Sabtu 28 Oct 2017 09:12 WIB

Kesejahteraan Petani Tembakau

Petani memanen daun tembakau di persawahan desa Mandisari, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (24/8).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Petani memanen daun tembakau di persawahan desa Mandisari, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (24/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusman Syaukat, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Indonesia merupakan salah satu produsen tembakau sekaligus konsumen produk olahan tembakau (rokok) terbesar di dunia. Produksi tembakau Indonesia menempati peringkat kelima terbesar dunia dengan total produksi 167 ribu ton daun tembakau pada 2015.

Dalam konsumsi rokok, Indonesia menempati peringkat keempat dunia setelah Cina, Rusia, dan Amerika Serikat, dengan tingkat konsumsi sekitar 240 miliar batang pada 2014. Tingginya konsumsi rokok telah memberikan keuntungan besar bagi perusahaan rokok dan mengantarkan pemilik-pemilik perusahaan rokok menjadi orang-orang terkaya di republik ini. Namun, bagaimana dengan kesejahteraan petani tembakau kita?

Tingginya konsumsi rokok juga menjadi pendorong utama produsen rokok meningkatkan produksinya, yang akhirnya memerlukan lebih banyak tembakau sebagai bahan baku pembuatan rokok. Namun, industri rokok Indonesia cenderung lebih memanfaatkan tembakau impor dibandingkan tembakau produksi dalam negeri sehingga importasi tembakau terus meningkat.

Sebenarnya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian memiliki kebijakan yang diarahkan pada penyeimbangan penawaran (produksi) dan permintaan (konsumsi) tembakau dalam negeri. Tetapi, kebijakan tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya. Demikian pula dengan kebijakan pengintroduksian komoditas alternatif tembakau dan diversifikasi pengolahan tembakau selain untuk rokok, sehingga pengendalian produksi tembakau semakin perlu dilakukan dengan mempertimbangkan ketiga kebijakan tersebut.

Kebijakan pengendalian produksi tembakau tidak dapat dipisahkan dari kebijakan dalam pengendalian produksi dan konsumsi rokok, mengingat permintaan tembakau merupakan permintaan turunan dari permintaan rokok. Karena itu, pengendalian produksi tembakau harus dimulai dari pengendalian produksi rokok. Pengendalian produksi tembakau dilakukan sejalan dengan pengendalian produksi rokok dan diikuti penyeimbangan antara penawaran dan permintaan tembakau.

Sehingga, tembakau domestik menjadi sumber bahan baku utama industri rokok di dalam negeri. Masalahnya, pengendalian produksi tembakau sering kali ditafsirkan masyarakat sebagai upaya “mematikan” kehidupan ekonomi petani tembakau Indonesia.

Hal ini tidak perlu terjadi karena tembakau diusahakan petani bersama-sama dengan tanaman pangan, palawija, atau hortikultura. Petani selama ini melakukan diversifikasi usaha tani sehingga tembakau tidak menjadi satu-satunya sumber pendapatan mereka.

Juga, petani telah memiliki mekanisme penyesuaian yang dinamis ketika terjadi perubahan dalam lingkungan bisnis mereka, baik akibat perubahan kebijakan pemerintah maupun kinerja ekonomi dari komoditas yang diusahakan.

Dengan demikian, pengendalian produksi tembakau akan “lebih mudah dilakukan” bila tanaman alternatif tembakau yang dikembangkan, memberikan pendapatan lebih tinggi sekaligus “perlindungan kesehatan dan lingkungan” bagi petani dan keluarganya.

Kebijakan produksi, perdagangan, dan importasi komoditas tembakau harus dirumuskan dengan baik sehingga berperan optimal dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri rokok di dalam negeri dan peningkatan kesejahteraan petani dan keluarganya.

Pencapaian tujuan ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar, tetapi harus didukung kebijakan, program, dan tindakan nyata pemerintah. Kesejahteraan petani tidak hanya diukur dengan materi, seperti tingkat pendapatan, tetapi juga diukur dengan faktor nonmateri lainnya.

Petani tembakau sering kali dihadapkan pada berbagai masalah yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri ataupun bagi masyarakat dan lingkungan di luar dirinya (eksternalitas). Onsite effects dapat berupa keracunan pestisida ketika penyemprotan tanaman, kerusakan lahan akibat penggunaan bahan kimia berdosis tinggi, serta ketidaktahanan pangan. Offsite effects lebih beragam, seperti pencemaran tanah dan air, deforestasi, perubahan iklim, juga ketidaktahanan pangan secara meluas di masyarakat.

Kedua jenis dampak itu berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan petani tembakau dan masyarakat. Karena itu, pola pengusahaan tembakau yang dapat meningkatkan manfaat dan menekan berbagai dampak negatif dari tanaman tembakau perlu terus dikembangkan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement