Oleh Abdullah Sammy*
Akhir-akhir ini kata boikot ramai menghiasi jagad sosial media. Ini tak terlepas aksi seorang komposer bernama Ananda Sukarlan di tengah acara perayaan HUT almamaternya, sekolah Kanisius.
Boikot yang dilakukan sang pianis nyatanya merupakan cermin dari ketidaksetujuannya pada sosok gubernur DKI, Anies Baswedan. Anies dinilai Ananda sebagai sosok yang memakai segala cara untuk meraih kursi kuasa, bahkan dengan menyeret sentimen SARA.
Itu semua dinilai oleh kepala dan emosi seorang Ananda sebagai bentuk sikap yang tak sesuai dengan ajaran Kanisius. Karena itu, Ananda memilih meninggalkan ruangan ketika Anies mulai berpidato.
Di sisi lain Anies berpidato bukan atas permintaan pribadinya. Sebaliknya sang gubernur diundang resmi dan diminta berpidato oleh pihak Kanisius. Anies pun menghormati undangan itu untuk hadir dan berpidato. Ternyata yang diterima Anies saat berpidato adalah aksi boikot dari sebagian besar hadirin.
Boikot dari alumni Kanisius, terutama Ananda , menjadi bayaran yang harus diterima Anies yang berstatus undangan resmi. Ada yang menyebut aksi itu sebagai ekspresi politik dan buah dari sakit hati di Pilkada DKI. Saya sendiri tak mau buru-buru menarik kesimpulan atas aksi boikot Ananda dan kawan-kawannya.
Yang jelas aksi boikot sejatinya merupakan budaya yang kerap terjadi akhir-akhir ini di tengah masyarakat. Saya ingin terlebih dahulu menarik jauh soal boikot pada konteks sejarah.