REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Sulton Fatoni *)
Upaya koloni baru Belanda pascakemerdekaan Indonesia 1945 mendapatkan tantangan keras. Dua tokoh bangsa, Bung Karno dan KH Hasyim Asyari mengatur strategi. Mula-mula Bung Karno mengirim utusan menjumpai KH Hasyim Asyari untuk minta pendapat hukum mempertahankan kemerdekaan. Gayung bersambut, KH Hasyim Asyari mengonsolidir para kiai untuk merespons Bung Karno. Maka keluarlah Fatwa Jihad pada tanggal 17 September 1945. Isinya, setiap individu harus mempertahankan kemerdekaan dan konsekuensi berat bagi yang mencederai kemerdekaan Indonesia.
Manusia punya naluri rasa takut terhadap kematian (Lester-Spoerri, 1992). Namun Fatwa Jihad berhasil membalikkan rasa takut atas kematian itu menjadi rasa perjalanan jiwa menuju Tuhan. Konsolidasi massal umat Islam terjadi secara cepat. Aksi heroik santri dan masyarakat dipimpin para kiai merebak dimana-mana. Laskar-laskar yang tumbuh di pondok-pondok pesantren keluar sarangnya melakukan aksi perlawanan. Suhu perlawanan pun terbentuk dan tidak ada yang bisa mengendalikan heroisme massal kecuali para kiai.
Pada situasi ini KH Hasyim Asyari dan Bung Karno kembali berstrategi. Mula-mula KH Hasyim Asyari menggelar Rapat Besar Konsul-Konsul Nahdlatul Ulama se Jawa dan Madura pada tanggal 21—22 Oktober 1945 di Surabaya. Di antara yang hadir adalah KH Kamil Sholeh (Sumatera Selatan), KH Romli (Makassar), Abdul Qodir Hasan (Banjarmasin), KH. Faishal (Lombok Tengah), KH Abdurrahman (Pandeglang), KH Abdul Hamid (Bogor), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Abbas (Buntet Cirebon), KH. Amin (Babakan Cirebon), KH Ridwan (Semarang), KH Maksum (Lasem), KH. KH Asnawi (Kudus), KH Mahfudh Shiddiq (Jember), KH Usman (Cepu) dan lainnya.
Hasilnya, KH Hasyim Asyari mengirim surat resmi yang populer dengan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Substansi Resolusi Jihad adalah penegasan bahwa NICA dan Jepang sebagai kelompok kriminal yang sering mengganggu ketenteraman umum. Disamping itu aksi perlawanan rakyat mempertahankan kemerdekaan tidak terbendung. Karena itu Pemerintah Pusat harus cepat mengambil sikap dan langkah tegas. Tak membutuhkan waktu lama, Bung Karno merespons Resolusi Jihad dengan keputusannya bahwa persoalan lokal diserahkan kepada tokoh-tokoh lokal. Bung Karno seolah-olah berbisik secara batin, “Kiai Hasyim, sikat!
Maka, meledaklah pertempuran sengit di Surabaya yang dipelopori Laskar Sabilillah yang berisi para kiai dan Laskar Hizbullah yang terdiri dari para santri. Eskalasi pertempuran meninggi memasuki tanggal 30 Oktober 1945, tujuh hari pasca Resolusi Jihad atau empat puluh lima hari pasca Fatwa Jihad. Aksi moral dan perlawanan yang diinisiasi para kiai ini dalam perspektif Radcliffe-Brown (1952) merupakan wujud fungsi sosial kiai dalam membentuk dan mempertahankan tatanan Indonesia Merdeka.
Saat Jenderal AWS Mallaby, pimpinan tentara Inggris tewas saat baku tembak di Jembatan Merah Surabaya, eskalasi pertempuran makin sengit. Ultimatum kelompok kolonial tidak digubris. Pertempuran lebih besar pun pecah pada 9 November 1945. Saat itu, Surabaya dikepung dari berbagai penjuru, mulai darat, laut, hingga udara. Pertempuran ini lebih besar dari pertempuran Normandia dalam operasi Cobra antara Pasukan Hitler melawan pasukan sekutu pada 1944. Sebanyak 160 ribu pejuang gugur (Sam Abede Pareno, 2011).
KH Hasyim Asyari dan para kiai kembali mengatur strategi. Melalui Muktamar Nahdlatul Ulama di Purwokerto pada 26—29 Maret 1946, para kiai memutuskan tiga strategi mempertahankan kemerdekaan, yaitu: berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fadlu ‘ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak, bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh); Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang tjoekoep kalau dikerjakan sebagian sadja); Apabila kekoeatan dalam no. 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh maka orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran 94 Km. wajib berperang djoega membantoe no. 1 sehingga moesoeh kalah; Kaki tangan moesoeh adalah pemetjah keboelatan tekad dan kehendak ra’jat dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam sabda chadits, riwajat Moeslim (doc PBNU, 1946).
Inilah konsep Perang Rakyat Semesta, perlawanan intifadah dengan memperluas wilayah pertempuran untuk membela Tanah Air (Said Aqil Siroj, 2015). Untuk Pahlawanku, lahul fatihah.
*) Dosen Sosiologi unusia.ac.id