REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Heryadi Silvianto *)
Kehidupan pada dasarnya tidak hanya menampilkan peristiwa yang apa adanya, sebagaimana air mengalir dari hulu ke hilir. Matahari bersinar dari timur dan tenggelam di barat. Pun rasa air laut asin, sedangkan air sungai tawar. Namun juga kita saat ini menemukan ada banyak fenomena anomali yang berhamburan di ruang publik. Bahwa tidak semuanya bisa berlangsung secara alamiah, terlebih di kehidupan politik dan sosial kita kekinian. Apa yang kita anggap tidak mungkin menjadi mungkin, bersatu mesra meski sebelumnya pernah bersebrangan secara tajam. Itulah yang disebut dengan politik praktis, saat text book tidak bisa menjawab fakta empirik.
Semisal, ada fenomena seorang menteri yang masih berstatus aktif, namun kekinian berencana menjadi calon gubernur, padahal jabatan yang diembannya saat ini lebih tinggi dari apa yang diburu. Ironisnya, di banyak kesempatan bertemu awak media masih dalam kapasitas sebagai menteri justru lebih banyak mengomentari pencalonan dirinya, peta koalisi dan strategi kampanye yang akan ditempuh. Padahal tugas utamanya saat ini adalah fokus memberdayakan dan memberikan penguatan kepada masyarakat.
Peristiwa itu teresonansi sangat sempurna ke masyarakat dengan sangat nyaring. Wajah semu demokrasi yang sangat terpampang dengan sangat sempurna di banyak tempat. Tidak terhitung lagi berapa banyak orang yang ‘lompat pagar’ karena mengejar jabatan dan pencalonan dalam pilkada. Jika dirunut tulisan ini tak akan cukup menampung kisah “inspiratif” tersebut.
Kisah lainnya ada anggota parlemen maupun senator yang sejak dilantik hingga kini bisa dihitung dengan jari kehadirannya dalam rapat-rapat dan kegiatan kedewanan. Lebih ironis lagi dalam keabsenan tersebut di antara mereka membidani partai politik bersegmentasi milenial dan gencar menyasar isu-isu intoleransi dan korupsi.
Padahal, cermin itu tumbang langsung dihadapan mereka sendiri, retak, dan mudah buram. Tapi, realitas seperti itu, ada dan terus ‘eksisting’. Anehnya, juga isu model begitu menguap dengan sendirinya bersamaan dengan riuhnya iklim politik kita dan abainya ‘voter’ pemilih kita. Dalam mendung belum tentu hujan, di suasana cerah terlihat mendung. Bersenda gurau, namun menikam kata. Berseteru, namun bercengkrama mesra.
Ada juga pejabat yang sudah diberhentikan oleh partainya, tetap bergeming dalam posisinya hingga sekian lama. Beradu kuat dan argumentasi, dari mulai hukum hingga pengaruh. Tidak kalah dramatis, demikian juga ada pejabat yang sudah memegang posisi di lembaga tinggi negara, dipertengahan jalan justru ‘berselancar’ merebut jabatan di lembaga tinggi negara sejenis dalam satu kayuhan bersamaan menjadi ketua umum partai politik.
Hingga kini, ketiga jabatan itu direngkuh kuat. Ironisnya, sebagian besar anggota lembaga tinggi negara tersebut menjadi fungsionaris di partai yang dibesut. Padahal, lembaga tinggi negara itu dalam amanat reformasi merupakan kepanjangan tangan dari perwakilan non partai alias independen. Inilah rumitnya saat kuasa, tak mampu lagi mewadahi etika dan nilai-nilai politik yang luhur.
Di alam demokrasi yang menempatkan pendapat dan gagasan pada pososi setara (public sphere), kita juga menemukan sebuah epik seorang pimpinan lembaga tinggi Negara hasil pemilihan publik justru gampang ‘baper’ karena meme atau gambar rekayasa yang dibuat oleh orang lain. Ruang publik kemudian dibiarkan terheran, tertawa, dan cemas karena kuasa pribadi kini sedang membuat puluhan akun maupun orang dihadapkan pada penegak hukum. Sempurnanya skenario tersebut, para punggawa hukum pun menetapkan tersangka bagi sebagiannya.
Ada lagi cerita lain, seorang pejabat tinggi negara ‘ultra baper’ mempersonalisasi sebuah kegiatan yang hendak dilakukan di lingkungan dirinya tinggal sebagai sebuah ancaman laten dan berbahaya bagi negara. Bisa dibayangkan, sebuah festival kebudayaan di ‘kampung kecil’ yang hendak dilakukan oleh pemilik kampung, digagalkan karena selera yang tidak sejalan. Puluhan aparat turun membubarkan lengkap dengan akomodasi yang dimiliki. Padahal, acara tersebut sudah berizin dan siap digelar.
Epik lain, ada seorang pejabat mengunggah sebuah angka-angka statistik mengenai berapa kali atasannya menggunakan pakaian bercorak terang dan gelap dalam tiga tahun terakhir. Tercatat rapi, ditampilkan dalam grafik menarik dan analisis yang tajam. Pertanyaannya awam tentu sangat sederhana, apakah postingan itu relevan dengan tugas dan fungsi pejabat tersebut? Entahlah, namun demikian peristiwa itu nyata adanya.
Kita juga menyaksikan ada mantan pejabat yang tidak hadir dalam sebuah acara pelantikan yang secara ‘langsung’ menyangkut dirinya karena alasan ingin liburan, padahal peristiwa itu menyangkut dirinya dan hajat hidup hampir 9 juta orang lainnya disebuah kota. Ini masalah sederhana, namun dalam ruang publik. Masalah ini sejatinya bukan pada apa yang dia lakukan dan statusnya saat ini, namun pentingnya seorang pejabat publik mengirimkan sebuah pesan ‘rekonsiliasi’ dan ‘kompetisi’ sudah usai kepada publik, sudah saatnya merajut usaha sinergis yang lebih konkrit.
Ruang publik akhir-akhir ini terlampau banyak disuguhkan peristiwa yang aneh, tapi nyata. Yang tidak seharusnya, justru menjadi fakta baru di tengah-tengah masyarakat. Diteliti dan dianalisa berulang kali, hingga pada akhirnya menemukan jalan buntu pada kesimpulan. Karena demokrasi yang kita harapkan tidak hanya memberikan contoh baik, ternyata juga membawa dampak buruk bawaan. Kebaperan kolektif dan hilangnya rasa malu.
Cukuplah, saatnya berubah
Perilaku antimalu yang terpapar di atas sudah sepantasnya setiap kita berikhtiar menghindarinya, meski dalam sejarah manusia usaha–usaha untuk mencapai kondisi ideal pastilah akan menemukan jalan terjal dan onak duri. Namun, wajah anti mainstream tentulah perlu terus didengungkan dan tak boleh disuarakan, baik oleh generasi milenial maupun ‘kolonial’. Karena kebaikan tak mengenal usia maupun tempat berlabuh.
Ajaran agama mengajarkan bahwa malu adalah sebagian dari pada ciri orang beriman, pun sifat tersebut menisbatkan rasa berserah diri kepada Tuhan pemilik semesta. Bahwa perburuan yang selama ini sedang dilakukan oleh aktor-aktor tersebut pada akhirnya hanya akan berakhir di peraduan sepi di ruang sempit. Disaat itu tak ada lagi riuh rendah sorak sorai atau pujian selangit, hanya dirinya dan apa yang akan dipertanggungjawabkan.
*) Peneliti di Institute for Social Law and Humanity Studies (ISLAH)