REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aditya Permana *)
Pidato pelantikan Gubernur baru Jakarta, Anies Baswedan, 16 Oktober 2017 menimbulkan polemik karena dianggap bertendensi rasis, fasis, dan berpotensi memecah-belah. Dalam asumsi ini, salah satu yang dipolemisasi adalah integritas moral Gubernur Anies yang dianggap berpotensi merusak sendi-sendi kebhinnekaan dan toleransi yang demikian rapuh dan sedang diperjuangkan mati-matian oleh kalangan nasionalis. Pidato tersebut juga memunculkan polarisasi antara kalangan yang menapaki ideal politik Platonis-Aristotelian (yang tidak memisahkan etika dan politik) dan kalangan realis politik yang tidak mempertimbangkan etika dan moralitas sebagai kondisi politik real – setidaknya dari pengamatan sekilas dalam media sosial dan group-group berplatform digital.
Pidato tersebut juga menjadi sesuatu yang unik. Dalam sejarah pelantikan gubernur di Indonesia, amat jarang terjadi pidato yang sedemikian politis – “presidensial”. Aspek politis ini dapat dianggap sebagai kelanjutan dari konflik horizontal masa Pilkada Jakarta sebelumnya, sekaligus dapat ditafsirkan sebagai sebuah pesan bagi agenda lebih jauh di depan. Bukan rahasia apabila jabatan Gubernur DKI Jakarta tak ubahnya batu loncatan politik menuju jenjang yang lebih tinggi.
Dalam kasus pidato Gubernur Anies, tendensi ini muncul dalam kutipan-kutipan pepatah dari berbagai suku bangsa di Indonesia, Batak hingga Minahasa. Secara semiotis kutipan-kutipan ini dapat dimaknai sebagai upaya “menenun” seluruh entitas kebangsaan Indonesia menjadi satu. Dengan ungkapan lain, pidato tersebut merefleksikan kehendak untuk merangkul populi. Namun, niat ini, segera batal dengan untaian teks yang diklaim memuat penggunaan istilah “pribumi” yang justru melestarikan warisan era kolonial yang ingin dihapus.
Sudah bukan rahasia pula jika politik Indonesia adalah politik dagang; politik yang ditelan oleh kuasa kapital dan dijalankan dengan logika dagang. Ada demand dan supply dalam transaksi-transaksi politik yang memihak pasar dalam situasi global yang digerakkan oleh liberalisasi ekonomi yang luar biasa. Dari sudut pandang hubungan internasional, politik domestik tidak mungkin dibicarakan di luar interkonektivitasnya dari rezim globalisasi ekonomi. Kemajuan pesat teknologi pula yang menjadikan batas-batas tiap kota dalam suatu negara, bukan lagi hanya batas-batas antar negara, makin melebur.
Kondisi ini sering disebut sebagai perluasan makna dari paradiplomasi (paradiplomacy), yakni aktivitas yang merujuk pada pada hubungan internasional yang dilakukan oleh institusi subnasional, regional, maupun lokal, untuk kepentingannya (Ivo Duchacek & Soldatos, 1990). Terlebih dalam kondisi otonomi daerah di Indonesia, dalam UU Pasal 37 1999 disebutkan bahwa aktor hubungan internasional dapat berupa pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara. Artinya sebuah kota pun dapat menjadi aktor hubungan internasional.
Kaitannya adalah, kita tidak dapat memandang pidato kontroversial Gubernur Anies hanya sebagai upaya strategi konsolidasi siapapun yang ia sebut sebagai “pribumi” dan peliyanan (otherization) yang lain, atau sebagai upaya konsolidasi konstituen-konstituennya, atau sebagai batu loncatan menuju 2019, melainkan pula sebagai konsolidasi kapital. Kita semua mahfum bahwa tidak ada negara di dunia ini yang dapat merealisasikan cita-cita konstitusionalnya tanpa terlibat dalam arus kapital global, entah melalui pasar saham global, bantuan moneter, dan lain-lain. Jakarta adalah barometer Indonesia, tempat di mana 70 persen arus kapital nasional berputar. Kita mahfum isu-isu apa yang diserang Anies saat kampanye Pilgub DKI. Semua berhubungan dengan arus kapital global, langsung maupun tidak.
Dari pemahaman mengenai “keharusan” untuk terlibat dalam arus kapital global, kita dapat mengerti bahwa kondisi yang stabil pada suatu bangsa menjadi syarat penting bagi keterlibatan itu. Stabilitas dapat dicapai salah satunya adalah dengan merangkul populi. Populi yang disinggung di sini merepresentasikan “mayoritas”, yang dalam konteks kita ini dikaitkan dengan “pribumi”.
Namun, politik yang dijalankan belakangan ini seolah-olah saja populis. Akan tetapi sesungguhnya populi sendiri tidak pernah mengetahui lobi-lobi di balik tindakan-tindakan politik para elit. Populi menjadi tidak berbeda dengan komoditi, yakni objek yang memiliki daya tukar untuk ditransaksikan di pasar politik. Namun demikian kekuatan populi adalah pada kuantitas (jumlah).
Berbeda dengan populasi yang menggambarkan totalitas penduduk yang mendiami suatu teritori. Namun “perbedaan epistemologis” lah yang akan membuat populi menjadi kerumunan (mob), massa, atau publik. Di sisi lain, populi acap menjelma menjadi silent majority yang misterius, yang (syukur-syukur) baru bangkit dari kubur pasifisme politiknya ketika hari pemilihan tiba.
Merangkul dan memuaskan populi merupakan cara paling realistis untuk mencapai tujuan kekuasaan. Problemnya adalah bagaimana cara melakukannya. Dalam konteks ini, mungkin kita dapat menafsirkan pidato kontroversial Gubernur Anies tersebut sebagai strategi politik yang “wajar” – jika kita familiar dengan Realpolitik Machiavellian.
Sebelum menuai kesalahpahaman lebih jauh – tuduhan bahwa Gubernur Anies adalah pemimpin yang anti-moral dan menghalalkan segala cara – ada baiknya kita membaca ulang Machiavellianisme dari sudut pandang lain.
Menafsir ulang Machiavelli: amoral atau immoral?
Machiavelli, dengan magnum opus-nya berjudul The Prince (Sang Pangeran), sering dianggap mengajarkan praktik politik yang oportunis, tidak mengindahkan moralitas, agama, dan hanya berfokus kepada bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. The Prince lantas menjadi semacam “kitab suci” politik realis (Realpolitik), sebagai antitesis bagi “politik ideal” yang tidak memisahkan etika dan politik ala Platon atau Aristoteles.
Hitler sering dianggap sebagai figur yang mampu merealisasikan visi Realpolitik Machiavellian secara efektif, sehingga pemerintahan totalitarian model Führerprinzip Hitler sering diidentikkan dengan praktik politik Machiavellian. Nyatanya Machiavelli bukan praktisi politik yang mumpuni. Ia bahkan gagal merayu keluarga Medici di Florence abad-16 agar mendapatkan kembali reputasi dan posisinya di keluarga merchant ultra-makmur tersebut, meskipun The Prince dipersembahkan sebagai dedikasi Machiavelli kepada keluarga Medici.
The Prince tentunya tidak muncul dari ruang kosong. Namun, tidak banyak yang bersedia memahami bahwa The Prince muncul dalam kondisi kompleksitas konflik politik, era peperangan tak berkesudahan di antara polis-polis di semenanjung Italia abad 16-17, kemunculan republik-republik baru, pencaplokan teritori, politisasi agama, sekularisme yang menggerogoti sendi-sendi sosio-kultural masyarakat abad pertengahan, kemunculan kelas merchant makmur yang mendominasi kehidupan sosio-politik-ekonomi, ancaman aneksasi dari negara-negara lain, dan seterusnya.
Pendek kata, chaos. Tak banyak juga yang bersedia mempertimbangkan Machiavelli sebagai seorang humanis yang muncul di era baru Eropa yang lebih bebas. Di sisi lain, di bawah bayang-bayang immoralitas politiknya, para pemikir seperti Baruch Spinoza, Denis Diderot, dan Jean-Jacques Rousseau justru meninggikan Machiavelli sebagai seorang republikan tulen. Di sisi lain pula, muncul penafsiran The Prince sebagai satire yang menunjukkan kekecewaan Machiavelli terhadap terhadap moralitas penguasa dan pemimpin agama waktu itu.
Pembacaan Machiavellianisme dari sudut pandang yang penulis tawarkan ini ada baiknya dimulai dari pembahasan mengenai dua aspek penting yang menjadi tulang punggung The Prince, yakni mengenai virtù dan fortuna. Virtù sederhananya adalah “prudence” (kehati-hatian), “prowess” (kecakapan), dan “capability” (kesanggupan) secara teknis-pragmatis untuk mengatur dan menaklukkan fortuna. Fortuna sendiri adalah daya alamiah tak terduga, kesempatan untuk dimainkan dalam percaturan kekuasaan.
Gagasan Machiavelli bahwa fortuna memberi materi untuk dibentuk oleh virtù sangat Aristotelian. Namun Machiavelli mengklaim dirinya anti-Aristotelianisme. Terkait hubungan etika dan politik, dalam realisasi eudaimonia (kehidupan yang bahagia dan bermutu), Aristoteles menekankan virtue atau keutamaan dalam dua aspek: intelektual dan moral.
Cara pandang terhadap etika secara fundamental dapat dibedakan menjadi dua: apakah keutamaan dipandang sebagai tujuan atau sarana. Manusia berkeutamaan Aristotelian adalah mereka yang menjadikan keutamaan tertinggi (keutamaan intelektual) sebagai tujuan, dengan keutamaan-keutamaan lain (keutamaan praktis) sebagai sarana meraih tujuan. Namun bagi Machiavelli, tujuan kekuasaan adalah kekuasaan itu sendiri, yakni pemenuhan hasrat untuk berkuasa.
Virtù Machiavellian bukanlah kapasitas untuk menjadi bijaksana, melainkan keutamaan instrumental atau keutamaan praktis. Virtù dalam bahasa Latin berakar dari kata vir: laki-laki, yang di dalamnya mengandung karakter ketegasan, keberanian, inisiatif, ketabahan, kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi di depan, kemampuan beradaptasi, kebengisan, dan kebesaran jiwa, bersamaan dengan élan untuk menampakkan semua kualitas itu atau virtuositas (McIntosh, 1984). Secara awam, virtuositas diartikan sebagai kelihaian dalam hal teknis, penguasaan teknis atas suatu alat sebagai sarana aktualisasi kita. Istilah ini terutama dipakai dalam bidang seni dan lebih spesifik lagi seni pertunjukan (performance art). Michaelangelo adalah virtuoso seni pahat dan lukis, Niccolò Paganini adalah virtuoso violin.
Dengan demikian Machiavelli meyakinkan bahwa virtù tidak terkait dengan transendensi maupun justifikasi moral. Dapat dipertimbangkan bahwa virtù adalah sesuatu yang amoral. Di sini kita perlu membedakan istilah amoral dan immoral. Amoral diartikan sebagai “tidak berhubungan dengan moral”, atau dengan kata lain, ekstra-moral, tidak dapat dikenai justifikasi moral. Makan, misalnya, adalah perbuatan amoral. Sedangkan immoral berarti “tidak bermoral, tidak mengindahkan kaidah moral (pertimbangan baik dan buruk). Korupsi, misalnya.
Melalui ini menurut tafsiran penulis, Machiavelli memutar balik prioritas etika Aristotelian: manusia yang berkeutamaan adalah mereka yang mampu memakai kapasitas intelektualnya untuk berkuasa, sehingga dia dapat menentukan moralitas (dalam arti standar baik dan buruk) bagi rakyatnya. Yang baik bagi rakyat adalah, meminjam frasa satire Juvenal, penyair Yunani-Romawi abad awal Masehi, panem et circenses (roti dan sirkus): kenyang dan terhibur. Sedangkan yang baik bagi penguasa adalah berkuasa. Namun dalam konteks ini Machiavelli memberikan rambu-rambu tegas. Bagi penulis ini yang terpenting, yang justru banyak diabaikan orang ketika membaca Machiavelli.
Berkuasa dan berjaya
Dalam banyak bagian di The Prince, Machiavelli menekankan pentingnya berkuasa secara total, tetapi usahakan berkuasa dengan agung dan jangan sampai dibenci atau dikutuk. Machiavelli menganggap penting bahwa pangeran semestinya tidak sekedar memperturutkan hasratnya, melainkan perlu menjaga reputasi diri dan pemerintahannya. Itulah sebabnya Machiavelli menganggap penting seorang pangeran jangan sampai dibenci rakyatnya. Berlawanan dengan pendapat umum tentang Machiavelli, penulis menafsirkan bahwa Machiavelli justru menganjurkan bahwa penguasa lebih baik dicintai daripada dibenci. Atau setidaknya, ditakuti. Dalam The Prince, hal-hal semacam ini menjadi konten yang penting (The Prince, Bab XV, XVII, XVIII, XIX, XXI).
Machiavelli tidak mengharapkan pemenuhan hasrat berkuasa secara buta. Misalnya, ia mengatakan bahwa meskipun seseorang menguasai suatu wilayah, ia “jangan agresif dan tamak terhadap harta orang atau wanita-wanita mereka” (The Prince, 1961: 102). Pemenuhan hasrat untuk berkuasa itu mudah, menurutnya. Yang sulit adalah bagaimana seseorang berkuasa namun sekaligus jaya dan agung (glorious).
Machiavelli tidak menyarankan seorang penguasa mengikuti cara Agathocles, anak tukang gerabah yang lihai bertempur dan berkuasa menjadi tiran di Sirakusa (317-289 SM). Agathocles mampu meraih kekuasaan karena kekejaman dan kebrutalannya. Namun kekuasaannya lekas runtuh akibat pengkhianatan dan ketidakmampuan menahan brutalitasnya. Ia kemudian dikenang sebagai pemimpin yang terkutuk.
Machiavelli mengatakan “tidak dapat disebut sebagai lihai dan bijak untuk membunuhi rakyat, mengkhianati teman, tidak dapat dipercaya, tak kenal belas kasihan, dan tidak religius [] …hal-hal ini dapat membuat seseorang berkuasa, namun tidak dapat menjadi penguasa yang jaya dan agung” (The Prince, 1961: 63).
Untuk itu pangeran mesti mengerti bagaimana bertindak layaknya singa dan, terutama, rubah. Machiavelli, melalui kutipannya yang paling sohor, “seorang pangeran harus cerdik seperti rubah dan bengis seperti singa”, menuntut pangeran menjadi seorang penipu dan tukang muslihat ulung (great liar and deceiver) sekaligus dapat kejam. Namun sejak politik lokal di ibukota kita sejauh ini tidak menunjukkan tendensi kekerasan dan kekejaman “fisik” (bukan kekerasan epistemik, kultural, dan sejenisnya), maka sisi “singa” Machiavellian ini dapat sedikit diabaikan.
Bagi Machiaveli, secara natural rakyat yang virtù-nya tipis mudah ditipu. Setiap penipu akan selalu menemukan orang untuk ditipu (The Prince, 1961: 100). Alexander IV menjadi contoh penipu ulung yang selalu berhasil mencapai apa yang ia inginkan. Untuk yang dilakukannya, Machiavelli mengklaim Alexander IV sebagai master in the art (The Prince, 1961: 100). Politik, dengan demikian, adalah seni menipu tanpa terlihat sebagai penipu, alias seni muslihat.
Seni muslihat sangat penting dalam rangka akuisisi dan mempertahankan kekuasaan. Pengertian muslihat sendiri, menurut KBBI adalah “daya upaya atau siasat atau taktik (untuk menjebak dan sebagainya).” Sedangkan dalam Bahasa Inggris, istilah deception memiliki makna di antaranya sebagai “tindakan menyembunyikan kebenaran yang dilakukan terutama untuk memperoleh keuntungan pribadi”, “trik atau skema (jebakan) yang digunakan untuk mendapatkan apa yang kita mau”, “kesalahan yang menyesatkan”, atau “tindakan untuk membuat orang lain menerima hal-hal yang tidak benar atau invalid sebagai benar dan valid”.
Muslihat acap diasosiasikan dengan perbuatan yang melanggar moralitas karena kandungan dusta. Tidak ada Kitab Suci manapun yang mengajarkan umatnya berdusta. Namun dalam pengertian yang lain, muslihat dapat dilepaskan dari “beban moralnya”, yakni dengan mengandaikannya sebagai strategi atau taktik dalam permainan. Namun sekali lagi, seni menipu ini ektra-moral. Seni ini mengindikasikan watak yang fleksibel (flexible disposition), terutama bagi penguasa baru yang dituntut untuk (setidaknya untuk tampil) berkeyakinan, dermawan, baik, dan religius.
Momentum Machiavellian dalam era pascakebenaran
Beragam literatur, misalnya Ralph Keyes (2004) mendefinisikan era pasca-kebenaran (post-truth era) sebagai era melebur dan memudarnya batasan antara yang benar dan yang keliru, kejujuran dan kebohongan, keaslian dan kepalsuan, kebenaran dan dusta, fiksi dan nonfiksi. Dalam konteks politik, politik pasca-kebenaran, menurut Davies (2016), mengandaikan adanya gerakan yang dipimpin oleh pemimpin populis yang memanfaatkan adanya over-suplai fakta, banyaknya sumber informasi, metode pengambilan data dengan beragam level kredibilitas, tergantung kepada pihak mana yang membiayai studi dan bagaimana sampel yang eye-catching dipilih sebagai responden. Semua diramu melalui media sosial, ranah di mana individu berhak membentuk konsumsi media mereka sendiri melalui basis opini dan prasangka pribadi.
Yang terjadi dalam era pasca-kebenaran adalah fabrikasi ketidaktahuan/ketidakpedulian (the fabrication of ignorance). Akuilah, sepanjang sejarah peradaban manusia, pernahkah politik itu tanpa muslihat?
Kerumunan dan massa adalah tipikal kuantitas dan kualitas orang yang paling mudah dimanipulasi atau dikontrol dengan cara-cara muslihat. Dalam konteks ini, tanpa bermaksud menuduhnya sebagai penipu, Gubernur Anies sedang memainkan strategi cerdas di berbagai level permainan.
Untuk level terbawah, Anies memainkan semiotika yang cerdik untuk merangkul populi. Ia sangat paham bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat moralis. Sumber moralitas terbesar bagi manusia Indonesia adalah primordialisme, dalam bentuk ikatan kesukuan, ras, agama, dan bayangan mengenai kejayaan masa lalu nenek moyangnya. Ini identitas dan simbol penting yang lezat untuk dikapitalisasi dan dikomodifikasi sebagai alat kontrol.
Rakyat adalah mereka yang kurang memiliki keutamaan-keutamaan dan akses langsung ke pusat kekuasaan. Rakyat memiliki gradasi virtù yang tipis. Mereka hanya mampu menilai dari apa yang tampak dan apa hasil yang diperoleh. Kata Machiavelli, “orang-orang biasa selalu terkesan oleh penampakan-penampakan dan hasil-hasil”, karena “umumnya orang hanya menilai dari apa yang mereka lihat daripada apa yang diusahakan, karena semua orang dalam posisi sebagai penonton, beberapa ingin mendekati penguasa”, dan “semua orang melihat tampak seperti apa dirimu, hanya sedikit yang betul-betul mengenalmu dengan dekat” (The Prince, 1961: 101).
Populi kelas menengah Jakarta bukan kategori orang-orang yang kelaparan. Mereka hanya butuh sirkus. Hiburan. Sesuatu yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan mereka, roti dan sirkus, tidak terganggu.
Di tengah masyarakat yang didominasi kelas menengah yang kenyang perutnya dan dikepung oleh kemelimpah-ruahan barang konsumsi, politik macam apa yang diperjuangkan? Menurut buku “Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat”, yang diterbitkan Sekretariat Kabinet pemerintahan SBY, selama satu dekade pemerintahannya SBY berhasil meningkatkan angka kelas menengah sebanyak 25 persen.
Mereka adalah kelompok yang mengeluarkan uang untuk konsumsi harian minimal US$2 per hari, pemilik kendaraan bermotor pribadi, penumpang pesawat terbang, pemilik telepon genggam, pemilik komputer, serta pengakses internet. Bank Dunia mencatat kelompok ini berjumlah 134 juta jiwa (data tahun 2012). Sampai detik ini jumlah ini tidak berubah banyak. Artinya kelas menengah menempati status sebagai kelompok mayoritas di Indonesia. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di level global.
Kelas menengah dianggap sebagai kuasa global sekaligus kuasa pasar karena kelas ini merupakan kelas konsumen aktif terbesar, terlepas dari apapun preferensi politik mereka. Apapun preferensi politiknya, kelas menengah akan kembali mengonsumsi komoditi yang ditawarkan di pasar. Kelas menengah yang memiliki “kuasa” semacam ini, ironisnya, justru adalah kelas yang dituduh apatis dan apolitis.
Kelas ini dituduh egosentris, hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan perjuangan kelas di bawahnya. Bagi orang-orang yang tidak pernah lapar perutnya, kelaparan adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Ketika kelas ini bicara tentang kelaparan, mungkin itu tidak lebih dari sekadar simulakrum. Ketika mereka membicarakan mengenai penggusuran, penggusuran adalah soal klik “like”, “share”, atau komentar seperlunya terhadap ketidakadilan yang dimunculkan melalui meme-meme sosial-politik di media sosial.
'Trump effect': simulakrum politik
Dalam ranah pasca-kebenaran, kita mulai familiar dengan istilah “Trump Effect”. Trump effect dalam konteks ini didefinisikan sebagai omong kosong (bullshit) yang sangat efektif dalam membentuk opini. Opini. Doxa.Bukan pengetahuan (episteme), bukan kebenaran (aletheia). Di sini kebenaran bukan menjadi soal. Yang penting apakah fabrikasi dusta yang dibungkus seolah-olah menjadi kebenaran itu laku dijual atau tidak.
Dalam masyarakat yang kurang terbiasa berpikir kritis, bermental kawanan, konservatif, dan dogmatis, tentu kondisi ketika tak ada satu pun yang dapat dipegang dan dipercaya akan menjadi momok mengerikan. Sedikit-banyak ini menjelaskan secara umum tendensi kembalinya (atau bangkitnya) konservatifisme di Indonesia karena bagaimanapun populi butuh pegangan. Anies dan Sandi mengisi celah ini dengan sempurna.
Moralitas pun menjadi semacam komoditi untuk diperdagangkan. Ada demand dan supply.Sejak logika pasar memiliki postulat akumulasi keuntungan, maka siapapun yang mampu menciptakan simulakrum bahwa ada urgensi immoralitas yang perlu diselesaikan di negeri ini akan memperoleh keuntungan terbesar. Baru-baru ini Trump memulai kebijakan untuk mendeportasi keturunan Cina Indonesia yang melarikan diri ke Amerika karena konflik Mei 1998.
Apakah ini berkaitan dengan janji dalam kampanye politiknya yang ingin mengusir imigran dan kaum muslim ataukah Trump terikat oleh janji kepada konstituen-konstituennya yang harus ia penuhi sebagai syarat dirinya menjadi politikus sejati? Ataukah kebijakan itu harus diambil untuk mempertahankan kepentingan nasional yang terancam oleh kondisi arus kapital global yang melemahkan hegemoni Amerika? Dilema yang serupa dapat kita lihat pula dalam pemerintahan Anies-Sandi yang mulai berjalan ini.
Penutup
Sebagai negara yang secara konstan disebut berada dalam “transisi menuju masyarakat demokratis”, kita tidak pernah memiliki tradisi dan nilai-nilai demokrasi yang telah teruji. Pidato kontroversial Gubernur Anies merupakan bagian dari proses dan dinamika ini. Politik adalah ranah rasional. Bios politikos (kehidupan politis), dalam tradisi Aristotelian, merupakan puncak rasionalitas manusia. Politik ideal jalur Platonis-Aristotelian hingga Rawls tidak memisahkan etika dan praktik politik sama-sama memiliki tendensi etis dengan rumusan mereka tentang “keadilan”. Politik ideal jenis ini acap dikontraskan dengan realisme politik Machiavellian.
Anies adalah aktor politik dan politik itu rasional. Karena rasional, politik dapat memanipulasi hal-hal yang sifatnya emosional dan sentimental, termasuk isu-isu ras, agama, etnis, dan seterusnya; isu-isu yang semakin didalami justru akan semakin menunjukkan bahwa kategorisasi sentimental-emosional makin tidak perlu dipersoalkan. Namun karena watak emosi itu irrasional, maka apapun yang datang dari emosi akan sulit dihadapi secara rasional. Barangkali, dalam tindakan-tindakan politiknya, boleh jadi Gubernur Anies sedang mencoba membuat definisinya sendiri tentang “keadilan”, membuat definisinya sendiri tentang “moralitas.”
Yang berbahaya bukan pidato kontroversialnya, melainkan dampaknya ke orang-orang, terutama minoritas. Dalam hal ini populi (“mayoritas”) lebih berbahaya bagi “yang lain” karena watak dan virtuositas yang tipis. Dengan demikian Anies-Sandi harus menjamin bahwa mereka harus dapat mengenyangkan perut populi dan menghibur mereka dengan sirkus untuk membuat mereka terkendali.
Bagi Machiavellian, menyenangkan populi adalah siasat politik yang cerdas untuk mengendalikan dan menstabilkannya. Sebab, di luar gemuruh yang terjadi di lapisan masyarakat, aktivitas-aktivitas transaksional di area yang tidak ternampak oleh mata awam akan terus berlangsung. Kita hanya akan tahu perut kita kenyang, meski banyak golongan yang tidak akan terhibur oleh sirkus politik ini.
Gubernur Anies sedang berusaha mengkapitalisasi populi menjadi komoditi yang laku dijual di pasar politik. Namun jika tidak waspada, beliau sendiri dapat menjadi komoditas politik – atau lebih buruk lagi, etalase politik bagi aktivitas-aktivitas transaksional di area yang tidak ternampak oleh mata awam populi. Mari kita kawal Jakarta di bawah kepemimpinan Anies-Sandi sembari terus menaikkan kesadaran kita agar tidak semata-mata menjadi golongan yang ignorant, yang termakan mentah-mentah sirkus politik ini.
*) Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Jakarta