Ahad 15 Oct 2017 01:00 WIB

Freeport Kembali Kangkangi Pemerintah

Red: Agus Yulianto
Demo terhadap Freeport
Foto: ABC News
Demo terhadap Freeport

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mashun Sofyan *)

Ketidakberdayaan pemerintah negeri ini, terlihat ketika negara kesulitan “mengatur” perusahaan besar multinasional asal AS (Freeport) untuk tunduk dengan aturan yang dibuat. Pemerintah berupaya agar aset tambang di Papua ini bisa lebih besar dikuasai oleh Indonesia.

Pada 20 Agustus 2017 lalu, harapan pemerintah tampak terlihat saat Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan CEO Freeport Mc Moran Richard Adkerson duduk berdampingan membicaran masa depan tambang emas di Papua. Freeport dikatakan harus melakukan divestasi saham, membangun smelter, dan akan patuh atas semua peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.

Harapan ini ternyata bertepuk sebelah tangan. Padahal, presiden sudah mengumbar pernyataan akan keberhasilan menaklukan freeport. Bahkan, berita keberhasilan pemerintah ‘menaklukan’ freeport sempat ramai di berbagai media negeri ini. Namun, kenyataanya berkata lain, harapan pemerintah tidak sesuai harapan. 

Publik kembali ‘gempar’ pascasurat yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan tersebut bocor. Sebab, surat itu malah mengindikasikan ada yang tidak tuntas dari perundingan sebelumnya. Tiga menteri yaitu Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri ESDM saling saut menyahut membantah isi dan maksud surat yang bocor ke publik tersebut.

Surat tertanggal 25 September 2017 itu berisi poin-poin penolakan Freeport atas keberhasilan perundingan yang sempat digaungkan pada 20 Agustus sebelumnya. Ternyata, ada perundingan yang tidak beres, namun pihak pemerintah terburu-buru mengumbar isu bahwa freeport sepakat melakukan divestasi saham.

Pada surat yang disebut 'bocor' ke publik tersebut Freeport menuliskan penolakan atas skema divestasi saham yang ditawarkan pemerintah. Tak hanya divestasi, poin Freeport meminta kepastian investasi seakan menjadi kontraproduktif dari pernyataan pemerintah bahwa Freeport sepakat dengan skema perpajakan yang sudah ditetapkan pemerintah.

Di tengah ketidak-kompakan para pejabat pemerintah antar departeman, tiga menteri yang tadinya satu suara bahwa Freeport dan Indonesia baik-baik saja malah saling tuding dan lempar kewenangan. Menteri ESDM, Ignasius Jonan melempar pernyataan yang berisi bahwa “tugas kami soal perundingan bangun smelter sudah selesai, sisanya silahkan ke Bu Menkeu dan Bu Menteri BUMN”.

Sementara Menteri BUMN melempar pernyataan yang berisi bahwa “Soal pajak dan divestasi ada di Bu Menkeu. Kita sedang tunggu formulanya. Kita siapkan holding tambangnya untuk bisa serap saham Freeport”. Sedangkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memilih diam dan enggan membahas persoalan Freeport, namun Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menyebutkan ada tim yang urus itu.

Sementara juru bicara Freeport, Riza Pratama menunjukkan, sikap yang sebenarnya belum ada kesepakatan yang benar-benar jadi kesimpulan. Riza berulang kali mengatakan, masing-masing kesepakatan saling berhubungan dan jika salah satunya tak sepakat, maka artinya batal!.

Perusahaan tambang AS ini, sudah cukup lama berdiri di Indonesia yakni sejak tahun 1967, sudah 50 tahun bercokol mengeruk kekayaan alam di Papua, tentu tidak akan mau jika diatur oleh pemerintah begitu saja, pada tahun 2016 saja Freeport mampu menghasilkan nilai sebesar total 3,78 miliar dolar AS atau sekitar Rp 50,52 triliun, tentu jumlah ini sangat melimpah. Maka, sangat wajar freeport terus berupaya menjaga kepentinganya tanpa mau ada pihak lain yang ingin ikut campur atasnya, walaupun itu adalah pemerintah Indonesia dengan upaya divestasi saham freeport.

Penjarahan tambang di papua oleh PT Freeport ini tidak lahir begitu saja, namun didukung oleh regulasi yang memuluskan penjarahan hasil tambang di papua tersebut. Undang-Undang minerba dan penanaman modal asing (PMA) dengan paradigma ekonomi liberal kapitalistik, memandang kepemilikan SDA dan investasi asing dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah hak siapa saja termasuk korporasi asing.

Sehingga dengan dalih investasi asing, negara kapitalis besar seperti AS bisa dengan mudah masuk untuk menguasai sumber daya alam di berbagai negeri termasuk Indonesia, selain juga didukung dengan peran agen-agen politik mereka di parlemen, yang menggolkan dan memuluskan legalitas regulasi liberal kapitalistik tersebut. Ini jelas, merupakan bentuk penjajahan gaya baru (neoimperialisme), dengan jalan mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Sekilas, jika kita melirik Islam, akan tergambar sebuah paradigm bahwa sumberdaya alam, termasuk tambang yang melimpah merupakan hak milik umum, yang tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pihak swasta apalagi asing. Negara sebagai institusi pelayan rakyat memiliki tugas mengelolanya dengan baik kemudian hasilnya didistribusikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk.

Rakyat sebagai pemilik hakikinya sumberdaya alam tentu memiliki hak untuk menikmatinya dalam berbagai bentuk pelayaan masyarakat baik berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan, termasuk kebutuhan mendasar lainnya. Hal ini seharusnya menjadi alternative pembahasan para pencari solusi atas penjarahan SDA oleh asing maupun aseng.

*) Analis MAin Bidang Politik Ekonomi, BE BKLDK Jabar.

Apakah Anda orang yang pandai berbicara

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
  • 6
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement