Oleh: DR Iswandi Syahputra
Seperti halnya Ahok, Anies juga sesungguhnya adalah aset bangsa. Dalam skala berbeda, keduanya memberi kontribusi yang juga berbeda pada bangsa Indonesia.
Tidak ingin membandingkan, tapi ini harus diajukan untuk menjernihkan dan menetralisir fikiran.
Bahkan jauh sebelum menjadi menteri Pendidikan dan Gubernur DKI Jakarta, Anies sudah aktif memberi kontribusi pada bangsa melalui gerakan 'Indonesia Mengajar' pada tahun 2009.
Sebagai Rektor Paramadina, pada rentang 2007-2015 Anies juga dikenal memiliki kontribusi pemikiran pada berbagai persoalan bangsa. Paramadina, kampus yang mengusung gagasan tentang relasi baru Keindonesiaan-Keislaman khas pemikiran Nurkholis Madjid ini dikenal salah satu basis pemikiran sekuler. Itu pula sebabnya Anies sering diplot masuk dalam barisan intelektual sekuler-liberal.
Jauh sebelum itu, saat menjadi mahasiswa UGM, dengan kapasitas dan jabatannya sebagai Ketua Senat UGM tahun 1992, Anies dikenal memiliki pemikiran yang cemerlang. Pendirian BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) merupakan salah satu gagasan cemerlang Anies saat itu. Karena kecemerlangan dan kejernihannya Anies didapuk sebagai moderator debat Capres 2009.
Saat menjadi pelajar, pada tahun 1987, dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.
Kita telisik lebih jauh lagi, Abdurrahman Baswedan kakek Anies juga merupakan diplomat cemerlang yang pernah dimiliki Indonesia. Dia seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan juga sastrawan Indonesia. AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir.
Saat menjadi aktivis mahasiswa, tahun 1994 saya berkunjung ke rumah orang kakek Anies di kawasan Jalan Dagen, tidak jauh dari Malioboro terlihat sederhana tapi memiliki pustaka dengan kumpulan buku yang langka. Berbeda dengan rumah orang tua Ahok yang megah di Belitung Timur yang saya kunjungi tahun ini.
Satu-satunya yang bikin saya kecewa pada Anies saat dia masuk terperangkap dalam lembah saling menyampaikan ujaran ketidaksukaan saat Pilpres 2014 lalu. Suatu sikap yang jauh dari karakter Anies yang santun, jernih dan sejuk.
Tapi dari peristiwa itu saya memahami pelajaran bahwa "memilih teman dan lingkungan dapat mempengaruhi fikiran, ucapan dan tindakan".
Belakangan saat lakukan riset tentang polarisasi netizen di media sosial awal tahun ini, saya jadi mengerti ada 2 arus besar kelompok politik pada era post trust saat ini, konservatif dan liberal. Dua polarisasi ini nanti kelak yang akan mewarnai wajah politik domestik kita. Dari dua polarisasi ini pula kita bisa memahami sikap Walk Out Ananda saat mengikuti perayaan HUT 90 tahun Kanisius yang dihadiri Anies Baswedan.