Hari ini Gubernur dan Wakil Gubernur baru DKI Jakarta terpilih akan dilantik. Di jagad media sosial dua kubu masih saling beradu wacana. Satu kubu memberi dukungana pada Anis-Sandi dengan tetap kritis. Kubu lain masih bermain-main dengan wacana lama kesuksesan Ahok-Djarot pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya. Ingin dikesankan, keduanya sangat dicintai rakyat Jakarta dan sangat berjasa membangun Ibu Kota. Mungkin saja tujuan akhirnya menanamkan kesan Ahok-Djarot tetap paling baik untuk memimpin Jakarta.
Kita harus mengambil peran dan inisiatif meredakan situasi politik domestik yang semakin mengeras polarisasinya. Bagaimanapun, hal seperti ini tidak sehat untuk kehidupan kita semua.
Saat Foke menang (57,87%) dari Adang (42,13%) pada Pilkada DKI 2007, kubu Adang pasti kecewa. Dimanapun orang kalah pastilah kecewa. Tapi kubu Adang dapat menerimanya dengan legowo.
Demikian juga dengan Pilkada DKI 2012. Saat itu pasangan Jokowi-Ahok menang (53,82%) dan mengalahkan pasangan Foke-Nara (46,18%). Kekalahan ini lebih menyakitkan lagi karena: - Jokowi saat itu merupakan 'orang daerah' sama halnya dengan Djarot. - Jokowi berpasangan dengan Ahok yang non-muslim memimpin Jakarta yang mayoritas muslim. - Melawan incumbent.
Tapi kubu Foke dapat menerima kekalahan Pilkada dengan legowo. Tidak ada disain sosial menjadikan Foke pahlawan bagi Jakarta. Ini hanya politik yang memang kerap diisi dengan kalah dan menang. Siapapun yang menang, merekalah yang dipilih takdirnya untuk membangun Jakarta. Selesai.
Saya mencermati, masing-masing pihak yang kalah pada 2 Pilkada DKI tersebut memilih 'diam dan menunggu' kinerja Gubernur terpilih. Orang kalah hanya bisa berdoa dan berharap kebaikan akan dirasakan semua pihak.
Pada masa awal kepemimpinan atau masa awal sebelum pelantikan pada usai Pilkada DKI 2007 dan 2012 tersebut, tidak ada tekanan dalam bentuk apapun pada Gubernur terpilih saat itu. Rasa kecewa itu disimpan terpendam dan dibiarkan larut dalam kinerja positif Gubernur terpilih.
Tapi mengapa pada Pilkada DKI 2016-2017 ini terlihat Gubernur Anis-Sandi sebagai Gubernur terpilih DKI seperti tidak diberi kesempatan dan ketenangan bekerja memenuhi janji mereka saat kampanye?
Saya membacanya dengan dua cara:
Pertama, ini terkait konteks aktivitas di media sosial. Pada Pilkada 2007 media sosial belum seleluasa saat ini. Sedangkan pada Pilkada 2012 kendati media sosial sudah cukup populer tapi belum dimanfaat secara seimbang oleh dua kubu yang beradu politik Pilkada DKI saat itu. Terlebih pada Pilkada DKI tahun 2012.
Kedua, ini terkait mayoritas politik identitas yang dimainkan pada Pilkada DKI 2016 lalu. Politik identitas ini juga tidak muncul mendadak. Tapi melalui proses 'melemahkan' identitas satu kelompok tertentu. Puncaknya dapat kita lihat pada Aksi Bela Islam 212.
Hemat saya, tidak ada pesta yang tidak selesai. Tidak ada tontonan yang tidak usai dan tidak ada permainan yang tidak berakhir.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarata 2016 ini, semua politik identitas itu sudah berakhir sejak Anis-Sandi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Gubernur untuk Ibu Kota negara kita Indonesia. Sama halnya saat Foke terpilih pada Pilkada DKI 2007, atau saat Jokowi terpilih pada Pilkara DKI 2012.
Masih ada rasa kecewa? Tentu saja, namanya juga manusia. Tapi marilah belajar bersama menjaga margin kekecewaan itu dengan sehat demi kebaikan bersama. Jangan menumpahkan kekecewan tersebut sebagai eksperesi berlebihan di ruang publik untuk menekan pemimpin yang belum atau baru akan bekerja.
Lebih baik bersikap kritis terhadap kebijakan Anis-Sandi memimpin Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Ini akan lebih bermanfaat untuk kehidupan kita semua.
Karena itu saya ingin ucapkan, Terima Kasih Ahok-Djarot, Selamat Bekerja Anis-Sandi.
Kerja, kerja, kerja...