REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin*
Sedang ramai di jagat dunia persilatan tentang beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang dituding terlalu bias SARA. Katanya, dalam interview banyak sekali disinggung isu isu SARA. Bahkan ada yang menuding bahwa sebelum era Presiden Joko Widodo, aura bias PKS-nya kental sekali dan tidak ada satupun penerima beasiswa LPDP yang non-Muslim. "Indonesia overload agama," katanya.
Sebagai penerima beasiswa LPDP untuk magister pada tahun 2013, dan lanjut doktoral pada tahun 2016, ada beberapa hal yang bisa saya bagi terkait masalah ini.
Pribadi, saya agak geli jika kini dikatakan LPDP ada bias agama ketika belum lama kami protes akibat dicoretnya semua perguruan tinggi Islam dari daftar universitas tujuan LPDP tahun 2017. Apalagi dari tahun 2013 pun, dari ratusan penerima beasiswa yang saya kenal ada begitu banyak yang Nasrani tapi hanya satu saja yang terafiliasi PKS. Itu pun apolitik.
Permasalahan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan ini menjadi hal yang tabu dibicarakan padahal jelas berpengaruh. Barangkali betul kata David Hume, banyak yang bingung membedakan antara "what is" dan "what ought to be". Diskriminasi berdasarkan SARA memang tidak betul. Tentunya kita bersyukur beasiswa afirmasi untuk daerah tertinggal tidak digolongkan sebagai diskriminasi, walaupun konsekuensinya mungkin beberapa etnis minoritas jadi justru mendapat preferensi.
Kalaupun betul tudingan bahwa Indonesia sedang overload agama, nampaknya juga overload anti-agama. Sebagaimana kata KH Ma'ruf Amin, ada ekstrimisme dalam agama dan juga dalam sekularisme. Tentu sebagai bangsa Pancasila hal tersebut tidak kita inginkan.
Beberapa bulan lalu, seorang mantan mahasiswa saya yang menjadi penerima beasiswa LPDP menulis hal yang menarik. Ia menyebutkan bahwa LPDP mengamanahi kami (penerima beasiswa) untuk belajar di luar negeri dan mengamalkan ilmunya di tanah air. Lalu ia berkata, "Apakah tanah air siap menerima apa yang kami bawa?"
Pertanyaan ini dilontarkan di tengah-tengah kondisi tegang pilgub DKI Jakarta yang oleh sebagian pihak dituding bermuatan SARA. Memang, tidak bisa disangkal bahwa ada muatan agama dalam pilgub DKI. Memangnya kenapa itu salah?
Pertanyaan mantan mahasiswa saya tadi membawa saya pada perenungan yang mendalam. Memang seorang guru pun terkadang harus belajar pada (mantan) muridnya. Saya pernah menulis di Republika Online berjudul "Ekstremisme Islam pada Pilkada DKI". Intinya pada tulisan tersebut saya menolak pendapat bahwa memilih dengan alasan agama adalah pemikiran ekstrem dan bertentangan dengan HAM.
Tapi, tentunya ada framework pemikiran yang tidak sepaham antara dunia sekuler yang sarat desakralisasi agama. Framework yang melahirkan banyak konsep-konsep turunan ini tentu tidak punya tempat di Indonesia, apalagi ketika "aku Pancasila" sedang populer-populernya sekarang.
Jadi, ketika saya ditanya, "Apakah apakah tanah air siap menerima apa yang kami bawa?", saya sebagai penerima beasiswa LPDP terbersit pertanyaan evaluatif untuk diri sendiri: "Apakah saya bisa memahami, apa yang tanah air saya butuhkan?"
Inilah salah satu tujuan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada SARA. Bangsa ini punya banyak PR, tapi banyak pemikiran yang tempatnya bukan di sini. Apalagi, selain sekulerisme, kadang ada inferiority complex sehingga terpukau dengan apapun yang berbau bule. Dari sinilah mungkin dipikirnya semua values dari luar asyik saja dituang ke Indonesia.
Karena itulah terkadang penting untuk menanyakan hal-hal seperti ini. Terkadang pula kasusnya tidak seperti itu. Pengalaman saya pribadi, saat tes wawancara, seorang profesor sepuh langsung bertanya pada saya: "mas, kenapa kamu gendut?"
Alhamdulillah, saya bukan termasuk kalangan yang kontan menghina Anies Baswedan karena kata "pribumi" belum lama ini. Saya paham beliau bukan bermaksud body shaming. Dalam wawancara itu, mungkin ada 10 menit sendiri beliau menceramahi saya, "Tahu kan penyakitnya orang gendut? Gimana kalau kamu sakit di negeri orang?" Walaupun dalam hati saya bergumam "saya ke UK Prof, Universal Health Care", tapi saya paham betul bahwa beliau tidak menceramahi saya melainkan karena sayang.
Bukan hanya masalah perut saja yang menjadi kekhawatiran sebagian interviewer. Tahun 2013-2014 adalah awal awal munculnya kelompok radikal ISIS. Seakan-akan tanpa ada mereka belum cukup tekanan atau bahkan hate crime yang dialami umat Islam di Eropa dan USA. Tanpa masalah itupun, ternyata banyak persoalan yang bisa dialami misalnya sulitnya menemukan tempat shalat, sulit mencari makanan halal, dan lain sebagainya.
Selain itu, ada pula masalah-masalah yang terkait dengan kebiasaan. Misalnya, banyak dari kita yang sudah terbiasa dengan falsafah ora sego ora mangan tapi mendapati dirinya di negara yang makanan pokoknya mayoritas kentang dan roti. Banyak sekali kisah dari yang lucu hingga menakutkan dalam pengalaman kami kuliah di luar negeri. Mayoritas akibat perbedaan budaya yang sangat asing bagi para penerima beasiswa.
Terkadang pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya SARA adalah untuk menyiapkan hal-hal seperti ini. Kalau bukan untuk memastikan kesiapan, setidaknya sebagai sentilan supaya yang diwawancara tersadar bahwa ada masalah sepeti ini. Dengan demikian bisa menelaah dan mempersiapkan diri dengan lebih baik. Karena, tidak semua orang bisa bertahan dalam culture shock. Walaupun tentunya hal hal seperti ini juga dapat dilakukan saat program Persiapan Keberangkatan (semacam karantina), tapi tidak ada salahnya mengecek kesiapan para pelamar beasiswa.
Akan tetapi, tidak semua kisah tentang SARA ini baik. Di samping kisah-kisah yang berseliweran di berita dan media sosial, ada beberapa yang bisa saya tambahkan. Ada seorang kawan beragama Nasrani yang aktif dalam kegiatan gereja, dan ia merasa betul betul dipojokkan karena 'hanya mau aktif di agamanya sendiri' tanpa diberi kesempatan menjawab. Akhirnya ia tidak diterima.
Ada lagi yang menceritakan bahwa ia dipertanyakan karena jenggot dan celana cingkrangnya: apakah anda wahabi? Ia pun tidak diterima. Ada banyak lagi sebetulnya, seperti misalnya "memang sih orang Jawa biasa begitu" dan lain sebagainya. Sebagian berujung diterima sebagian tidak.
Mungkin kita bisa mempertanyakan apakah pertanyaan SARA ini betul menyebabkan tidak diterimanya sebagian pelamar. Tapi setidaknya, kalau caranya seperti ini maka tentu akan menjadi masalah.
Sebagian kasus mungkin hanya guyon saja. Di beberapa lingkar sosial jokes yang agak rasis itu biasa. Di sebagian lainnya, itu dianggap tabu. Dan, sebagian dari masing-masing pihak ini merasa bahwa dirinyalah yang benar dan yang lain tidak masuk akal. Ada pula yang melihatnya 'tergantung orangnya' jadi lebih mudah bertoleransi. Di sini memang perlu sekali kita lebih kuat berempati.
Akan tetapi, sebagian kasus bukanlah guyon tapi sindiran yang merupakan cara 'halus' untuk menunjukkan kebencian. Dan, pada akhirnya bisa jadi mempengaruhi penilaian. Walaupun secara objektif ini akan sulit dibuktikan, tapi ini bukanlah masalah yang baik untuk didiamkan.
Alhamdulillah, LPDP adalah sebuah lembaga yang sangat luar biasa. Tentu LPDP punya banyak kekurangan dan perlu banyak memperbaiki diri. Bukan sekali dua kali saya merasa keberatan atau kecewa dengan apa-apa yang menjadi kebijakan LPDP. Akan tetapi, saya mengalami sendiri bagaimana LPDP selalu berusaha menerima kritik dan memperbaikinya. Tentu terkadang kami agak kurang sabar sehingga protes kami terkadang agak terlalu keras.
Objektif saja, belum tentu setiap protes kami selalu benar, dan jika pun benar maka tentu pewujudannya belum tentu mudah. Akan tetapi, saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak masalah yang menimbulkan kritik pada LPDP direspons dengan cepat dan diselesaikan.
Misalnya dulu di awal sekali waktu kami angkatan tahun pertama mau berangkat, diumumkan bahwa pemesanan tiket bersifat reimburse. Spontan reaksi keras langsung muncul, khususnya dari kawan-kawan yang secara ekonomi belum mampu membayar dulu. Rasanya belum ada seminggu kemudian, diumumkan bahwa selain reimburse kami bisa memesan tiket melalui LPDP langsung. Saya rasa kami bukan hanya bersyukur mendapatkan alternatif, melainkan salut kepada LPDP karena kami yakin tidak mudah membuat mekanisme seperti itu. Apalagi, saat itu masih awal-awal sekali.
Relevan dengan masalah wawancara, banyak kritik sudah lama dilayangkan. Standardisasi pewawancara sudah lama menjadi perbincangan. Banyak kabar aneh-aneh saya dengar, misalnya pelamar disuruh menyanyikan lagu Indonesia raya. Bahkan ada pelamar dari fakultas hukum disuruh menyebut semua butir-butir Pancasila. Perlu diingat bahwa tidak mudah melakukan standardisasi wawancara ketika ada banyak sekali pewawancara yang terlibat dalam banyak sekali sesi wawancara yang kesemuanya dilakukan secara terpisah.
LPDP pun berusaha memperbaiki diri dengan berbagai cara. Selain menggodok pedoman wawancara yang lebih baik, mekanisme seleksi pun diperketat dan dibuat lapisan yang lebih banyak. Tentu alasan melakukan ini bukan hanya karena kekurangan-kekurangan yang terjadi pada wawancara, melainkan juga banyak masalah lain yang coba diselesaikan bersama-sama secara holistik.
Zaman saya dulu, seleksi hanya berkas sebagai saringan awal lalu wawancara. Itu saja. "Jaman now", ada tes diskusi kelompok, ada assessment online, dan tes esai. Perubahan ini mengatasi banyak masalah, termasuk antara lain memperkecil dampak dari bias dan keanehan-keanehan yang mungkin terjadi selama wawancara.
Sekarang pun, LPDP pastinya dibanjiri banyak kritik pada beraneka aspek pelayanannya. Yang mungkin minim kritik adalah pada Customer Service Operators (CSO) yang dalam pengalaman saya begitu aktif menjawab email-email pertanyaan dan keluhan saya. Kalau saya ceritakan ini pada kawan-kawan, mereka terkejut ada lembaga pemerintah yang bisa seperti ini. Entah kawan-kawan saya saja yang selalu apes, atau memang sebagian lembaga pemerintah perlu mengevaluasi mekanisme komunikasinya.
Pada akhirnya, terkadang yang tampaknya dikeluhkan adalah satu pihak. Padahal bisa jadi pihak-pihak lain turut berkontribusi. Ketika ada pewawancara yang menyinggung SARA dengan tidak tepat, tentu ini kesalahan si pewawancara. Mereka harus merubah cara mereka berpikir dan mewawancara, dan pihak LPDP juga harus turut mewaspadai dan berusaha mencegah dengan membuat pedoman wawancara. Akan tetapi, sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, disinggungnya isu SARA bisa saja relevan. Dengan ini, tentu harusnya si pelamar yang lebih bijaksana dalam melihat konteks dan mengambil manfaat.
Semua punya PR. Semua perlu evaluasi, semua perlu belajar, semua perlu memperbaiki diri. Kita berharap isu ini, sebagaimana isu-isu lain yang sedang dihadapi oleh LPDP dan pihak-pihak lainnya, menjadi bahan perbaikan bagi semuanya. Bagaimanapun juga, kerja sama semua pihaklah yang sesungguhnya diperlukan untuk membangun Indonesia dengan lebih baik lagi.
*Dosen pada Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum UGM, Penerima Beasiswa LPDP Batch PK 2