REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin*
Dulu, barangkali hampir semua warga Indonesia ketika disebut angka 212 akan teringat dengan Wiro Sableng. Akan tetapi, 2 Desember 2016 mengubah segalanya.
Setelah sebelumnya turun ke jalan pada tanggal 4 November 2016, tujuh juta umat Islam (menurut sebagian klaim) berunjuk rasa besar besaran di Bundaran HI menuntut gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahja Purnama untuk diproses hukum atas dugaan penistaan agama. Hampir setahun sudah berlalu, dan angka 212 memiliki makna baru yang terasosiasi dengan Aksi Bela Islam (ABI).
Antara serius dan kelakar, ada yang bahkan mewacanakan 2 Desember menjadi hari kesaktian Pancasila yang baru. Bagaimana tidak? Tanggal 1 Oktober menjadi hari kesaktian Pancasila dengan konteks pasca-G30S PKI. Tapi sekarang wacana-wacana mulai beredar untuk mempertanyakan kembali apakah betul PKI dan komunisme adalah bertentangan dengan Pancasila. Kini dalam rangkaian kasus penistaan agama, larangan memilih pemimpin non-Muslim, pembubaran ormas tanpa melalui pengadilan, barangkali inilah ujian terbesar kepada Pancasila.
Prof Henning Glaser dari Thammasat University mengatakan bahwa Pancasila sangatlah unik. Menurutnya, Pancasila bisa menyatukan bangsa Indonesia karena ia merupakan semacam ‘wadah kosong’ yang dapat diisi apa saja. Barangkali beliau memang betul, karena dari awal berdirinya Indonesia saja ada banyak konsep Pancasila yang berbeda dari Sukarno, Natsir, bahkan Aidit. Akan tetapi, kita boleh bertanya juga: apakah ‘wadah kosong’ ini betul merupakan pemersatu? Ataukah ini justru akan membuat bingung?
Misalnya saja, selama ABI dan pemilihan gubernur DKI Jakarta, sebagian kalangan berteriak bahwa ‘tidak boleh menunggangi isu agama untuk kepentingan politik’. Mungkin membingungkan dan menimbulkan pertanyaan, mengapa ketika para kandidat pilgub mulai menjual janji-janji dalam hal ekonomi dan kesejahteraan, malah tidak ada yang berteriak ‘tidak boleh menunggangi isu ekonomi dan kesejahteraan untuk kepentingan politik’.
Padahal alasannya jelas, karena suara tadi adalah berdasarkan konsep manusia menurut August Comte. Comte mengatakan bahwa manusia yang paling maju adalah mereka yang berpikir positivis, yaitu berdasarkan hal-hal konkrit materialistis. Di sisi lain, manusia yang masih berpikir dengan menggunakan agamanya adalah manusia yang paling primitif. Perdebatan filosofis tentang kebenaran konsep ini bisa panjang. Tapi apakah pola pikir ini sesuai dengan Pancasila, yang menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama?
Masih bingung kita memikirkan jawabannya, ternyata kita dapati orang-orang yang sama malah mulai berteriak “Aku Pancasila” dalam isu lain yaitu soal Perppu Ormas. Rasanya ada yang agak janggal?
Dua sisi perdebatan pada kasus penistaan agama pun menyitir Pancasila, dengan pertanyaan utama yang besar: apakah menista agama adalah bersesuaian dengan Pancasila? Sebagian kalangan berpendapat bahwa jelas tidak, hingga Mahkamah Konstitusi dulu pernah menolak membatalkan Pasal Penistaan Agama dan kini Pengadilan Negeri Jakarta Utara memberi vonis 2 tahun pada gubernur Basuki.
Sebagian kalangan lainnya tampaknya berpendapat bahwa Pancasila membutuhkan masyarakat yang bebas menista agama lain. Memang tampak tendensius pernyataan ini, tapi barangkali Pasal Penistaan Agama memang membutuhkan kajian lebih lanjut. Di luar perdebatan dalam masalah kebebasan berekspresi, yang tentu ada batasnya menurut konstitusi. Banyak pihak mengkhawatirkan perumusan pasal yang kurang jelas, dan barangkali kekhawatiran itu ada benarnya.
Pancasila kembali diuji ketika gubernur DKI terpilih Anies Baswedan menggunakan kata ‘Pribumi’ dalam pidato pertamanya. Sebagian kalangan menuding bahwa Anies bersifat diskriminatif, rasis, dan bertentangan dengan 'kebinekaan'. Kalangan ini menarik sekali sebetulnya. Sebelumnya, kalangan yang sama pernah mendukung seorang pejabat publik yang terkenal dengan kekasaran lisannya dengan dalih bahwa toh kerjanya bagus. Padahal ‘beradab’ adalah konsep kemanusiaan menurut Sila Kedua, dan karakteristik pemimpin adalah ‘hikmat kebijaksanaan’ menurut Sila Keempat.
Tiba-tiba kalangan ini berubah pikiran seketika saat calon gubernur yang tidak mereka sukai menggunakan kata yang ‘tidak pantas’. Anies tidak mendapatkan kesempatan untuk dilihat dulu kinerjanya, ataupun prasangka baik sebagaimana yang didapatkan oleh Megawati Soekarnoputri dan Susi Pudjiastuti yang tidak terlalu lama sebelumnya juga menggunakan istilah ‘pribumi’.
Kalangan ini pun bingung dan tidak melihat konteks penggunaan kata ‘pribumi’ dalam pidato Anies secara keseluruhan, yang jelas tidak berbicara masalah rasial. Padahal, sebelumnya kalangan yang sama mengkritik kriminalisasi penistaan agama karena harusnya peserta ABI memperhatikan konteks.
Kritik ini memang betul, karena perlu diingat sekali bahwa ucapan kontroversial gubernur Basuki terjadi sedang melakukan penyuluhan budidaya ikan di Kepulauan Seribu. Beda dengan Anies Baswedan yang tidak ingin rakyat Indonesia ekonominya didominasi oleh asing.
Pancasila kembali diuji ketika datang Perppu Ormas yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR. Saat itu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi korban pertama. Membingungkan sekali bagaimana naratif dibangun, yaitu bahwa diperlukan sebuah hukum untuk melarang ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Padahal, larangan ormas bertentangan dengan Pancasila sudah ada di UU Ormas yang lama.
Yang berbeda adalah bahwa pembubaran ormas kini tidak lagi melalui mekanisme pengadilan. Ironis dan membingungkan sekali bahwa kalangan pendukung kebijakan inilah yang dulu menolak kriminalisasi penistaan agama terhadap gubernur Basuki dengan dalih Hak Asasi Manusia. Kini, mereka ganti mengangkangi HAM dengan menihilkan peran peradilan dalam membatasi hak berserikat yang merupakan hak konstitusional.
HTI pun tentu bingung dengan tuduhan anti-Pancasila ini. Dari dulu mereka selalu mengadvokasi sistem negara baru (yaitu kekhilafahan), dan konsisten pula taat pada hukum Indonesia selama sistem baru tersebut belum terlaksana. Dengan segala keajaiban pemikiran mereka, HTI selalu konsisten dari awal dan dengan pemikiran tersebut mereka mendapatkan izin berdiri. Betapa bingungnya HTI ketika rencana pemerintah membubarkan mereka diumumkan oleh seseorang yang dulu pernah hadir dan memberi sambutan di acara HTI.
Apakah memang Pancasila adalah membingungkan? Ataukah kita saja yang bingung?
Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 54 tahun 2017 membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Berbeda dengan Pancasila model era orde baru dulu, UKP-PIP merangkul pihak-pihak dari berbagai kalangan dan aliran pemikiran. Tentu saja mudah menyebut beberapa kelompok pemikiran yang tidak terrepresentasikan dalam tim tersebut, tapi tentu ini merupakan kemajuan dan bolehjadi merupakan upaya yang baik.
Akan kita lihat bagaimana hasil dari tim ini, bagaimana perumusan Pancasila yang akan dihasilkan. Apakah UKP-PIP bisa memberi titik terang pada kebingungan kita dalam memaknai Pancasila? Apakah ia bisa membentuk konsep Pancasila yang konkrit dan benar-benar dapat mengakomodasi ke-‘bineka’-an dan ke-‘tunggal ika’-an secara seimbang?
Ataukah akan dihasilkan Pancasila bernapas diktator sebagaimana P4 orde lama yang hanya dikemas lebih cantik saja (atau 'ganteng', karena dominan diisi pria)? Mari kita lihat dan amati perkembangannya.
*Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada