REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: As’ad Said Ali, Mantan Wakil Kepala BIN, Mantan Wakil Ketua Umum PBNU
Tidak lama lagi, negeri pusat Islam ini, Arab Saudi, akan berwajah lain. Itu terkait pencanangan proyek ambisius senilai 380 miliar dolar AS, akhir Oktober lalu, oleh Pangeran Muhammad bin Salman, sebagai implementasi Visi Saudi 2030 yang dideklarasikan pada 2015 oleh Raja Salman.
Visi yang dilekatkan untuk proyek ini, ‘’Arab Saudi, jantung Arab dan Islam, pusat investasi yang menghubungkan tiga benua.’’ Pada kesempatan itu, Sang Pangeran juga menyatakan, Saudi akan kembali ke masa lalu Islam moderat.
Negara akan segera melenyapkan sisa radikalisme dan menjamin kaum muda hidup harmoni dengan warga seluruh dunia. Lebih jauh ditegaskan, “Kami mewakili prinsip dan ajaran Islam yang moderat.”
Apakah dua peristiwa itu saling berhubungan karena yang satu mensyaratkan yang lain atau sebagai hal terpisah, dan diarahkan semata pada aspek politik? Tulisan ini akan mencoba menjawabnya.
NEOM
Proyek ambisius itu, diberi nama NEOM atau mustaqbal, artinya ‘masa depan’, adalah berupa zona ekonomi modern. Proyek tersebut terletak di kawasan yang jauh, yaitu di pantai Laut Merah di bagian utara negara itu, dekat Sharm El Sheikh (Mesir) dan Teluk Aqaba, Yordania.
Dari segi geo-ekonomi kawasan NEOM sangat strategis. Di situ akan menjadi titik pertemuan ekonomi yang sangat dinamis antara Saudi, Mesir, dan Yordania, yang simpul aktivitas bisnisnya akan menjangkau tiga benua, sehingga wajar ambisinya lebih raksasa dari Dubai.
NEOM juga diarahkan menjadi pusat turisme. Ini akan membawa dinamikannya sendiri dan secara ekonomi sangat menjanjikan karena NEOM terletak di antara berbagai daerah tujuan wisata yang sangat eksotik, seperti Sham El-Sheikh, Kota Aqaba, dan Petra di Yordania.
Pemerintah Saudi juga akan mengembangkan secara besar-besaran kawasan wisata Madain Saleh, terletak sekitar 350 km sebelah utara Madinah. Seperti diketahui, Madain Saleh dan Petra adalah kota pada masa Nabi Saleh AS dan Nabi Suaib AS yang disebut di dalam Alquran.
Situs ini akan menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi wisatawan Muslim, yang pada akhir dekade ini pada skala global tumbuh pesat. Mungkinkah proyek itu berhasil? Jawabannya tentu bisa beragam. Penulis optimistis dengan sejumlah alasan. Namun bukan itu soalnya.
Bagi Saudi, proyek ambisius tersebut akan menjadi titik awal menuju reformasi dan transformasi nasional besar-besaran. Saudi akan menjadi negara industri besar. Tentu ini membawa konsekuensi luar biasa, sebab sisi-sisi kehidupan sekuler akan tumbuh dan berkembang sebagai kemestian sosiologis yang secara nalar sulit dihindarkan.
Islam moderat
Pernyataan Pangeran ‘kembali ke masa lalu Islam Moderat’ seperti disebutkan di atas, dengan demikian mudah dihubungkan dengan tuntutan sosiologis tersebut. Namun, logika linear itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Apalagi Wahabisme itu, aliran keagamaan resmi kerajaan Saudi, pada dasarnya moderat, di dalam sifat puritanismenya bahkan banyak mengandung sisi pragmatisme Arab. Kita sering memandang gebyah uyah podo asini (menyamaratakan) terhadap wajah Wahabisme.
Wahabisme atau sering pula disebut Salafi, setidaknya berkembang menjadi tiga, yakni Washatiyah, Sururi, dan Jihadi. Yang pertama adalah aliran resmi kerajaan Saudi, bersifat moderat, dan merupakan akar awal Wahabisme.
Sururi adalah Salafi politik, sedangkan Jihadi berorientasi pada teror (terorisme). Keduanya merupakan ajaran radikal dan terlarang di negara tersebut.
Sikap moderat Wahabi (resmi) banyak ditunjukkan dalam bidang furu’, selain bidang-bidang lain, termasuk politik yang selalu bertindak fleksibel, baik dalam maupun luar negeri. Kita dapat menyebut soal pelonggaran aktivitas perempuan di ruang publik sebagai contoh.
Sekolah untuk kaum hawa sudah di buka sejak tahun 1954. Sejak itu kebijakan-kebijakan pelonggaran terus dilakukan secara gradual. Pada 2012 jumlah anggota parlemen (Majelis Syuro) dari kalangan perempuan bahkan mencapai 33 orang dari 150 anggotanya.