REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Wahyudi Indrawan, Mahasiswa Master of Economics International Islamic University Malaysia
Alkisah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah, negara telah mencapai kesejahteraan. Penaklukkan wilayah Mesir, Syam, Irak, dan Persia telah membawa banyak harta benda yang menjadikan Baitul Maal kaum Muslimin mengalami surplus. Hal tersebut mendorong khalifah Umar mengadopsi beragam inovasi pada sistem administrasi pemerintahan dan keuangan negara, khususnya yang berasal dari Persia seperti sistem diwan.
Dengan izin Allah, harta yang melimpah dan administrasi yang baik membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Negara telah mampu membuat sistem tunjangan sosial bagi seluruh rakyat. Rakyat, khususnya yang berjasa bagi negara dan agama mendapatkan tunjangan untuk penghidupan yang layak dari negara.
Akan tetapi, ada sebuah fenomena perubahan perilaku masyarakat yang menjadi dampak dari kebijakan tersebut. Sejumlah laki-laki Madinah dari kalangan Arab, yang sebelumnya merupakan pedagang di pasar Madinah pada masa sebelum pemberian tunjangan, kemudian tidak melanjutkan usaha perdagangannya karena merasa cukup dengan tunjangan negara tersebut dan memilih bersantai di masjid atau di tempat lainnya. Akhirnya, pasar Madinah pada masa itu didominasi oleh kaum bekas budak, khususnya dari Afrika.
Menyaksikan hal tersebut, Khalifah Umar merasa gusar. Beliau memerintahkan agar masyarakat tetap berdagang di pasar. Jangan sampai pasar di Madinah dikuasai oleh pedagang yang bukan orang Madinah. Selain itu, pemberian tunjangan oleh negara kepada rakyat bukanlah dimaksudkan untuk menjadikan rakyat sebagai pemalas.
Tunjangan negara adalah sebentuk apresiasi atas jasa rakyat pada masa lalu dalam perjuangan untuk menegakkan negara dan agama. Justru dengan adanya tunjangan diharapkan rakyat semakin produktif dan dapat membantu pembangunan negara. Bahkan di sini, Khalifah Umar memerintahkan agar penduduk Madinah untuk kembali ke pasar untuk menguasai pasar Madinah.
Pada masa para khalifah setelah Umar bin Khattab, seiring dengan banyaknya fitnah dan konflik di kalangan kaum Muslimin, sering terjadi masyarakat tidak mendapatkan lagi tunjangan dari Baitul Mal negara, bahkan tercekik karena pajak yang zalim. Selain itu, peran besar dari bangsa non-Arab pada pemerintahan, yakni Persia pada masa Abbasiyah, bangsa Asia Kecil pada masa Mamluk dan Turki sejak masa Seljuk hingga masa Utsmani menurunkan pamor bangsa Arab dalam kancah peradaban Islam.
Kisah di atas bukanlah kisah fiksi belaka. Kisah di atas disampaikan oleh Dr Jaribah al-Haritsi di dalam disertasi beliau yang dibukukan dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Fikih Ekonomi Umar”. Kisah yang dibawakan alumnus Universitas Ummul Quro’ di atas menjadi cerminan bahwa seyogianya pemerintah mendorong agar 'pribumi' suatu negeri menjadi aktor utama dalam perekonomian. Hal ini karena apabila suatu bangsa mampu untuk menjadi tuan di negeri sendiri, negara tersebut tidak perlu takut akan intervensi atau gejolak dari pihak asing terhadap perekonomian negara itu.
Oleh karena itu, seruan salah seorang gubernur yang baru terpilih yang mengajak 'pribumi' untuk menjadi tuan di negeri sendiri, dapat dilihat dari kacamata positif sebagai upaya dari pemimpin suatu wilayah agar rakyatnya berjuang merebut kemandirian ekonomi. Hal ini bersesuaian dengan semangat bahwa seorang pemimpin harus mengusahakan kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya.