar jaringan Saracen hingga pemesan dan pembayar. Kelompok seperti ini disebut menjadi aktor yang mampu memecah belah bangsa (Republika, 28 Agustus 2017).
Cara kerja kelompok ini adalah dengan menggunakan media sosial (medsos). Mereka membuat ratusan ribu akun kloning, menyebar, dan menciptakan arus berita bohong serta kebencian ke tengah masyarakat bangsa ini.
Masalahnya, simpatisan dan pembaca berita yang mereka produksi jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka berhasil membentuk opini publik, meski opini yang terbentuk tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Tidak hanya itu, cara kerja kelompok ini juga melakukan pembunuhan karakter terhadap lawan politik atau orang yang berseberangan dengan pihak pengguna jasa. Media daring bahkan kini kalah cepat dengan fenomena broadcast jejaring sosial, yang bisa tersebar tanpa verifikasi.
Orang bebas menulis sebagai apa pun dan sebagai siapa pun tanpa kewajiban verifikasi, penyuntingan, dan klarifikasi. Hal inilah yang tampaknya dipahami oknum pelaku kejahatan siber sehingga mereka dengan efektif membentuk opini masyarakat melalui teks berita atau opini yang dibuatnya.
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Pihak yang tidak bertanggung jawab dan berpotensi memecah belah bangsa tentu tidak dibiarkan. Semua pihak perlu terlibat untuk menangani masalah ini.
Pihak kepolisian sudah menangkap kelompok terduga pelaku untuk kemudian diadili dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi lebih penting dari itu, langkah-langkah mendasar terkait upaya meningkatkan kecerdasan masyarakat sehingga tidak mudah percaya dengan konten yang mengandung kebencian dan kebohongan, yang diciptakan kelompok-kelompok tertentu yang mungkin muncul kembali.
Salah satu instrumen pencerdasan masyarakat yang paling efektif adalah melalui lembaga pendidikan di ruang kelas. Pendidikan literasi melalui media daring dan juga etika bersosial media perlu ditanamkan di sekolah-sekolah.
Hal ini menjadi sangat penting mengingat siswa sekolah dasar sampai perguruan tinggi sangat rentan menjadi konsumen berita bohong dan provokatif, sekaligus turut berperan menjadi agen tak sadar yang menyebarkan konten-konten itu.