REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Roni Tabroni*
Di tengah hembusan arus zaman yang begitu hebat, tidak banyak yang ditawarkan. Pilihannya mungkin mengikuti arus atau melawannya. Namun ada alternatif lain, mengendalikan arus. Tidak alergi dengan perkembangan zaman – karena sudah sunatullah – tetapi turut mewarnai.
Keseimbangan kehidupan manusia terjadi ketika suplai kebutuhan disantuni secara adil. Perkembangan teknologi yang menggusur manusia ke dunia yang serba cepat dan instant, telah menggerus sisi lain dimana manusia butuh berfirik dan menganalisis setiap peristiwa kehidupan dengan tenang. Kecepatan adalah segalanya; itulah yang kini menjadi dewa. Konon, akhirnya di dunia jurnalisme online muncul berbagai berita yang antah berantah karena mengabaikan sisi analisis dan akurasi.
Membagi informasi secara cepat lewat gadget kini menjadi trend yang menggejala tanpa menganalisa kebenaran dan kemanfaatan dari setiap informasi. Kecepatan ini pula yang menjadikan tergerusnya tradisi akademik di lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi, karena semua makalah, skripsi, dan karya ilmiah lainnya tinggal download. Tradisi riset menjadi sebuah kegiatan administratif yang nihil substansi. Para peneliti (katanya) lebih sibuk membuat laporan ketimbang memperdalam kualitas penelitiannya.
Celakanya, kecepatan telah menenggelamkan manusia ke arus popularitas yang menina-bobokan. Popularitas menjadi muara dari kepuasan manusia kini atas apa yang didapat dan dibaginya. Di dalamnya ada jebakan, sesuatu yang didapat secara cepat belum tentu kebenaran yang akurat. Sesuatu yang dibagikan secara cepat pula belum tentu memiliki manfaat untuk orang lain. Maka disini manusia terperangkap dalam kubangan selebrasi media yang sesungguhnya menguntungkan kaum kapitalis.
Maka tawaran yang ketiga, dimana manusia kini lebih memilih untuk mengendalikan teknologi agar karena itu lebih strategis. Dikatakan sementara, karena kita tidak ada yang tahu bahwa ke depan sesungguhnya masih ada pilihan yang penting untuk diambil ketimbang ketergantungan kepada teknologi informasi.
Kontemplasi kita akhirnya akan kembali memikirkan tentang ikon peradaban masa lalu yang telah membuktikan kemajuan bangsa-bangsa besar dunia. Sebagian orang kemudian berfikir berkali-kali untuk menggunakan cara-cara lama untuk menapaki jejak kehidupan kini. Banyak cemooh yang akan diterima, seperti sebutan jadul, kolot, kampungan, ketinggalan zaman, hingga gaptek dan tidak adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Dalam beberapa kasus, manusia kini sudah membuktikan kerinduan akan masa lalu. Dunia fesyen dan kuliner, kini telah memberikan gambaran perilaku masyarakat yang tidak lagi melulu serba modern, tetapi juga yang berbau tradisional dan masa lalu. Banyak hal kini yang kembali ke alam, termasuk tempat tinggal dan pusat-pusat jajanan.
Lalu bagaimana dengan dunia tulisan? Akankah tradisi print berakhir sampai di sini? Mungkin juga bukan zamannya lagi kita kini berdiskusi tentang perpustakaan yang harus menyediakan gedung besar dengan sederet bahan bacaan tercetak yang perlu pemeliharaan ekstra dan memakan biaya. Atau ini pula yang menyebabkan lesunya bisnis penerbitan dan kosongnya pengunjung toko-toko buku modern.
Pada kasus lain, mungkin juga perlu membicarakan tentang bagaimana dengan trend penjualan buku dan bahan litelatur jadul lainnya yang kini justru semakin berkembang. Penjualan buku-buku dan media tua semakin massif. Teknologi informasi di sini menjadi saluran, sedangkan kontennya tetap pada media tercetak bahkan semakin jadul barang itu semakin dicari.
Mungkin kita pun masih ingat ketika memperbincangkan kemungkinan media sosial menjadi pilar ke lima demokrasi. Dengan kekuatannya, media sosial telah membantu orang seperti Prita dengan gerakan koin untuk Prita. Ada pula gerakan satu juta dukungan Bibit-Chandra, pun dengan gerakan sosial Indonesia Unite yang digunakan untuk penyadaran pentingnya persatuan kita melawan terorisme. Beberapa negara di Timur Tengah, telah membuktikan media sosial yang menjadi gerakan politik sampai menumbangkan penguasa.
Namun, lagi-lagi, seiring jarum jam, semua itu tidak bertahan lama. Kini publik kesulitan untuk mencari sisi keperkasaan media sosial kembali. Bahkan justru yang terjadi munculnya konten dan trend yang bersifat destruktif yang membuat publik begitu cemas dengannya. Sepaket dengan itu, kecemasan juga melanda media cetak di Tanah Air atasnya hadirnya media online. Perbicangan tentang kematian media cetak merebak. Namun hal itu ditangkal dengan beberapa kali survei bahwa kemungkinan publik tetap bertahan di media cetak karena aspek kelengkapan dan ketatnya seleksi berita.
Akhirnya kita akan menemukan banyak ironi di tengah gelombang zaman yang terus berjalan. Sampai akhirnya berupaya menghadirkan kembali simbol peradaban masa lalu, kemudian mencari dan merindukannya. Seperti halnya trend musik berbasis online yang justru menyebabkan orang-orang kembali mencari kaset dan piringan yang beberapa saat lalu dianggap jadul dan ketinggalan zaman.
Fenomena ini pula yang kita saksikan dari munculnya gerakan literasi akhir-akhir ini. Ketika generasi milenial yang gandrung gedget, ketika kampanye paperless, ketika orang tua khawatir dengan perilaku anak yang ketagihan game online, justru di saat yang sama lahir gerakan penyadaran akan pentingnya perpustakaan. Mereka menamakan taman pustaka, ada perpustakaan desa, ada perpustakaan keliling, dan lain sebagainya.
Kehadiran digital library ternyata tidak menghentikan kampanye perpustakaan yang berbentuk fisik. Walaupun repot karena perlu ruang dan kehadiran bahan bacaan yang cukup mahal, namun kini kita menyaksikan kelompok-kelompok masyarakat yang terus menggelorakan kehadiran ruang baca bagi masyarakat umum. Ungtungnya, gerakan-gerakan ini kini lebih berbasis pada aktivisme sosial dan diprakarsai oleh komunitas-komunitas anak muda.
Kegiatan seperti ini bahkan sudah menjadi trend, sebagiannya lagi menjadi kebanggaan. Maka tidak segan-segan lagi misalnya ada jaringan cafe di Bandung yang sengaja membuka kesempatan kepada masyarakat yang akan menyumbangkan bukunya. Tempat ini juga berjejaring dengan berbagai komunitas sosial yang bergerak di dunia literasi. Kreatifitas yang sama juga terjadi di berbagai daerah lainnya. Bahkan gerakan literasi di ormas seperti Muhammadiyah misalnya, membangun jejaring gerakan literasi yang secara eksisting sudah hidup di berbagai pelosok Tanah Air.
Gerakan yang menggembirakan ini hadir dari kesadaran tanggung jawab sosial sebagai sesama pelaku peradaban, terutama untuk membekali generasi ke depan agar memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Walaupun kegiatannya berbeda-beda, namun semangatnya sama yaitu menghadirkan ruangbaca untuk memberikan peluang kepada generasi muda untuk mengakses ilmu.
Bahkan sebagiannya lagi menjadikan perpustakaan tidak lagi secara kaku sebagai tempat membaca, tetapi justru sebagai pusat belajar tentang apa saja. Maka di sini perpustakaan menjadi ruang setiap orang untuk dapat menggali dan mengasah apa saja yang dapat menjadi bekal hidupnya kelak.
Ruang baca seperti ini bahkan memberikan keleluasaan bagi para pencari ilmu untuk dijadikan aktivitas berinteraksi dengan bebas. Berbeda dengan perpustakaan dalam arti sempit yang harus serba tertutup, bahkan dilarang mengeluarkan suara.
Perpustakaan berbasis masyarakat ini menjadi penting sebab kehadirannya bisa langsung menjangkau kantung-kantung masyarakat, ketimbang gedung perpustakaan yang megah yang terkadang dibangun jauh dari penduduk. Masuknya harus banyak syaratnya, baca dan pinjam harus banyak aturan.
Walaupun mencerdaskan anak bangsa sesungguhnya kewajiban negara, tetapi patut bersyukur, bahwa masyarakat kita justru telah menunjukkan kesadarannya yang paling dalam untuk turut membantu negara dalam menyediakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar. Sebab jika masyarakatnya bodoh, infrastruktur yang dibangun menjadi sia-sia.
Semakin masifnya gerakan literasi seperti ini, sebenarnya menandakan akan lahirnya sebuah gerakan keilmuan. Ini pula yang terjadi pada masa keemasan Islam, dimana perpustakaan menjadi salah satu ikon yang penting saat itu. Negara benar-benar membangun, menggalakkan, menghidupkan dan menjamin setiap warganya yang mau menekuni dunia keilmuan ini.
Perpustakaan-perpustakaan raksasa dibangun di berbagai sudut kota. Orang-orang yang menulis dihargai dengan emas seberat karya yang ditulisnya. Orang-orang bebas berdiskusi dan mengembangkan risetnya. Sebagai ikon peradaban, kehadiran perpustakaan yang kini lebih menyebar dan meresap hingga ke pelosok, memberikan harapan baru akan kebangkitan sebuah bangsa.
Kesadaran yang dilakukan oleh masyarakat ini menandakan kemandirian yang perlu diapresiasi. Dengan tanpa harus selalu ketergantungan terhadap negara, masyarakat akan tetap dapat mengembangkan tradisi literasi ini dengan caranya masing-masing.
Tetapi, mungkin akan lebih maksimal jika negara melakukan penguatan dengan semakin memasifkan gerakan ini sekaligus mensinergikan dengan potensi-potensi yang tumbuh secara independen. Perpustakaan seperti ini bukan untuk menafikan sesuatu yang berbasis digital, tetapi kehadirannya seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan keduanya bisa saling mengisi.
*Dosen komunikasi Universitas Sangga Buana YPKP, pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah.