REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan
Saya ingin menanggapi tulisan dan pernyataan Bapak Rizal Ramli yang kali ini membahas tentang Rancangan Undang Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP).
Seperti diketahui, Penerimaan Negara Bukan Pajak telah diatur dalam Undang-Undang PNBP yaitu UU 20/1997, sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Artinya UU ini sudah ada bahkan sewaktu Pak Rizal Ramli sempat sebentar menjadi Menteri Keuangan tahun 2001.
Entah mengapa Pak Rizal Ramli tidak memahami dan mengetahui tentang UU PNBP tersebut dengan menyatakan “Dulu sebagian besar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak berasal dari Migas. Ini mau diubah jadi pungutan-pungutan di bidang pendidikan, kesehatan, public goods dll. Uang pangkal, semesteran, akreditasi, kawin, cerai dan rujuk, kesehatan dll mau kena pungutan PNBP.”
Pengenaan PNBP atas layanan pendidikan, kesehatan, dan nikah talak rujuk, pengurusan paspor, Surat Izin Mengemudi , STNK, uang berperkara di pengadilan telah ada, bahkan sebelum adanya UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Dengan UU 20/1997 tersebut, aturan dan pungutan ke masyarakat menjadi ada dasar hukumnya, menjadi transparan dan akuntabel ke publik.
UU 20/1997 mengenai PNBP mengatur penerimaan negara di luar pajak, yaitu penerimaan dari sumber daya alam (seperti bagi hasil dan atau royalti minyak gas, batubara dan tambang lain) penerimaan dividen BUMN. Juga penerimaan dari kegiatan ekonomi dan pelayanan publik atas jasa layanan yang diberikan oleh unit Pemerintahan.
Hasil dari penerimaan PNBP dikembalikan pada masyarakat untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik dan transparan, serta dimanfaatkan untuk mendukung program pembangunan (selain dari sumber penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai).
Sesuai dg ketentuan perundangan, maka pungutan pada masyarakat harus diatur oleh pemerintah, agar dapat memberikan keadilan dan kesetaraan, pemerataan pelayanan, serta sesuai dengan kemampuan masyarakat. Jadi tuduhan Pak Rizal Ramli bahwa pungutan ini adalah bentuk pemalakan kepada rakyat adalah penyesatan yang serius.
Menyatakan bahwa seolah-olah berbagai PNBP baru diberlakukan sejak Menkeu saat ini juga salah besar dan kembali menyesatkan masyarakat.
Pemerintah memahami bahwa setiap pungutan adalah beban kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah melakukan penertiban dan pengaturan agar unit pemerintahan tidak secara berlebihan melakukan pungutan kepada masyarakat, tanpa didasari evaluasi biaya pemberian jasa dan juga potensi beban yang ditanggung masyarakat. Pungutan harus dikaitkan dengan kualitas perbaikan pelayanan kepada masyarakat dan tidak untuk mencari untung.
Faktanya, pelayanan pemerintah pada masyarakat didanai bukan hanya dari PNBP, tapi juga dari sumber penerimaan perpajakan.
Dengan semangat untuk meringankan beban masyarakat, Pemerintah Jokowi menetapkan beberapa pungutan PNBP diturunkan menjadi nol (tidak ada pungutan), misalnya untuk pelayanan pendidikan tertentu, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya, serta untuk masyarakat yang tidak mampu.
Pemerintah juga sudah tidak mengenakan pungutan atas nikah talak rujuk yang dilaksanakan di KUA untuk masyarakat yg tidak mampu.
Dari penerimaan perpajakan dan PNBP juga memungkinkan pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat, pemerataan pembangunan sampai dengan di desa dan daerah perbatasan, serta program- program pembangunan untuk membantu masyarakat miskin. Tujuannya agar mereka mampu menikmati layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan dengan demikian mampu memutus siklus kemiskinan antar generasi.
Sesuai ketentuan perundang-undangan, proses penetapan besaran tarif PNBP dilakukan dengan melibatkan instansi terkait dan sesuai dg mekanisme penyusunan perundangan.