REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Shochrul Rohmatul Ajija, Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, dan Sri Cahyaning Umi Salama, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Sekarang penggunakan istilah “pariwisata syariah” sudah tidak berlaku dan diganti dengan “pariwisata halal”. Penggantian kata "syariah" dengan halal ditujukan untuk mengubah paradigma masyarakat bahwa pariwisata syariah hanya khusus untuk Muslim.
Padahal kenyataanya, tujuan pariwisata syariah adalah menyediakan pariwisata Muslim friendly, bukan pariwisata khusus Muslim. Sehingga, Kementerian Pariwisata mengubahnya menjadi pariwisata halal, agar lebih ramah di telinga masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Potensi Wisata Halal Dunia
Potensi wisata halal di Indonesia sangat besar. Didukung SDA melimpah, SDM mayoritas Muslim, banyak lembaga pendidikan yang mendirikan jurusan berkaitan dengan syariah dan atau ekonomi syariah.
Banyak pula praktisi dan akademisi yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia yang siap mendorong perkembangan ekonomi syariah. Di negara lain, seperti Korea Selatan (Korsel), Jepang, Inggris, dan lainnya yang minoritas Muslim, mulai tertarik mengembangkan wisata halal.
Contohnya di Korsel, saat ini mulai kehilangan wisatawan dominan mereka yang berasal dari Cina. Korsel mulai melirik Timur Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk berkunjung.
Potensi wisata halal di Korsel, Jepang, dan negara-negara dengan penduduk minoritas Muslim merupakan hasil penelitian yang melihat dari segi demografi penduduk di negara tersebut dan melihat besarnya potensi untuk dikembangkannya wisata halal.
Kasus sederhana di Indonesia saat ini adalah adanya produk kosmetik halal yang dipimpin oleh Wardah. Mayoritas wanita Indonesia ketika ditanyai tentang produk kosmetik halal pasti tertuju kepada Wardah. Kemudian disusul jenama lokal lain seperti Mustika Ratu dan lainnya.
Korsel yang mendeklarasikan dirinya sebagai pusat wisata halal dunia saat ini serius menangani wisata halal mereka. Meskipun dengan jumlah penduduk yang minoritas Muslim, tapi mereka sudah berani mengeluarkan kosmetik halal.
Seperti yang sudah banyak orang ketahui, Korsel juga pusat industri kecantikan salah satunya produk perawatan kecantikan yang sangat banyak ragamnya dengan fungsi berbeda-beda dan menggembar-gemborkan produk mereka tidak merusak alam.
Bahkan salah satu jenama kosmetik memiliki perkebunan sendiri di Pulau Jeju untuk bahan utama produk mereka. Keseriusan ini patut dicontoh Indonesia. Indonesia tidak boleh kalah dari negara-negara tersebut yang memiliki semangat luar biasa membangun wisata halal.
Kondisi wisata halal di Indonesia saat ini sangat baik. Dimenangkannya wisata halal oleh Lombok menjadi penyemangat Indonesia. Kementerian Pariwisata serius menangani hal ini dengan mengeluarkan kebijakan dan melakukan pembinaan.
Untuk sementara, justru DKI Jakarta dan Jawa Barat masih kurang mendapatkan perhatian dalam mengembangkan wisata halal. Perlu gotong royong dari banyak pihak untuk memajukan wisata halal Indonesia.
Sama seperti perumpamaan sapu dan sebatang lidi. Jika hanya sebatang lidi, sulit digunakan untuk membersihkan halaman yang kotor. Namun, jika sebatang lidi itu dipertemukan dengan sebatang lidi lainnya dan kemudian bersatu maka mudah membersihkan halaman kotor.
Sama halnya dengan mengambangkan wisata halal di Indonesia. Konsep yang ditawarkan sangat bagus, tapi jika berjalan sendiri-sendiri dengan cara masing-masing tanpa upaya saling dukung maka wisata halal Indonesia selamanya akan tertinggal.
Pertama, menyamakan persepsi mengenai konsep wisata halal. Seperti yang disebutkan di awal, masih adanya paradigma masyarakat bahwa wisata halal (sebelumnya disebut wisata syariah) adalah wisata yang hanya diperuntukkan bagi orang Islam karena menggunakan kata syariah.
Namun, dengan diubahnya istilah menjadi wisata halal diharapkan mengubah paradigma, yakni bahwa wisata halal adalah wisata yang Muslim friendly. Pada hakikatnya, wisata halal hanya terletak pada extended service-nya yang ramah untuk Muslim. Jenis dan pelaksanaannya sama dengan wisata pada umumnya.
Terdapat dua kriteria usaha, yaitu hilal satu dan hilal dua. Pada tempat wisata dengan status hilal satu, tempat wisata tersebut masih menawarkan alkohol di restoran mereka, tapi di dapur benar-benar dibedakan antara yang halal dan nonhalal.