REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erik Hadi Saputra*
Suatu kali, Gus Mus bercerita tentang sebuah rombongan yang terpaksa berhenti istirahat pada sebuah perjalanan dan mendirikan kemah. Dari semuanya, hanya ada seorang anggota rombongan, sebut saja namanya Joha, yang tidak ikut sibuk dengan alasan sangat lelah dan ingin beristirahat sebentar.
Setelah kemah berdiri, mulailah mereka membagi kerja mempersiapkan keperluan mereka untuk minum dan makan. Ketika Joha diminta untuk mencari kayu buat api unggun dan memasak, Joha menolak. “Jangan saya yang disuruh ke hutan mencari kayu. Saya paling takut dengan ular," kata dia beralasan.
Kemudian, salah seorang kawannya menyuruh dia mengambil air sungai. Namun, lagi-lagi Joha memiliki alasan. "Wah sungainya begitu deras, sedang saya tidak bisa berenang. Bagaimana nanti kalau saya terjatuh?".
Saat diminta membikin adonan roti, Joha beralasan tak pandai mengolah tepung. "Nanti adonannya terlalu keras atau lembek; malah tidak enak kita makan," kata Joha. Begitu juga saat diminta membikin minuman, Joha mengaku seumur hidup belum pernah membuat minuman sendiri.
Begitu juga saat ia diminta menyembelih kambing. "Ini yang tidak mungkin saya lakukan. Saya paling tidak tahan melihat darah mengalir," katanya.
Begitulah setiap kali diserahi suatu tugas, Joha selalu menolak dengan berbagai alasan. Sampai akhirnya makanan dan minuman siap dihidangkan. Seseorang pun memberitahu dan mengajak Joha makan bersama.
Saat diajak makan, Joha dengan secepat kilat bangkit dan menyanggupi ajakan tersebut. “Baiklah. Saya kok tidak enak sendiri. Saya jadi segan. Masak dari tadi kok menolak terus. Sekarang saya tidak boleh menolak lagi. Ayo mari kita makan!" katanya.
Pembaca yang kreatif, menjadi suatu kebahagiaan ketika sesorang dengan rendah hati mau mengalahkan ego pribadinya. Ia berpikir bukan hanya untuk dirinya semata namun juga berpikir bagaimana orang lain bahagia dengan adanya dirinya. Di tangan seorang ahli, sebuah benda yang cacat bisa jadi lebih indah dengan memberikan nilai tambah pada apa yang dia kerjakan, apalagi mengerjakan dengan tulus agar orang lain bahagia.
Pada film Animasi Indonesia Battle of Surabaya, kita bisa belajar dari tokoh Musa, seorang Remaja penyemir sepatu yang hanya ingin makan. Pada mulanya Musa hanya punya satu keinginan yaitu keluarganya tidak kelaparan.
Namun semua ego pribadi Musa yang hanya ingin makan itu menjadi berubah ketika dia diminta menjadi kurir yang mengantarkan surat kepada pejuang. Dengan ragu, Musa akhirnya mengambil peran itu. Ego pribadi Musa mulai berubah, bukan lagi soal pribadi dan keluarga namun sudah pada untuk bangsa (negara).
Ego Musa berubah setelah sang ibu, yang terkena reruntuhan rumah yang dibom musuh, sebelum meninggal dunia, berpesan bahwa tidak ada kemenangan dalam perang. Pada saat itu, Musa berpikir bahwa ini bukan lagi urusan pribadi, keluarga, dan bangsa namun sudah pada perdamaian dunia. Berpikir pada yang lebih luas serta memberikan manfaat untuk semua.
Pembaca yang kreatif, ini adalah waktu berpikir bahwa kita ada tidak hanya untuk satu blok perumahan, satu komunitas, atau untuk orang-orang satu suku, satu pulau, dan satu organisasi dengan kita. Namun kita harus mulai berpikir untuk nusantara. Kalau ego sudah untuk negara, maka Indonesia jawabannya. Selamat Hari Pahlawan, sehat dan sukses selalu.
* Kaprodi S1 Ilmu Komunikasi dan Direktur Kehumasan & Urusan Internasional, Universitas AMIKOM Yogyakarta