REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Firdaus, Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB
Dalam artikel seminal-nya, Merton (1942) mengemukakan empat butir yang dikenal sebagai norma masyarakat ilmiah. Universal, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dapat dihasilkan di mana dan oleh siapa saja. Terlepas dari siapa pun dan di mana pun iptek dihasilkan, hasil temuan dan pengetahuan baru harus dinilai berdasarkan scientific merit.
Norma kedua adalah organized sceptism, bermakna ilmuwan seharusnya tidak begitu saja menerima ide atau kejadian baru, tanpa daya kritis. Namun, mengkritisi bukan dimaksudkan untuk menyerang individu tertentu, tetapi untuk mengupayakan agar riset menghasilkan solusi yang lebih aktual.
Ketiga adalah disinterestedness. Ini mengandung makna bahwa ilmuwan harus objektif dan berpikir secara tidak parsial. Selain itu, harus terbuka pada obervasi baru yang bisa jadi berbeda dengan ekspektasinya. Objektif tentu tidak berarti sepenuhnya bebas nilai. Lebih utama adalah pemikiran harus berbasis pada data dan pengetahuan. Dengan cara ini, kepentingan pribadi akan dapat ditekan.
Yang terakhir adalah communalism. Iptek adalah milik siapa saja. Maka pengetahuan baru seyogianya dibagikan kepada setiap orang. Penyebaran iptek dilakukan untuk kemaslahatan orang banyak. Keempat norma ini selayaknya menjadi pegangan dalam upaya pencarian iptek baru, sehingga hal-hal yang bersifat tabu seperti plagiarisme juga dapat dihindari.
Arah riset dan pengembangan
Pengetahuan baru terus berkembang. Dalam dunia ilmiah, tidak ada kebenaran mutlak. Pencarian kebenaran baru lazim dilakukan melalui riset atau proses investigasi secara sistematis. Tentunya riset yang dilakukan tidak boleh hanya berujung pada riset baru. Baik riset dasar maupun terapan harus dilakukan dengan peta alur untuk menghasilkan sesuatu yang dapat didiseminasi kepada dunia usaha, masyarakat atau pemerintah.
Dalam jangka pendek riset dasar akan memberikan luaran yang dinilai dari keunggulan akademik. Namun, dalam jangka lebih panjang, bersama-sama riset terapan keduanya harus sampai memberikan nilai ekonomis atau dampak sosial. Dampak berganda harus dihitung, sehingga riset yang sering menggunakan dana publik dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatannya.
Pembuktian apakah manggis bersifat apomiksis akan menjadi landasan ke depan untuk mempercepat umur panen dan untuk mendapatkan sifat-sifat terbaik dari ratu buah ini. Dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi, antara lain karena kandungan xanthon (baca zanton) di dalamnya, riset dasar tadi menjadi penting.
Berbagai eksperimen dalam riset terapan untuk menciptakan kecerdasan buatan (AI) merupakan contoh aktivitas yang lebih aplikatif untuk menemukan inovasi yang akan membantu pekerjaan manusia. Nilai impor yang sangat tinggi untuk produk-produk teknologi tinggi seperti ini, akan dapat berkurang bila anak bangsa dapat lebih banyak berkreasi sendiri.
Meskipun saat ini dari sisi besaran, anggaran untuk riset dan pengembangan di Indonesia masih jauh di bawah angka ideal (2 sampai 3 persen PDB), dari yang sudah banyak dilakukan harus dievaluasi tumpang tindih topik dan produk-produk apa yang sudah dihasilkan. Bagi dosen dan peneliti, keluaran riset tidak jarang untuk memenuhi unsur kewajiban publikasi ilmiah.
Dalam tataran keunggulan akademik tentu ini berharga. Kita juga tidak perlu risau dengan polemik tentang Scopus dan berbagai indexing lainnya. Karena pada dasarnya, hasil riset yang baik dan dipublikasikan di jurnal bereputasi tinggi akan berpeluang mendapatkan sitasi lebih banyak, yang artinya memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Di berbagai instansi pemerintah, efektivitas keluaran riset juga sering dipertanyakan: seberapa rasio manfaat untuk masyarakat terhadap biaya yang dikeluarkan.