REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Heryadi Silvianto *)
Istilah pernikahan politik dan politik pernikahan sejatinya serupa, namun tak sama. Jika menggunakan kaidah pendefinisian, pernikahan politik didasarkan sebagai sebuah proses terjalinnya akad ikatan kekeluargaan antara dua aktor politik, disadasarkan atas kepentingan politik dan bertujuan politik. Ada banyak tokoh politik yang menikahkan dengan politisi yang lain, baik sebagai subjek maupun objek. Semisal ketua partai menikahkan putrinya dengan ketua partai lain. Bisa sangat mungkin atas dasar itu terjadi konsolidasi politik. Sedangkan pernikahan politik, bisa saja didefinisikan sebagai aktivitas pernikahan yang di bernilai politik atau di politisasi.
Sejatinya pernikahan politik sudah ada sejak dahulu, terlebih jaman kerajaan. Putri dipersunting pangeran, raja meminang ratu dan seterusnya. Setelah simpul itu berhimpun, kerjaan bubar sisanya masih ada. Bersama lahirnya demokrasi maka munculah namanya dinasti politik. Penulis tidak akan membahas dinasti politik dan sistem politik, karena cita rasanya pasti alur politik genetik. Dalam kesempatan ini, penulis ingin memberikan pandangan pada pola relasi antar aktor dalam perspektif komunikasi politik.
Tepat tanggal 6 November 2017 puteri satu-satunya Presiden Jokowi Kahiyang Ayu menikah dengan pujaan hatinya, seorang pria batak Bobby Afif bermarga Nasution. Ikatan mulia dari dua latar belakang yang berbeda, cukup mewakili bahwa misteri jodoh adalah kehendak Tuhan. Kita tidak pernah tau siapa dan dengan cara apa jodoh akan datang. Begitulah adanya. Publik ikut mengamati, terlebih sorot mata kamera, goresan tinta jurnalis dan suara penyiar radio riuh memberitakan pernikahan tersebut sejak awal hingga akhir.
Tentu saja, tasbihnya karena yang menikah adalah putri presiden RI ke 7. Disiarkan secara langsung para reporter berlomba menggunakan baju kebaya dan beskap. Macam motifnya, ragam jenisnya. Kita sadari pernikahan yang ‘termediasi’ seperti ini bukan yang pertama, sebelumnya ada Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan dua anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Annisa Pohan di Istana Bogor dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dengan Siti Ruby Aliya Rajasa (Aliya) Rajasa di Istana Cipanas.
Lazimnya sebuah pernikahan, tentu ada pesta dan dihadiri undangan. Pun demikian dengan pernikahan Kahiyang dan Bobby. Luar biasanya pernikahan ini, Jokowi juga mengikutsertakan para relawan yang jumlahnya ribuan. Relawan yang memenangkan dan menjadi tim sukses Jokowi. Tidak ada definisi lain, hanya itu.
Terkait jumlah ada banyak versi; empat ribu, enam ribu hingga delapan ribu. Jumlah yang sangat besar untuk urusan pernikahan seorang putri presiden. Mereka datang tidak hanya dari seluruh Indonesia, namun juga dari luar negeri. Jokowi mengaku acara kali ini lebih merepotkan ketimbang ketika menikahkan sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Hal ihwal keterlibatan ribuan relawan sebagai panitia ataupun undangan karena memang secara khusus di hadirkan oleh Jokowi. Dititik inilah kita menyadari bahwa pernikahan tersebut bukan sekedar sebuah prosesi sakral biasa, namun juga kegiatan politik. Mau tidak mau, senang maupun tidak. Atas dasar itu, setidaknya Jokowi sedang mengirimkan beberapa pesan kepada publik dan mungkin secara khusus kepada aktor politik lainnya bahwa mantan Gubernur DKI itu pandai merawat relawan yang selama kampanye pilpres 2014 memenangkannya. Setidaknya, pernikahan kahiyang menjadi rangkaian timeline pertemuan tahunan Jokowi dengan relawan yang rutin setiap tahun. Tidak salah dan bukan pekerjaan mudah, komunikasi politik memang demikian adanya.
Hadirnya relawan ternyata menegaskan bahwa segregasi politik bukan hanya tumbuh secara alamiah, namun diciptakan dan tetap dipelihara pasca pilpres 2014. Dibuktikan dengan undangan ditujukan untuk relawan pemenangan pilpres, bukan relawan kepanitian pernikahan. Sehingga, narasi bahwa ini sebagai ‘politik pernikahan’ tentu harus diakomodir sebagai sebuah diskursus publik. Disisi lain, hadirnya relawan juga menandakan sebagai ‘simbol’ unjuk kekuatan (show of force) atau tests the water dua tahun jelang pemilu 2019. Salah satu media bahkan dalam judul beritanya menulis sebagai momentum konsolidasi.
Mengapa kehadiran relawan dibutuhkan? Secara sederhana bisa diartikan sebagai bentuk ‘kanalisasi’ apresiasi Jokowi terhadap peran serta relawan selama ini yang telah mendukungnya, bahkan membelanya dalam menghadapi berbagai kritik dari lawan-lawan politiknya. Kanal yang lain sejumlah relawan diganjar menjadi komisaris dan juga jabatan strategis lainnya di Pemerintahan. Jika mau masuk ke analisis yang lebih dalam, tentu saja karena Jokowi dipastikan akan kembali maju menjadi calon Presiden di tahun 2019. Karenanya keberadaan relawan sebagai modal sosial harus terus bertranformasi menjadi modal politik berharga yang di rawat terus maupun di ruwat secara telaten.
Aspek lain dari kehadiran relawan dibutuhkan sebagai--community mediated--yakni agen getok tular (word of mouth) yang sangat efektif bagi publik. Bisa dibayangkan berapa banyak sharing swafoto, tulisan dan crowd yang akan dihasilkan dari hadirnya ribuan relawan di dalam pernikahan tersebut. Belum lagi mereka yang tidak datang, pastilah tidak kalah ramai di lini masa. Beragam tagar / hastag dibuat, namun intinya tetap pada satu titik acara tersebut. Acara pernikahan tersebut memiliki nilai--instagramble--yang luar biasa. Efek dari proses mediasi ini tidak akan mereda, karena selepas acara tersebut akan muncul vlg, tulisan, cerita dan beragam. Sekali lagi, ini merupakan sebuah mekanisme yang sangat ampuh membesut perhatian publik.
Politik pernikahan yang apa adanya
Dari pernikahan ini kita berhadap kedua pasangan menjalani mahligai keluarga yang dipenuhi dengan kesakinahan, mawadah dan warahmah. Adapun moment politik yang sempat menghampirinya sebagai sebuah pesta yang harus segera usai, karena pekerjaan sesungguhnya dari kerelawanan adalah kemampuan memberi tanpa harus menerima, perwujudan tanpa minta diakui. Kita harus menempatkan semua moment politik pada pertanggungjawaban kepada publik, bukan sekedar tontonan yang berjarak dengan masyarakat. Sebagaimana sinetron yang menampilkan kemewahan, namun dinikmati oleh jutaan masyarakat yang masih terpapar ketidakberdayaan.
Tulisan hingga detik terakhir mencoba berikhtiar menempatkan diri dalam standard wacana publik, bukan sekedar persepsi orang per orang yang bisa jadi terjebak kepada benci dan rindu. Agar pada akhirnya sebuah pernikahan harus menjadi inspirasi bagi publik tentang pertemuan keberkahan, proses membangun peradaban dan mengikat tali silaturahim yang sempat terputus. Inilah tempat oase rekonsiliasi harus terus didengungkan, sebagaimana dahulu pernikahan oleh para raja selain meneguhkan dominasi juga mendamaikan konflik. Wallahualam
*) Peneliti di Institute for Social Law and Humanity Studies (ISLAH)