REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Beberapa tahun silam, di sebuah pagi hari, ketika saya masih Imam di Islamic Cultural Center of New York, saya menerima telpon dari seorang wanita yang mengenalkan diri dari Virginia.
“Hello, may I speak to Mr Shamsi?”, pintanya.
“Speaking! Who is this?”, tanya saya.
“My name is....(privasi) and I am calling from Virginia”, jawabnya.
“What I can do for you?”, tanya saya.
“Sir, I need your help!”, pintanya.
“Please, what I can help?”, tanya saya.
Nampaknya wanita itu menghela napas lalu mengatakan: “Sir, my mom is very sick and she is there in New York. She is now at this elderly home (rumah jompo)”, sambil menyebutkan nama dan alamatnya.
Ternyata alamat itu tidak jauh dari Islamic Cultural Center of New York yang terletak di 96th Street dan Third Avenue. Sementara rumah jompo ini terletak di 78th Street and Second Avenue Manhattan.
Saya kemudian ingin tahu kenapa wanita itu meminta saya mengenguk ibunya yang sakit. Setelah cerita agak panjang saya ketahui bahwa ibunya itu seorang Muslim, sudah lama bercerai dengan suaminya, dan anak-anaknya sudah pada sukses dengan karirnya. Wanita itu rupanya pernah dapat pesan dari ibunya kalau dia meninggal agar diurus secara Islam.
Ada dua pertanyaan saya kemudian yang cukup menyedihkan:
“If your mother is a Muslim, how about you?”
“I am not sure Sir!” Jawabnya singkat.
“If your mother is so sick, why don’t you come and see her?”, tanya saya lagi.
“I am so busy and I can not leave my office”, jawabnya juga singkat dan datar.
Singkat cerita saya ke rumah jompo itu dan menemukan sang Ibu dalam keadaan sakratul maut. Saya tidak banyak bisa berbuat selain membacakan ayat-ayat Alquran dan mencoba mentalqin ibu ini dengan kalimah tauhid. Lalu saya tinggalkan dan minta agar kantor rumah jompo itu menelpon anaknya.
Keesokan harinya kantor rumah jompo itu menelpon saya kalau ibu itu “passed away” (meninggal dunia). Saya pun meminta agar anak dan keluarganya dihubungi. Ternyata jawaban dari anaknya sama saja, masih sibuk hari ini. Mungkin besok akan ke New York, tapi minta diselesaikan semuanya sesuai pesan ibunya, yaitu secara Islami.
Saya tidak meneruskan cerita itu karena akan semakin menyedihkan endingnya. Yang ingin saya sampaikan adalah betapa anak-anak di Amerika dan dunia barat telah mengalami situasi yang sangat menyedihkan bahkan menyakitkan. Hati-hati sebagian mereka telah mengalami mati suri dan tidak lagi merasakan “kasih sayang” bahkan sedih dengan kematian seorang ibu sekalipun.
Tapi haruskah sepenuhnya anak disalahkan? Atau kelalaian anak terhadap orang tua itu sebagai akibat dari sebab kelalaian orang tua kepada anak? Sangat memungkinkan.
Saya jadi teringat sebuah doa yang sering kita bacakan: “Allahumma ighfir lii wa liwidayya kamaa rabbayani shoghiira”. Kata “kamaa” (sebagaimana) menunjukkab bahwa perhatian dan kasih sayang anak banyak tergantung dengan hukum “sebab akibat”. Ampuni, rahmati dan kasihi orang tua kami sebagaimana mereka telah memberikan kasih sayang dan perhatian kepadaku.
Tentu sebaliknya adalah jika mereka tidak memberi kasih sayang, tidak bertanggung jawab, tidak mendidik, maka mereka juga tidak ada hak (don’t deserve) untuk diperhatikan dan mendapat kasih sayang.
Tentu ungkapan di atas saya tujukan kepada para orang tua. Sementara kepada anak-anak, siapapun orang tua kalian, selengah apapun mereka, bahkan mungkin seburuk apapun, mereka tetap berhak untuk dicintai dan dihormati (walau tidak harus ditaati dalam hal keburukan). Sebagaimana Allah gariskan: “falaa tuthi’huma wa shohibhuma fiddunya ma’rufa”.
Amanah dan kewajiban
Hidup seluruhnya adalah amanah. Dan segala sesuatu yang terkait dengan hidup adalah amanah. Termasuk di dalamnya kekayaan dan anak-anak. Di Al-Anfal Allah menegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman. Jangan kamu khianati Allah dan rasulNya, dan jangan kamu khianati amanah-amanah kamu sedangkan kamu mengetahui”. Lalu pada ayat selanjutnya Allah menyampaikan: “Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu adalah fitnah (cobaan/ujian)”.
Kata fitnah itu berujung pada dua kemungkinan: ni’mah atau niqmah. Ni’mah berarti anak dan harta merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Kesenangan (ziinah) dengan harta dan anak-anak memang digariskan dalam Al-Quran. Tapi kegagalan membawa fitnah itu ke pintu kenikmatan melahirkan “niqmah”. Yaitu kehancuran dan siksaan.
Di sinilah Allah menegaskan: “sungguh sebagian pasangan-pasangan kamu dan anak-anak kamu itu adalah musuh bagi kamu (aduwwun lakum)”.
Di sinilah Allah kemudian memberikan arahan dan petunjukNya agar hamba-hambaNya yang beriman berusaha menyelamatkan diri-diri mereka dan keluarga mereka dari kemungkinan azab itu. Sebuah ayat menyimpulkannya sebagai berikut: “wahai orang-orang beriman. Jagalaj diri-diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka”.
Ayat di atas mengandung minimal tiga poin penting:
Pertama, dalam Alquran ketika kata “aamanu” (orang-orang beriman) dikaitkan dengan perintah atau larangan menunjukkan bahwa perintah atau larangan itu adalah penting dan serius. Oleh karenanya menjaga keluarga atau mendidik anak adalah perintah yang diambil secara serius sebagaimana sholat, puasa, zakat, haji dan perintah lainnya.
Kedua, kata “QUU” (jagalah) adalah kata perintah. Kata ini berasal dari “waqaa-yaqii-wiqaayatun” (to prevent) atau melakukan langkah-langkah proaktif sebelum sesuatu itu terjadi. Ini menunjukkan bahwa mendidik anak itu harusnya bukan dilakukan setelah ada sesuatu yang dianggap tidak baik. Tapi sejak pertama mengambil langkah membangun rumah tangga, bahkan di saat mencari pasangan hidup.
Ketiga, kata “anfusakum” (diri-diri kamu) merupakan peringatan keras bahwa “ketauladanan” dalam rumah tangga menjadi kunci keberhasilan pendidikan anak. Jaga dirimu artinya sebelum berpikir mengajar anak, bercerminlah terlebih dahulu. Anda mengajar anak sholat tapi anda sholatnya bolong-bolong sama dengan mengajarkan kemunafikan kepada mereka. Mengajar anak jujur tapi anda pembohong juga mengajarkan kemunafikan. Maka “quu anfusakum” itu bermakna jadilah tauladan bagi anak dan keluargamu.
Bersambung....
* Presiden Nusantara Foundation